Liputan6.com, Jakarta - PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex akhirnya diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Kota Semarang. Putusan ini menjadi pukulan telak bagi perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara yang didirikan oleh H.M Lukminto pada 1966, dan telah beroperasi selama lebih dari lima dekade dengan pasar di lebih dari 100 negara.
Pailitnya Sritex sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia memberikan dampak signifikan terhadap industri tekstil dalam negeri. Industri tekstil, yang sebelumnya telah menghadapi tantangan besar akibat berbagai faktor global seperti perang Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina, kini diperburuk dengan kejatuhan Sritex.
Baca Juga
"Dampaknya terhadap industri tekstil meliputi potensi hilangnya kepercayaan dari investor, kontraktor, serta rantai pasok lokal dan internasional," kata Founder Stocknow.id Hendra Wardana kepada Liputan6.com, kamis (24/10/2024).
Advertisement
Sritex yang selama ini menjadi salah satu pemasok utama seragam militer, baik untuk kebutuhan domestik maupun internasional. Status perseroan saat ini dapat menyebabkan terjadinya ketidakpastian pada kontrak pengadaan seragam militer. Hal ini berisiko memicu renegosiasi atau bahkan pembatalan kontrak oleh negara-negara yang selama ini bergantung pada Sritex untuk pasokan seragam mereka.
"Selain itu, pailitnya Sritex menambah tekanan pada sektor tekstil yang sudah mengalami kelebihan pasokan (over supply) dari China. Produk tekstil murah dari China, yang memasuki pasar Indonesia melalui praktik dumping, semakin menggerus daya saing industri tekstil domestik," ujar Hendra.
Â
Bersaing dengan Produk Impor
Di tengah situasi ini, Hendra mengatakan para pelaku usaha tekstil lainnya harus bersaing lebih keras dengan produk-produk impor yang murah. Ditambah tanpa adanya proteksi kuat terhadap impor, posisi mereka semakin terjepit.
Bagi para investor SRIL, putusan pailit ini membawa konsekuensi yang sangat berat. Sesuai aturan, dalam proses pailit, pemegang saham akan mendapatkan prioritas terakhir setelah seluruh kewajiban perusahaan terhadap kreditur dilunasi. Hal ini berarti peluang bagi investor untuk mendapatkan kembali investasi mereka sangat kecil, terutama jika setelah proses pemberesan aset oleh kurator ternyata tidak ada sisa yang tersisa.
"Jika tidak ada sisa kekayaan dari proses likuidasi, investor tidak akan mendapatkan apa pun. Risiko ini menciptakan ketidakpastian yang tinggi bagi para pemegang saham dan bisa menyebabkan kejatuhan lebih lanjut dalam nilai saham SRIL hingga kemungkinan delisting di bursa," tandas Hendra.
Advertisement