Liputan6.com, Jakarta - Perubahan aturan terkait kontrak bagi hasil di sektor minyak dan gas (migas) dari cost recovery menjadi gross split dinilai membuat sektor tersebut makin tidak menarik bagi investor. Bahkan disebutkan jika para investor siap untuk hengkang dari Indonesia akibat keluarnya aturan baru ini.
Menanggapi hal ini, Ketua Dewan Pimpinan Bidang Industri Gabungan Usaha Penunjang Energi dan Migas (Guspenmigas) Willem Siahaya mengatakan, keinginan untuk tetap bertahan atau hengkang dari Indonesia sebenarnya tergantung dari masing-masing investor. Sebab, perubahan aturan ini ditanggapi berbeda oleh masing-masing perusahaan migas yang telah beroperasi di Indonesia.
"Itu data dan statement saya tidak sampaikan. Tapi tergantung masing-masing perusahaan kontraktor minyak. Ada yang menarik dan ada yang tidak, tergantung pertimbangan masing-masing," ujar dia di Kantor Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Jakarta, Senin (13/2/2017).
Advertisement
Menurut Willem, sebenarnya jika dilihat dari sisi perizinan, aturan soal gross split ini lebih baik ketimbang cost recovery. Sebab, semuanya diatur oleh investor atau perusahaan migas yang akan melakukan eksplorasi di Indonesia. Namun semua kembali lagi pada kemampuan masing-masing perusahaan.
Baca Juga
"Kalau lihat kewajiban perizinan itu lebih baik. Kalau dulu kita harus usul rencana kerja, anggaran. Sekarang kita atur sendiri, tahunya sudah pembagian di depan. Kalau di belakang, 85:15. Itu (gross split) untuk menarik investor. Tapi tidak semua bisa menerima itu. Itu masing-masing pertimbangan, ada yang produksinya kecil, ada yang gede, ada yang di area sulit," jelas dia.
Sementara Direktur Eksekutif Guspenmigas Kamaluddin Hasyim mengatakan, sebenarnya perubahan aturan ini bukan tidak menarik bagi investor. Namun bagi pihaknya, perlu ada kepastian soal tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) dalam aturan gross split tersebut.
"Peraturan mengenai pengganti cara kontrak dengan cost recovery dengan gross split, itu bukan tidak menarik. Kita setuju dengan ini tapi yang belum bisa secara detail komponen TKDN yang akan berpihak pada produksi dalam negeri," tandas dia.
Sebelumnya pada 12 Februari 2017, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan saat ini sejumlah pengusaha minyak dan gas yang bersiap untuk hengkang dari Indonesia. Hal ini menyusul ketidakjelasan regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah.
Ketua Apindo Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sammy Hamzah mengatakan, saat harga minyak dunia masih belum stabil seperti ini, pengusaha meminta pemerintah untuk memberikan kepastian soal regulasi di sektor tersebut. Selain itu, pengusaha juga meminta pemerintah membuat terobosan baru yang bisa mendorong kegiatan bisnis di sektor minyak dan gas.
"Memang sebenarnya kondisi migas, karena industri sudah mengharapkan adanya terobosan baru dari pemerintah terkait permasalahan regulasi dan perizinan, ditambah denan harga minyak yang turun," ujar dia di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu (12/2/2017).
Salah satu regulasi yang dianggap menimbulkan ketidapastian yaitu skema gross split yang saat ini diberlakukan dalam kontrak eksplorasi migas. Menurut Sammy, regulasi yang mewajibkan perusahaan untuk menggunakan skema bagi hasil gross split ini membuat eksplorasi migas semakin tidak menarik.
"Jadi gross split ini sesuatu yang baik untuk beberapa jenis kontrak, seperti kontrak habis, kontrak produksi. Tapi kalau kontrak eksplorasi dengan term yang dikeluarkan pemerintah itu tidak menarik," kata dia.
Dia mengungkapkan, para pengusaha migas berharap skema gross split akan membuat kegiatan eksplorasi migas lebih besar lagi. Namun pada kenyataannya skema ini justru tidak menjawab harapan para pengusaha.