Liputan6.com, Jakarta - Ketua Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman mengatakan, konflik Rusia Ukraina bisa berdampak besar terhadap global value chain.
Meskipun demikian, ia mengaku konflik tersebut tidak berdampak langsung terhadap Indonesia khususnya di industri makanan dan minuman.
Baca Juga
"Konflik Rusia dan Ukraina sebenarnya tidak mendatangkan dampak langsung yang signifikan terhadap industri makanan dan minuman di Indonesia, karena transaksi dagang kita dengan kedua negara tersebut untuk semi-processed dan processed food tidak terlalu besar," ujar Adhi S Lukman dalam keterangan resminya, dikutip Sabtu (9/4/2022).
Advertisement
Ia menambahkan, kemungkinan nilai ekspor Indonesia kepada mereka setara dengan kepada Myanmar dan negara lainnya.
"Meski begitu, dampak tidak langsung konflik inilah yang amat berpengaruh terhadap Indonesia," tutur dia.
“Selama diterpa pandemi Covid-19, kita telah menghadapi lima jenis krisis, yaitu krisis kesehatan, krisis ekonomi, krisis logistik yang masih terus terjadi dan saat ini semakin parah, krisis komoditas dan kenaikan harga luar biasa secara global, serta krisis energi yang kini diperparah dengan konflik Rusia - Ukraina, karena Rusia merupakan salah satu pemasok energi dunia,” ia menambahkan.
Adhi juga mengungkapkan, konflik Rusia - Ukraina ini dikhawatirkan akan berdampak besar terhadap perdagangan dan global value chain di seluruh dunia.
"Kita akan menghadapi disrupsi yang lebih besar terhadap supply chain, logistik, komoditas, dan energi. Logistik sangat terganggu, bahkan sejak sebelum perang,” ujar dia.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Perlu Jaga Daya Beli Kelas Menengah
Biaya logistik bahkan naik sampai lima kali lipat untuk pengiriman ke negara-negara tertentu. Bukan hanya untuk tujuan luar negeri, ini juga berpengaruh pada distribusi barang di skala lokal. Akhir-akhir ini bahkan banyak kapal dalam negeri yang digunakan untuk tujuan ekspor.
Menurut sejumlah pakar, problem utama terkait pengadaan bahan pangan dan energi akan amat luar biasa akibat perang Rusia dan Ukraina. Di dalam negeri, tren harga CPO, kedelai, jagung, terigu, dan daging sapi terus meningkat. Selain akibat kesulitan logistik, ini juga terjadi karena Ukraina adalah pemasok gandum terbesar kedua di Indonesia.
Kemudian, pada 2021, secara total Ukraina dan Rusia memasok sekitar 30 persen kebutuhan gandum dunia. Dengan gangguan sebesar ini, Indonesia perlu lakukan antisipasi. Tentunya akan banyak negara berebut gandum untuk persediaan dalam negerinya.
Menurut Adhi, sebagai langkah antisipasi, Indonesia mesti memperkuat struktur dan ekosistem di dalam negeri, salah satunya dengan mengamankan sustainability bahan baku. Pemerintah perlu melakukan revitalisasi untuk memperkuat ketersediaan bahan baku di dalam negeri.
Kebijakan dan regulasi harus konsisten, sinkron dan kolaboratif dari hulu ke hilir, dengan didukung oleh teknologi, human capital, perbaikan infrastruktur, dan logistik.
Pemerintah juga harus menjaga purchasing power untuk kelas menengah bawah dan memberikan suasana kondusif untuk kelas menengah atas agar bisa berbelanja dan menggerakkan perekonomian.
“Kita juga harus mewaspadai dampak boikot Rusia. Karena, kondisi tersebut akan sangat berpengaruh terhadap global value chain. Maka, kita harus mencari alternatif sumber daya lain, meningkatkan keterbukaan, dan menghilangkan berbagai hambatan dalam perdagangan,” imbuhnya.
Advertisement
Biaya Freight Meningkat
Sementara itu, Direktur Utama PT Samudera Indonesia Tbk, Bani Maulana Mulia mengatakan konflik Rusia Ukraina ikut mendorong terjadinya freight rise.
"Ditinjau dari segi logistik, memang betul bahwa imbas konflik antara Rusia dan Ukraina tidak terlalu signifikan di Indonesia, karena nilai ekspor dan impor kita dengan kedua negara tersebut hanya di bawah 1 persen," ujar Bani.
Ia menambahkan, komoditas ekspor yang besar ke Rusia adalah dari kategori minyak hewan dan nabati, sedangkan komoditas impornya adalah besi baja. Komoditas ekspor ke Ukraina sama dengan ke Rusia, sedangkan komoditas impor kita dari Ukraina adalah gandum.
Dia menambahkan, meski nilai impor gandum dari Ukraina adalah yang kedua terbesar di Indonesia, tetapi semestinya Indonesia masih bisa mendapatkan bahan baku tersebut dari negara lain, seperti Australia, Brasil, dan Argentina, walaupun dengan harga yang berbeda.
Ia mengungkapkan, terkait isu supply chain, di seluruh dunia saat ini memang terjadi supply chain crisis pasca pandemi. Inti dari krisis pasokan barang ini adalah tingkat freight rise atau kenaikan biaya pengangkutan yang sangat tinggi di hampir seluruh sektor pelayaran dan area lain di dunia.
"Polanya naik secara fluktuatif, dan saat ini sedang berada pada titik tinggi. Secara up to date, pada 2022 ini sudah naik dari awal tahun sebesar 32 persen, dan trennya masih terus naik," ujar dia.
Faktor Pendorong Lainnya
Tak hanya itu, faktor pendorong freight rise yang juga amat besar adalah pemulihan perdagangan di China. Permintaan yang amat tinggi dari negara-negara di Amerika Utara terhadap produk dari China mengakibatkan kapal-kapal domestik Indonesia pun tersedot untuk melayani pelayaran ke sana.
"Bagi shipping industry, hal ini merupakan momentum yang dianggap sangat positif. Memang sering ada komplain dari perusahaan, karena harga yang tinggi atau tidak mendapat tempat untuk pengangkutan logistik," kata dia.
"Tapi, freight rise ini merupakan imbas yang terjadi secara global dan tidak bisa kita hindari, karena biaya pengangkutan barang sangat tinggi. Saat ini kita tidak bisa mendapatkan kapal yang biaya perjalanannya murah dan hampir tidak ada kapal yang menganggur," ia menambahkan.
Lebih lanjut, terkait konflik Rusia Ukraina, kapal-kapal yang tadinya melayani area itu mengalami sedikit relaksasi dan bisa mencari area pengangkutan lain. Freight rise ini dipengaruhi oleh supply and demand. Suplai kapal tentu tidak semudah itu ditambah, meskipun pasti kelak akan ditambah.
“Kami prediksikan, freight rise ini akan terus berlangsung hingga akhir tahun 2022, meskipun fluktuasi itu biasa terjadi di sektor pelayaran,” pungkasnya.
Advertisement