Curhat Mendag Rachmat Gobel Saat Dimarahi Gara-gara Harga Naik

Mendag, Rachmat Gobel menegaskan, pihaknya akan membereskan spekulan sehingga tidak harus impor pangan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 17 Mei 2015, 20:15 WIB
Diterbitkan 17 Mei 2015, 20:15 WIB
Ini Komentar Mendag Usai Sidak Gudang Bulog
Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel memastikan bahwa harga beras menjelang Natal dan tahun baru 2015 hanya naik tipis, Jakarta, Senin (15/12/2014). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel mengenang pengalaman dihujani makian dari masyarakat akibat dianggap tidak mampu mengendalikan harga bahan pangan. Hal ini menyusul komitmennya untuk meniadakan impor pangan dalam rangka mensejahterakan para petani.

"Saya tegas tidak ada impor-impor dari luar, contohnya cabai dan Menteri Pertanian (Mentan) sudah setuju," kata Rachmat saat di acara Forum Senator Ekonomi Kerakyatan, Jakarta, Minggu (17/5/2015).

Bersama Mentan, dia bilang, pemerintah akan memberi kepercayaan kepada para petani untuk memproduksi cabai berkualitas baik dan stok melimpah supaya tidak perlu impor. Lantaran, lanjut Rachmat, saat masa panen, harga cabai terjun bebas sehingga membuat petani malas menanam bumbu pedas itu.

"Akibat tidak impor cabai, harga naik sampai Rp 100 ribu per kilogram (kg). Sampai saya dimaki-maki orang banyak karena tidak bisa mengendalikan harga. Itu konsekuensinya, nahan impor, harga jadi naik," kata Rachmat.

Saat harga cabai membumbung tinggi, lebih lanjut dia mengatakan, petani sudah mengalami keuntungan. Namun dari situasi tersebut, pedagang besar atau spekulan lebih mengantongi untung menggiurkan.

"Tapi saya tidak berhenti, akan bereskan spekulan-spekulan ini. Karena swasembada pangan sudah harga mati di pemerintahan Jokowi, tidak ada tawar-tawar lagi," ujar Rachmat.

Bahkan Rachmat Gobel sempat mengancam pemecatan para Eselon I jika berani memberi izin impor beras saat ini. Ternyata, dia bilang, impor beras yang terjadi adalah sejenis beras pecah yang diperuntukkan bagi kalangan industri karena tidak diproduksi di Indonesia. Biasanya beras pecah dimanfaatkan untuk tepung terigu dan tepung ketan.

"Jadi impor itu jalan terakhir kalau harga benar-benar tidak bisa dikontrol lagi. Sebab impor itu mudah, apalagi kita sudah punya kontrak dengan Vietnam dan Thailand di masa pemerintahan sebelumnya," pungkas dia. (Fik/Ahm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya