Liputan6.com, Jakarta - Ancaman buruh dengan menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran terkait penolakan terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengupahan dianggap bukan suatu hal yang akan mengganggu investasi.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Franky Sibarani mengatakan, aksi unjuk rasa buruh sudah menjadi hal yang biasa terjadi di dalam negeri. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia menjunjung demokrasi sehingga setiap warga negara termasuk buruh juga bebas menyampaikan pendapatnya.
"Dalam 5 tahun terakhir, demo sudah menjadi hal yang biasa. Berbeda pendapat sudah biasa. Kalau saat ini terjadi pun menurut kami biasa saja," ujarnya di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (15/10/2015).
Dia menjelaskan, bagi pemerintah yang terpenting saat ini adalah bagaimana bisa menarik investasi sehingga mampu menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya bagi masyarakat.
"Tinggal sekarang orientasi pemerintah seperti apa, itu penting. Kita kalau melihat berita PHK itu miris. Di satu sisi, bagi industri tekstil dan sepatu misalnya ada sebuah anomali, di suatu tempat investasinya naik tetapi di tempat lain kesulitan sampai mengurangi tenaga kerja," kata dia.
Meski demikian, lanjut Franky, apa pun kebijakan yang diambil oleh pemerintah, ia meyakini bahwa hal tersebut memiliki tujuan yang baik bagi pekerja maupun dunia usaha.
"Tetapi secara garis besar kebijakan pemerintah akan memberikan kesimbangan baik bagi para pekerja maupun yang belum bekerja," tandasnya.
Untuk diketahui, ratusan ribu buruh yang berasal dari berbagai serikat buruh seperti KSPI, KSPSI, KSBSI, KASBI, KP KPBI tengah mempersiapkan aksi besar-besaran.
Aksi ini akan dimulai pada pada 15 Oktober 2015 hingga Desember 2015 untuk menolak salah satu isi paket kebijakan ekonomi jilid IV tentang penetapan kenaikan upah minimum setiap tahun yang hanya berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Formulasi ini akan dituangkan dalam RPP pengupahan.
Presiden KSPI, Said Iqbal mengatakan, dalam aksi ini buruh juga ingin menolak kenaikan komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang akan ditinjau 5 tahun sekali. Selama ini KHL menjadi dasar untuk menetapkan nilai UMP atau UMK.
"Kebijakan ini jelas menghilangkan peran serikat pekerja untuk negosiasi upah minimum dan jelas jika pemerintah ingin kembali kepada kebijakan upah murah," ujar Said.
Said menilai, dengan ada PP Pengupahan, pengusaha akan mengendalikan upah buruh secara arogan. Padahal pengusaha sudah mendapatkan segalanya dari pemerintah melalui paket kebijakan ekonomi jilid I hingga III. Oleh sebab itu, buruh secara tegas menolak pengesahan RPP pengupahan.
Selain itu, buruh juga menolak kenaikan UMPÂ flat yang berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi; serta meminta menaikkan upah minimum 2016 sebesar 22 persen serta KHL menjadi 84 item. "Ini jelas, untuk mengembalikan daya beli buruh sehingga meningkatkan konsumsi yang diharapkan pertumbuhan ekonomi naik dan PHK terhindar," tandas Said. (Dny/Gdn)*