Wonogiri - Seorang belantik hewan asal Wonogiri, Ali Fatah, 53, berhenti dari aktivitas jual-beli sapi dan lebih memilih menjadi petani porang. Dengan modal yang sama, keuntungan dari hasil membudidayakan porang ternyata lebih tinggi dari berjualan sapi.
Kini, warga Dusun Tugu, Desa Pengkol, Kecamatan Jatiroto, Kabupaten Wonogiri itu tengah sibuk membudidayakan porang bersama empat karyawannya. Bahkan belum lama ini ia mengirim hasil panen porang ke pabrik yang ada di Jawa Timur.
"Saya menjadi belantik sapi sudah 10 tahun. Sejak dua hingga tiga bulan lalu saya berhenti total sebagai pedagang sapi. Sekarang fokus menanam porang. Kalau dua-duanya dijalankan tidak mampu" kata dia saat dihubungi Solopos.com, Minggu (20/6/2021).
Advertisement
Baca Juga
Fatah mulai mencoba menjadi petani membudidayakan porang di Wonogiri sejak awal 2020. Saat itu ia langsung menanam porang dengan jumlah banyak. Ia menghabiskan 380 kilogram bibit porang katak dan empat ton bibit porang umbi besar.
Porang itu ditanam di lokasi yang berbeda atau berpencar. Sebagian ditanam di pekarangan milik sendiri, sebagian dibudidayakan di lahan persewaan. Ada 21 lahan di desanya yang dikelola Fatah untuk ditanami porang.
Meski menanam dengan jumlah banyak, petani Wonogiri itu mengaku hasil budidaya porang untuk kali pertama itu dinilai gagal. Sebab ia keliru dalam hal pengelolaan, karena menanam di lahan kering dan kurang perawatan.
"Pada 2020 itu saya gagal total. Cuma asal tanam kemudian saya tinggal. Saya kan juga belum pengalaman, kata orang cukup ditanam nanti bisa hidup. Ternyata malah tidak maksimal. Saat itu saya masih dagang sapi juga," ungkap dia.
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut:
Tak Patah Arang
Saat kali pertama, petani Wonogiri itu mencoba menanam dua bibit porang di dekat rumah. Setelah dipanen, masing-masing menghasilkan umbi dengan berat 4,2 kilogram dan 3,7 kilogram. Melihat hasil itu, timbul semangat dari Fatah untuk kembali membudidayakan porang.
Sekitar Oktober dan November 2020, Fatah kembali menaman porang dengan jumlah banyak. Ia menghabiskan 350 kilogram bibit katak dan lima ton bibit umbi besar. Sebagian lahan yang digunakan pada awal menanam tidak digunakan lagi. Justru ia memiliki lahan baru yang dinilai lebih cocok untuk ditanami porang. Kini lahan itu tersebar di 15 tempat.
Sejak Mei 2021 Fatah mulai panen porang. Ia sudah dua kali mengirim umbi produksi hasil panen porang ke pabrik di Jawa Timur. Pengiriman pertama sebanyak 4,160 ton dan pengiriman kedua 5,4 ton. Porang hanya dibudidayakan selama satu musim atau delapan bulan karena bibitnya berasal dari umbi.
Menurut Fatah, dari bibit umbi yang belum dipanen masih berpotensi menghasilkan umbi produksi sebanyak 12 ton. Panen umbi produksi dari jenis bibit umbi akan terus dilakukan bertahap. Dimungkinkan akan berlangsung hingga Agustus 2021.
"Jadi yang saya panen yang dari bibit umbi. Kalau dari bibit katak belum saya panen umbi produksinya. Yang dipanen baru umbi katak yang ada di daun. Umbi katak di daun saya panen dapat sekitar satu ton," ujar dia.
Dari hasil panen yang belum selesai Fatah lakukan, ia bisa memprediksi keuntungan yang diperoleh cukup besar. Ia tidak menghitung modal yang dikeluarkan secara detail. Namun ia memperkirakan hasil yang diperoleh lebih dari modal yang dikeluarkan.
Â
Advertisement
Omzet Porang
Saat penanaman kedua, Fatah mengaku menghabiskan modal hampir Rp300 juta. Hal itu termasuk pembelian bibit, sewa lahan hingga proses perawatan. Jika dihitung dengan hasil budidaya porang omzetnya lebih dari Rp300 juta.
Dari bibit yang ditanam Fatah menghasilkan umbi produksi sebanyak 20 ton. Saat ini, satu kilogram umbi produksi harganya Rp7.500. Sehingga total sudah mendapatkan Rp150.000 juta. Fatah juga telah memanen umbi katak di daun sebanyak satu ton. Satu kilogram bibit katak Rp200.000. Sehingga jika dijual sudah dapat Rp200 juta.
"Dari situ sudah untung. Padahal umbi produksi yang dari bibit katak belum saya jual, masih ada di lahan. Selain itu harga umbi porang akan berangsur naik hingga Agustus 2021. Karena musimnya bagus, jadi harganya bagus juga," kata dia.
Atas dasar itu, Fatah lebih memilih menjadi petani membudidayakan porang di Wonogiri karena prospek dan keuntungan yang didapat lebih besar. Hal itu yang meyakinkan Fatah berhenti menjadi blantik sapi dan lebih memilih budidaya porang.
"Hitungan saya keuntungan yang didapatkan dari budidaya porang lebih tinggi sekitar 50 persen. Dengan asumsi modal yang sama, dalam satu tahun saya dapat hasil kotor dari blantik sapi Rp300 juta. Sementara dari budidaya porang bisa Rp500 juta," kata Fatah.
Dapatkan berita Solopos.com lainnya, di sini: