Memilih Produk Investasi di Tengah Dampak Invasi Rusia ke Ukraina

Ada invasi Rusia ke Ukraina bagaimana dampaknya ke investasi?

oleh Elga Nurmutia diperbarui 20 Mar 2022, 21:40 WIB
Diterbitkan 20 Mar 2022, 21:40 WIB
(Foto: Ilustrasi investasi saham. Dok Unsplash/Austin Distel)
(Foto: Ilustrasi investasi saham. Dok Unsplash/Austin Distel)

Liputan6.com, Jakarta - Konflik Rusia-Ukraina memiliki dampak global besar, yang meliputi dampak langsung dan tidak langsung. Lalu bagaimana diversifikasi investasi di tengah sentimen tersebut?

Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Katarina Setiawa menuturkan, dampak langsung datang dari perdagangan dan investasi. Sedangkan dampak tidak langsung berasal dari inflasi karena harga energi, logam dan pertanian meningkat lebih lanjut karena kejutan pasokan akibat perang Rusia-Ukraina.

"Dampak langsung untuk Indonesia terbatas karena Indonesia memiliki hubungan perdagangan yang relatif rendah dengan Rusia dan Ukraina," ujar dia dalam ulasan pengetatan moneter dan dampak konflik Rusia-Ukraina.

Ia menambahkan, berdasarkan data per kuartal III 2021 menunjukkan impor dari Rusia diperkirakan sekitar 0,2 persen dari total impor Indonesia.  Investasi langsung dari Rusia juga rendah, sekitar 0,08 persen dari total Foreign Direct Investment ke Indonesia. "Dampak tidak langsung dalam bentuk kenaikan harga komoditas lebih relevan,” kata Katarina.

Ia mengatakan, Rusia adalah produsen utama dari minyak bumi, gas, berbagai logam serta produk agrikultur. 

"Disrupsi pasokan dari Rusia karena konflik Rusia-Ukraina mendorong kenaikan harga berbagai komoditas tersebut dan meningkatkan inflasi di berbagai kawasan,” ujar dia.  

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Diversifikasi Investasi

Ilustrasi investasi (Foto: Unsplash/Austin Distel)
Ilustrasi investasi (Foto: Unsplash/Austin Distel)

Untuk Indonesia, inflasi masih rendah, pada Februari 2022 pada 2,06 persen.  Katarina menuturkan, pada 2022, inflasi akan meningkat karena kelanjutan harga-harga komoditas yang tinggi, dampak kenaikan PPN dan kemungkinan kenaikan harga berbagai produk oleh produsen yang selama ini belum menaikkan harga jual walaupun harga bahan baku dan biaya produksi meningkat. 

"Selain itu, ada kemungkinan harga BBM akan meningkat jika harga minyak terus tinggi dalam waktu yang lebih panjang.  Namun secara keseluruhan inflasi masih akan terkendali, dengan pengawasan ketat dari pemerintah dan BI,” ujar dia.

Sebagai produsen/eksportir komoditas dalam skala besar,Katarina menilai, Produk Domestik Bruto, Transaksi Berjalan dan pendapatan pemerintah Indonesia kemungkinan besar akan diuntungkan dari kenaikan harga komoditas. 

"Di tengah kenaikan harga minyak sebesar 56,8 persen setahun terakhir, harga minyak kelapa sawit naik 56 persen dan harga bataubara naik 271,6 persen.  Indonesia sebagai eksportir terbesar dari minyak kelapa sawit dan batu bara termal (thermal coal) mendapat keuntungan dari kenaikan harga tersebut,” kata dia,

Katarina melihat, eksposur terhadap ekonomi Indonesia akan tetap positif dan mendukung investasi jangka panjang di Indonesia.

“Investasi yang terdiversifikasi pada reksa dana saham serta reksa dana obligasi dapat membantu investor mendapatkan hasil optimal, yang dapat disesuaikan dengan profil risiko serta tujuan investasi masing-masing investor,” ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya