Ahli Pidana Sebut Unsur Pidana 3 Pasal Dakwaan Pencabulan MSAT Tidak Terpenuhi

Ketua Senat Akademik Universitas Al Azhar Indonesia di Jakarta ini mencontohkan, dalam pasal 285 KUHP diakuinya harus ada perbuatan berupa mengancam, atau unsur kekerasan lainnya.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 27 Sep 2022, 21:03 WIB
Diterbitkan 27 Sep 2022, 21:03 WIB
Anak Kiai Jombang MSAT saat menjalani sidang offline di PN Surabaya. (DIan Kurniawan/Liputan6.com)
Anak Kiai Jombang MSAT saat menjalani sidang offline di PN Surabaya. (DIan Kurniawan/Liputan6.com)

Liputan6.com, Surabaya - Ahli Pidana Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad menyebut, unsur pidana dalam tiga pasal yang dijeratkan pada terdakwa dugaan pencabulan Moch Subechi Azal Tsani (MSAT) alias Bechi dianggap tidak terpenuhi.

"Tiga pasal yang dijeratkan pada terdakwa MSAT yakni pasal 285, pasal 289, dan pasal 294 KUHP, tidak memenuhi unsur-unsur perbuatannya," ujarnya usai memberikan keterangannya di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa (27/9/2022).

Ketua Senat Akademik Universitas Al Azhar Indonesia di Jakarta ini mencontohkan, dalam pasal 285 KUHP diakuinya harus ada perbuatan berupa mengancam, atau unsur kekerasan lainnya. Hal ini, diakuinya, berbanding terbalik jika dilihat dari kronologis dalam dakwaan.

"Harus ada perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa itu, mengancam, atau ada unsur kekerasan. Jadi kalau lihat dari kronologisnya kan tidak ada tindakan yang berupa kekerasan atau kemudian ancaman kekerasan untuk dilakukan persetubuhan atau tidak pidana pencabulan," tegasnya.

Ia menjelaskan, mengapa dirinya mengatakan hal itu, karena dari bukti-bukti yang ada tidak ada tindakan-tindakan fisik seperti memukul pada korban atau, tindakan ancaman lainnya, berupa ancaman jika tak dituruti kemauannya, akan dilakukan kekerasan.

"Jadi kenapa saya mengatakan itu karena dari bukti-bukti yang diungkapkan tidak ada tindakan yang misalnya memukul atau tindakan-tindakan fisik yang dilakukan kepada korban misalnya seperti itu atau tidak ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa dia akan melakukan kekerasan jika dia tidak menuruti kemauannya," tambahnya.

Ia menyebut, dalam pandangannya secara keilmuan, unsur kekerasan atau ancaman kekerasan itu harus ada tindakan perbuatan yang mengarah pada tindakan fisik.

"Dalam pandangan saya secara teoritis bahwa kekerasan atau ancaman kekerasan itu harus ada tindakan perbuatan-perbuatan yang mengarah pada tindakan fisik. Sehingga korban tadi itu berada dalam situasi takut tercederai atau terancam atau tidak merdeka. Jadi tidak ada itu," tegasnya.

Bagaimana jika ada persetubuhan tapi tanpa paksaan? Suparji mengatakan, meski ada perbuatan itu, tapi tidak dilakukan dengan paksaan atau ancaman yang mengarah pada kekerasan fisik, maka unsur pada 3 pasal yang dijeratkan pada terdakwa tetap tidak terpenuhi.

"Sejauh pengetahuan yang saya miliki dari fakta tadi itu ada kecenderungan tanpa paksaan sebagaimana yang disampaikan oleh penasehat hukum persetubuhan itu," ujarnya.

"Taruhlah terjadi misalnya tapi tidak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan kalau misalnya ada persetubuhan tanpa kekerasan atau ancaman kekerasan berarti ya (pasal) 285 tidak masuk di situ, karena (pasal) 285 itu tidak semata-mata hanya karena menggunakan unsur persetubuhan tapi harus ada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan," imbuhnya.

Ia kembali menjelaskan, bahwa dalam perkara ini tidak memenuhi unsur karena didukung dengan alat bukti yang tidak memadai. Misalnya tidak ada saksi yang melihat, yang mendengar, dan mengalami atas peristiwa asusila itu. Selain itu, saksi-saksi yang dihadirkan pun juga tidak berkesuaian antara saksi satu dengan saksi yang lain.

"Saksi lain cerita A ini cerita B sehingga tidak terbangun sebuah kebenaran maka berarti tidak ada alat bukti saksi yang mendukung atas peristiwa pidana tadi itu," ujarnya.

Persoalan Visum

Demo memarnai sidang lanjutan kasus pencabulan anak kiai Jombang di PN Surabaya. (Dian Kurniawan/Liputan6.com).
Demo memarnai sidang lanjutan kasus pencabulan anak kiai Jombang di PN Surabaya. (Dian Kurniawan/Liputan6.com).

Sementara, pada sisi yang lain kalau menggunakan alat bukti surat misalnya berupa visum hal ini dianggapnya ada persoalan, dalam arti visumnya berulang-ulang susunannya ada cacat formil direvisi diperbaiki ada jangka waktu yang cukup lama antara visum dengan peristiwa yang dianggap terjadi tadi.

"Sehingga keakurasian kebenaran dari visum tadi dipertanyakan atau diragukan jadi alat bukti saksi tidak mendukung alat juga tidak mendukung pada sisi yang lain. Perkara ini sebetulnya sudah SP3 kemudian ada yang diungkap lagi terus pada sisi yang lain P19 nya lebih dari tiga kali, P19 yang sudah tiga kali itu mestinya perkara ini tidak lanjut karena tidak memenuhi syarat atau tidak layak," tandasnya.

Oleh karenanya, ia pun berharap bahwa peradilan ini tidak terpengaruh opini tapi lebih mengedepankan alat bukti fakta yang membentuk keyakinan hakim.

"Sehingga menghadirkan keadilan bagi terdakwa dan menghadirkan juga keadilan bagi korban sekiranya dia adalah korban. Kalau bukan korban, maka jangan sampai orang yang tidak salah diperlakukan tidak adil," ujarnya.

Infografis: Deretan kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan Tahun 2011 (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis: Deretan kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan Tahun 2011 (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya