3 Alasan Jatim Jadi Episentrum Baru Pandemi Covid-19 ala Pakar Epidemiologi Unair

Pakar epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Windhu Purnomo, tidak menampik Jatim memiliki jumlah kasus positif Covid-19 tertinggi di Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Jul 2020, 16:30 WIB
Diterbitkan 06 Jul 2020, 16:30 WIB
Kampus Unair
Kantor Pusat Manajemen Universitas Airlangga di Kampus C Unair, Jalan Ir Soekarno, Mulyorejo, Surabaya, Jatim. (www.unair.ac.id)

Liputan6.com, Surabaya- Pakar epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Windhu Purnomo, tidak menampik Jatim memiliki jumlah kasus positif Covid-19 tertinggi di Indonesia. Meskipun demikian, attack rate provinsi ini bukan yang tertinggi di Indonesia.

“Dari attack rate menempati peringkat 9 dari 34 provinsi di Indonesia,” ujar Windhu, seperti yang dikutip dari laman unair.ac.id, Senin (6/7/2020).

Attack rate merupakan nilai seberapa besar risiko penduduk terinfeksi Covid-19 dimana nilai tersebut dapat dicapai dengan membagi jumlah kasus kumulatif positif di suatu wilayah dibagi dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut. Ia menyebutkan attack rate Jatim hanya sebesar 27 per 100.000 penduduk, sedangkan DKI Jakarta sebesar 105 per 100.000 penduduk.

Sayangnya, attack rate Jatim itu tidak bisa diterapkan khusus di Surabaya. Faktanya,Surabaya kini adalah kota yang memiliki attack rate yang tertinggi di Indonesia. Nilainya sekitar 150 per 100.000 penduduk.

Attack rate Surabaya ini meningkat sebesar 75 persen ketika masa transisi dan pembatasan sosial berksala besar (PSBB) sudah tidak diberlakukan lagi di Surabaya. Tingginya risiko terinfeksi ini menjadi faktor utama Jatim menjadi episentrum Covid-19 di Indonesia.

“Tingginya risiko terinfeksi di Surabaya dikarenakan oleh tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi, dengan angka 8.600 per kilometer persegi,” ucap Ketua Tim Advokasi PSBB & Surveilans Covid-19 Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair Surabaya.

Selain itu, didukung dengan faktor kurangnya penegakan protokol kesehatan dan pengendalian kepatuhan warga yang tidak ketat, serta nihilnya sanksi denda dalam peraturan wali kota apabila melanggar protokol kesehatan tersebut.

Menurut Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair Surabaya itu, pemerintah daerah harus mengendalikan kedisiplinan masyarakat terhadap protokol kesehatan yang tertuang dalam peraturan gubernur atau wali kota. Pelanggar kedisiplinan terhadap protokol tersebut harus diberi sanksi denda yang tegas. Ia juga mendesak agar testing PCR atau uji seka dapat ditingkatkan agar kasus positif Covid-19 dapat ditemukan sebanyak mungkin agar rantai pandemi dapat segera diputus.

Saksikan video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya