Berdampak Ekonomi, Aturan Kawasan Tanpa Rokok Harus Diterapkan Hati-hati

Di industri rokok nasional, jumlah tenaga kerja langsung dan tidak langsung mencapai lebih dari 7 juta orang.

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Apr 2018, 19:31 WIB
Diterbitkan 24 Apr 2018, 19:31 WIB
20160308-Ilustrasi-Tembakau-iStockphoto1
Ilustrasi Tembakau (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Penerapan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) diminta dilakukan dengan hati-hati. Ini karena aturan tersebut berpotensi menimbulkan dampak pada aspek sosial dan ekonomi. Salah satu wilayah yang akan menerapkan aturan ini, adalah Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, Perda KTR yang tidak bijaksana akan berimbas langsung kepada pertumbuhan ekonomi daerah dan tenaga kerja.

"Rata-rata ritel kecil seperti kelontong yang sangat bergantung pada penjualan rokok. Kalau sedikit saja kebijakan yang berpengaruh pada rokok, mereka akan terkena dampaknya dan dapat meningkatkan angka kemiskinan," kata Bhima di Jakarta, Selasa (24/4).

Di industri rokok nasional, jumlah tenaga kerja langsung dan tidak langsung mencapai lebih dari 7 juta orang. Dua juta orang di antaranya bekerja di sektor perdagangannya.

Di dalam satu batang rokok, menurut Bhima, terdapat potensi penerimaan negara dari pajak rokok sebesar 5,7 persen dan cukai rokok 57 persen.

Dengan begitu, target negara untuk mendapatkan penerimaan dari pajak Rp 1.618 triliun dan cukai Rp 155,4 triliun akan sulit tercapai.

"Jika benar diterapkan, dampak dari kebijakan ini akan langsung terasa. Dilihat dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, produksi rokok turun cukup signifikan," jelas dia.

Sementara untuk tahun ini, Bhima melanjutkan Kementerian Keuangan memprediksi produksi rokok nasional mengalami penurunan sebesar 9,8 miliar batang.

Saat ini, Perda KTR Nomor 12 Tahun 2009 sedang dibahas di DPRD Kota Bogor. Revisi tersebut ditargetkan rampung pada akhir tahun ini. Bhima meminta Pemkot dan DPRD Kota Bogor memikirkan nasib para pedagang ritel.

"Peraturan yang dibuat janganlah melarang, tetapi harus memberikan solusi bagi mereka yang saat ini menggantungkan hidupnya dari industri rokok. Setiap kebijakan yang berpengaruh terhadap ekonomi, apalagi terhadap rakyat kecil harus ada komunikasi intensif," tegasnya.

 

Minta Evaluasi Raperda

20160119-Buruh-Tembakau-AFP
Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau di pabrik rokok di Jember (13/2/2012). (AFP / ARIMAC WILANDER)

Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Forum Silaturahmi Pedagang Pasar Bogor (FSPB), Amar Nasution. Dia mengaku tak setuju dengan rencana larangan pemajangan dan penjualan rokok di pasar tradisional.

"Kalau untuk tidak merokok, saya setuju. Tapi kalau tidak memajang atau menjual, akan ada aktivitas ekonomi yang berpengaruh besar," ujarnya.

Untuk itu, dia meminta DPRD Kota Bogor mengevaluasi kembali Raperda KTR. Terutama berkaitan dengan potensi merusak perputaran roda ekonomi jika sampai rokok tak boleh dipajang atau dijual di pasar tradisional.

"Berapa persen aktivitas ekonomi di pasar tradisional yang bisa hilang kalau rokok dilarang dijual dan dipajang. Ini harus menjadi perhatian serius," tegasnya.

Kemendagri pun sempat angkat bicara terkait polemik ini. Kurniasih, yang saat itu menjabat Direktur Direktorat Produk Hukum Daerah Kementerian Dalam Negeri, mengakui ada beberapa daerah yang membuat regulasi tanpa mengacu peraturan di atasnya. Hal ini dikarenakan minimnya sosialisasi.

"Perda KTR Perlu disikapi dengan bijak. Sinkronisasi antara aturan yang lebih tinggi dan keinginan daerah untuk mengatur perlu dilakukan. Sehingga, hubungan pusat dan daerah berjalan selaras," kata Kurniasih.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya