DPR Bahas RUU Migas pada Awal 2017

Anggota Komisi VII DPR Satya Yudha menuturkan, pembahasan RUU migas menunggu sinkronisasi, dan Desember di Badan Legislasi DPR.

oleh Pebrianto Eko WicaksonoIlyas Istianur Praditya diperbarui 24 Okt 2016, 10:15 WIB
Diterbitkan 24 Okt 2016, 10:15 WIB
2016, Krisis Listrik Ancam Jawa-Bali
Seiring pertumbuhan ekonomi, wilayah Jawa-Bali paling tidak harus mendapat tambahan pasokan listrik sebesar 4.000–5.000 megawatt (MW) setiap tahun. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - DPR RI memastikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas baru bisa dibahas bersama Pemerintah Januari 2017 mendatang.

Anggota Komisi VII DPR RI Satya W Yudha menjelaskan, revisi RUU Migas memang masih dibahas di Komisi VII, masih jadi polemik di sisi internal.

"Tunggu sampai nanti sinkronisasi, mungkin Desember 2016 sampai Baleg (Badan Legislasi DPR).  Kalau sudah sampai Baleg berarti semua fraksi sudah sepakat. Dari baleg dibawa ke paripurna, Januari 2017 baru bisa diketok, baru dibentuk panja atau pansus. Bisa mulai diskusi dengan pemerintah,” ungkap Satya, Senin (24/10/2016).

Selain itu, pembahasan RUU Migas nanti, Satya menuturkan, belum tentu hanya dilakukan komisi VII, melainkan juga bisa dari komisi lain yang berhubungan dengan migas. Dalam hal ini migas akan berhubungan dengan infrastruktur, kehutanan dan beberapa sektor lainnya.

"Jadi pembahasan resmi RUU migas itu tergantung Baleg DPR di mana ada dua mekanisme jika mekanisme pansus bukan hanya komisi VII saja tapi komisi lain yg berkaitan bisa ikut, kalau mekanisme panja yang membahas komisi VII dan mekanisme itu belum dipilih sekarang ini," tegas Satya.

Sebelumnya, Ketua Komisi VII DPR RI Gus Irawan menyatakan akan memprioritaskan revisi UU Migas lebih dulu. Alasannya pemerintah akan menerbitkan Peraturan Pemerintah baru yang merupakan turunan dari UU tersebut.

Menurut Gus Irawan, semua pembahasan revisi UU di sektor energi memang mengalami keterlambatan. Lantaran keduanya harus melalui proses yang panjang. "Revisi migas dan dan minerba tertunda. Karena prosesnya panjang," kata Gus Irawan.

Sementara itu, Pengamat energi Komaidi Notonegoro berharap, pemerintah dan DPR segera menentukan tenggat waktu kapan seharusnya RUU Migas tersebut bisa disahkan menjadi undang-undang. "Pengesahan UU Migas lebih cepat lebih baik. Sudah delapan tahun RUU Migas dibahas, rasanya tidak masuk akal saja kalau masih berkutat dengan masalah yang sama," ucap Komaidi.

Menurut Komaidi, kalau RUU Migas terus stagnan di DPR, pemerintah sebaiknya terbitkan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu). Perppu adalah domain pemerintah sehingga tidak perlu konsultasi dengan DPR, soalnya waktu sudah mepet tinggal 3 tahun, efektif 2 tahun.

PR di Sektor Energi

PR di Sektor Energi

Selama dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, masih ada pekerjaan rumah (PR) pada bidang energi yang harus diselesaikan‎.

Satya Widya Yudha mengungkapkan, beberapa kebijakan masih perlu didorong untuk diimplementasikan secara optimal. Salah satunya program konversi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG).

Konversi seharusnya sudah harus dilakukan sejak 2012, konversi BBM ke BBG di sektor transportasi akan langsung membuat penggunaan  minyak mentah dan produk BBM akan terpangkas drastis. Dengan demikian pemerintah hanya fokus pada pemenuhan cadangan penyediaan energi pada BBG.

"Sudah saatnya pemerintah lebih serius dalam melakukan konversi, guna menekan importasi energi yang membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)," kata Satya.

Satya melanjutkan, lifting minyak bumi saat ini sudah turun signifikan menyusul belum ditemukannya cadangan baru yang potensial. Imbasnya, Indonesia bergantung terhadap minyak mentah dan produk BBM dari luar negeri.

Sedangkan di sisi gas, lifting tercatat cukup stabil. Namun penyaluran gas dari dalam negeri masih terkendala dengan minim infrastruktur sehingga alokasinya banyak diekspor ke luar negeri.

"Jika indonesia sudah beralih ke BBG berarti kebutuhan minyak mentah berkurang jauh tapi untuk gasnya juga harus disiapkan cadangannya , agar terus ada pasokan gas pada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG)," ucap Satya.

Pekerjaan rumah berikutnya adalah pembenahan penyaluran elpiji bersubsidi, hanya untuk yang berhak. Sebaiknya pemerintah mulai serius untuk menerapkan distribusi tertutup. Distribusi terbuka sejauh ini banyak terjadi penyelewengan, karena epiji bersubsidi sering jatuh ke tangan yang tidak berhak.

Kemudian, pemerintah juga perlu memperkuat kebijakan untuk mengantisipasi pelemahan harga minyak bumi yang berujung pada penurunan kegiatan eksplorasi. Dengan menggunakan formula sliding scale ini membuat bagi hasil migas beradaptasi dengan naik turunnya harga minyak dunia.

"Apabila harga minyak rendah, maka porsi dari KKKS membesar, dan porsi negara mengecil. Ini dimaksudkan agar kontraktor bisa bertahan dalam kondisi harga minyak yang rendah.‎ Sebaliknya, pada waktu harga minyak dunia tinggi, maka porsi pemerintah bertambah. Sedangkan porsi kontraktor berkurang," jelas Satya.

Satya melanjutkan untuk sektor mineral dan batu bara, persoalan yang segera perlu dibenahi adalah tentang ekspor mineral, penataan izin pertambangan, renegosiasi kontrak pertambangan dengan pemegang kontrak karya, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan serta peningkatan divestasi.

Relaksasi ekspor minerba yang selama ini terjadi, melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara. Karena itu, revisi UU Minerba memang perlu segera dilakukan. Lantaran revisinya masih membutuhkan waktu, maka perlu dikeluarkan Perppu agar ada payung hukumnya.

Pemerintah juga perlu memikirkan cara pencapaian program pengadaan pembangkit listrik 35 ribu Mega Watt (MW).  Kemajuan pelaksanaan program percepatan proyek pembangkit listrik ini masih minim. Proyek besar ini membutuhkan koordinasi antara Kementerian ESDM dengan Kementerian Keuangan serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Kementerian Keuangan harus mengambil inisiatif dengan memberikan insentif  fiskal demi menarik keterlibatan investor baik lokal atau luar negeri.  Dalam proyek 35 ribu MW, keterlibatan swasta sangat penting mengingat porsi swasta dalam membangun pembangkit mencapai 25 ribu MW.

Kemudian, di bidang energi baru dan terbarukan (EBT), Satya menilai kerja pemerintah belum terlihat maksimal dan baru sekadar promosi. Pengembangan EBT tidak bisa ditunda lagi karena akan memainkan peranan penting sebagai sumber energi pada masa depan.

EBT harus mendapat subsidi, karena harga keekonomian akan sulit dicapai dengan harga energi fosil yang murah.  Subsidi ini penting untuk pengembangan EBT.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya