Penerapan Tax Amnesty Dapat Berlangsung Selama 1 Tahun

Gubernur BI Agus Martowardojo menuturkan, jangka waktu persiapan tax amnesty masih dapat berubah.

oleh Septian Deny diperbarui 06 Jun 2016, 19:55 WIB
Diterbitkan 06 Jun 2016, 19:55 WIB
20151104-Bahas-Keuangan-dan-Ekonomi-Jakarta-Agus-Martowardojo-AY
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo memberikan keterangan pada wartawan usai pertemuan dengan Presiden Finlandia Sauli Niinisto, Jakarta (4/11). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah bersama DPR RI masih terus melakukan pembahasan soal Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak /tax amnesty. Dalam pembahasan, kebijakan tax amnesty ini akan berlaku selama enam bulan saja, yaitu pada 1 Juli hingga 30 Desember 2016.

Namun Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan, jangka waktu penerapan tax amnesty tersebut masih bisa berubah. Bahkan bukan tidak mungkin waktu penerapannya diperpanjang menjadi satu tahun.

"Kalau di dalam perencanaan yang kita simak, itu akan ditawarkan 1 Juli itu sampe 30 Desember. Nanti ada pembahasan, mungkin akan ditawarkan 1 Juli sampai 30 Juni 2017. Jadi kita musti sama-sama mengikuti pembahasannya," ujar dia di Jakarta, Senin (6/6/2016).

Selain itu, Agus juga menyatakan penerapan tax amnesty ini belum tentu memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini. Meski demikian, menurut dia tax amnesty ini tetap penting untuk diterapkan sebagai upaya pemerintah untuk mengenjot penerimaan negara.


"Kita tidak bisa mengatakan lebih awal tentang tax amnesty, memang tadi ada pembicaraan tentang apakah ini dimasukkan ke dalam APBNP sebagai penerimaan atau belum. Jadi itu masih menjadi dinamika yang masih berjalan. Tetapi kalau kita liat secara umum, koreksi pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat terus kemudian dampaknya juga ekonomi Tiongkok ada berdampak pada Indonesia," ujar dia.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Arif Budimanta pernah menuturkan, pemerintah dan DPR masih membahas RUU Tax Amnesty dalam sebuah Rapat Panja. Pertemuan tersebut tentu akan memutuskan terkait besaran tarif tebusan deklarasi maupun repatriasi harta di luar negeri.

"Kita ingin memperbanyak capital inflow atau dana masuk ke dalam negeri, jadi tarif harus atraktif. Karena ada tawaran tarif tebusan tax amnesty lebih tinggi dari yang diusulkan pemerintah dalam RUU," ucap Arif.

Dalam perubahan terakhir draf RUU Pengampunan Pajak, tarif uang tebusan yang harus disetor ke negara bagi peserta tax amnesty adalah sebesar 2 persen di tiga bulan pertama. Selanjutnya di tiga bulan berikutnya dikenakan tarif 4 persen bagi yang mendeklarasikan uangnya di luar negeri.

Sementara bagi pemohon tax amnesty untuk repatriasi modal dipungut sebesar 2 persen pada tiga bulan pertama dan berikutnya 3 persen di tiga bulan berikutnya. Upaya lainnya, Arif mengakui, pemerintah harus menyiapkan instrumen memadai untuk menampung banjirnya aliran dana yang akan masuk ke Indonesia dengan kebijakan pengampunan pajak.

"Sediakan pipeline karena repatriasi banyak masuk. Tawarkan kerja sama Public Private Partnership (PPP). Skema pembangunan infrastruktur ini harus dikembangkan pemerintah," kata dia.

Dengan begitu, Arif berpendapat, implementasi tax amnesty dapat berjalan mulus dan berhasil. Berdasarkan historis, Indonesia sebelumnya telah menjalankan dua kali kebijakan pengampunan pajak, yakni pada periode 1964 dan 1984. Sayangnya, dua kali pelaksanaan tax amnesty yang dilakukan pemerintah saat itu mengalami kegagalan.

"Dengan tarif tebusan tax amnesty atraktif, dan instrumen memadai, harapannya uang yang masuk ke Indonesia untuk jangka panjang. Bukan saja memperkuat fiskal di tahun ini, tapi sifatnya kesinambungan fiskalnya lebih lama," tutur Arif. (Dny/Ahm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya