LBH Makassar: Kasus Kekerasan Perempuan Paling Banyak Terjadi Sepanjang 2021 di Sulsel

LBH Makassar mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan kasus tertinggi terjadi di Sulsel sepanjang tahun 2021.

oleh Eka Hakim diperbarui 30 Des 2021, 01:00 WIB
Diterbitkan 30 Des 2021, 01:00 WIB
LBH Makassar mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan kasus tertinggi terjadi di Sulsel sepanjang tahun 2021. (Instagram LBH Makassar)
LBH Makassar mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan kasus tertinggi terjadi di Sulsel sepanjang tahun 2021. (Instagram LBH Makassar)

Liputan6.com, Makassar - Dari catatan kasus yang telah ditangani Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar sepanjang tahun 2021, kasus kekerasan terhadap perempuan di Sulsel merupakan kasus yang terbanyak yakni mencapai 62 kasus.

Kemudian menyusul kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 24 kasus, pelanggaran hak atas tanah yang menempati posisi ketiga kasus terbanyak yang mencapai 23 kasus.

Direktur LBH Makassar, Muhammad Haedir mengatakan, untuk kasus pelanggaran HAM terhadap perempuan dan anak, jenis kasus kekerasan seksual adalah kasus yang tertinggi dialami oleh perempuan dan anak

Kondisi tersebut, kata dia, menunjukkan pentingnya pengaturan khusus untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual.

Peraturan yang ada saat ini, lanjut dia, tidak cukup untuk mencegah dan menangani kasus-kasus kekerasan seksual, dalam hal ini negara dinilai abai dan melakukan pembiaran terhadap kasus-kasus kekerasan seksual.

"Di satu sisi korban terus berjatuhan, di sisi lain negara enggan segera memberlakukan RUU Pencegahan Kekerasan Seksual," kata Haedir dalam keterangan persnya, Rabu (29/12/2021).

Ia mengungkapkan, korban perempuan dan anak adalah korban terbanyak dari kasus yang ditangani LBH Makassar sepanjang tahun 2021, yakni sebanyak 96 orang untuk korban perempuan dan 37 orang untuk korban anak di bawah umur. Korban terbanyak berikutnya berasal dari kelompok masyarakat miskin perkotaan sebanyak 50 orang.

Tingginya penanganan kekerasan terhadap perempuan, kata dia, berkontribusi terhadap tingginya korban terhadap perempuan dan anak ditambah dengan korban untuk kasus-kasus lainnya, seperti kasus tanah, buruh, kebebasan berpendapat dan lain-lain.

"Kondisi ini menunjukkan bahwa perempuan yang secara struktural memiliki beban ganda sangat rentan menjadi korban, baik karena posisi strukturalnya sebagai perempuan maupun posisi perempuan dalam menghadapi kasus hukum," terang Haedir.

 

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Pelaku Terbanyak dari Kelompok Sipil

Adapun pelaku kekerasan terhadap perempuan, kata Haedir, tertinggi dilakoni oleh warga/ kelompok sipil yakni sebanyak 27 kasus yang kemudian disusul oleh perusahaan swasta sebesar 26 kasus.

Tingginya pelaku dari kelompok sipil ini, menurut dia, dikarenakan tingginya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Di mana untuk pelaku kekerasan perempuan dan anak kebanyakan adalah warga sipil. Pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak memiliki relasi kuasa yang tidak seimbang dengan korban.

"Pelaku biasanya memiliki relasi kuasa yang lebih tinggi dibanding korban," tutur Haedir.

Untuk pelaku terbesar kedua, kata Haedir, adalah perusahaan swasta. Tingginya pelanggaran hak atas tanah ditambah tingginya kasus-kasus lain seperti buruh, konsumen, lingkungan dan seterusnya berkontribusi terhadap tingginya pelaku dari pihak perusahaan swasta.

"Kondisi ini sekali lagi mengkonfirmasi tentang ke mana seharusnya kebijakan pemerintah diarahkan. Apakah untuk memenuhi hak asasi warga negara atau memberikan keleluasaan kepada perusahaan swasta untuk melakukan pelanggaran HAM," Haedir menandaskan.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya