SUN Kurang Diminati, Ini Kata Sri Mulyani

Pemerintah akan terus coba memahami keinginan yang disampaikan oleh para investor, yang juga calon pembeli bond.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 10 Mei 2018, 14:16 WIB
Diterbitkan 10 Mei 2018, 14:16 WIB
Menkeu Sri Mulyani.(Liputan6.com/JohanTallo)
Menkeu Sri Mulyani.(Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati turut angkat bicara soal rendahnya penawaran pada proses lelang Surat Utang Negara (SUN). Adapun SUN berguna untuk menjaga sisi pembiayaan yang telah ditetapkan dalam APBN 2018.

Dia menyatakan, pemerintah harus cermat dalam memonitor segala perubahan yang konstan terjadi pada saat ini, terutama sinyal-sinyal yang diberikan oleh negara maju seperti pergerakan US Treasure.

"Kita melihat bahwa pada bulan April dan Mei ini adalah proses di mana banyak perusahaan membagikan dividennya. Sehingga ini memberikan demand terhadap berbagai sumber dana dalam rangka bayar dividen," jelasnya di Jakarta, seperti dikutip Kamis (10/5/2018).

Sri Mulyani pun menekankan, pemerintah akan terus menjaga dari sisi pembiayaan APBN 2018. Dia pun mengaku, sudah mendapatkan pembiayaan yang melebihi kebutuhan sampai semester I 2018 ini.

"Sampai saat ini kita masih memiliki cash yang memadai karena kita sudah melakukan front loading waktu itu cukup banyak. Untuk penerbitan global bond, saat ini sudah terpenuhi di semester I itu jauh melebihi yang dibutuhkan," ungkap dia.

Lebih lanjut ia pun menyampaikan, bahwa pemerintah akan terus coba memahami keinginan yang disampaikan oleh para investor, yang juga calon pembeli bond.

"Jadi poin saya adalah pemerintah akan terus meneliti, melihat tingkah laku inevstor. Namun di sisi lain kita wajib mengingatkan bahwa fundamental ekonomi dari sisi pertumbuhan di atas 5 persen, defisit APBN mendekati 2 persen yang jauh di bawah treshold-nya UU maupun negara lain," pungkas dia.

Berapa Total Dana Asing yang Cabut dari RI?

Kurs rupiah masih betah di kisaran 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Salah satu penyebabnya adalah karena keluarnya dana asing dari Indonesia sekitar USD 1,9 miliar atau Rp 26,6 triliun (asumsi kurs Rp 14.000), sehingga menyebabkan dolar AS meningkat. 

Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede mengungkapkan, di tengah tren penguatan dolar AS terhadap mata uang dunia termasuk rupiah, BI selalu berada berada di pasar melakukan langkah stabilisasi rupiah dengan intervensi di pasar valas dan pasar Surat Berharga Negara (SBN), terindikasi dari kenaikan kepemilikan Bank Indonesia (BI) pada SBN dalam 1-2 bulan terakhir ini.

Langkah-langkah stabilisasi rupiah tersebut berimbas pada penurunan cadangan devisa (cadev) per April menjadi USD 124,9 miliar. Penurunan cadangan devisa dikonfirmasi oleh tren keluarnya dana asing di pasar keuangan baik di pasar saham dan pasar obligasi.

"Investor asing membukukan penjualan bersih sebesar USD 750 juta, sementara kepemilikan investor asing pada SBN juga turun sekitar USD 1,15 miliar yang mendorong pelemahan rupiah," kata Josua saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Kamis (10/5/2018).

Lebih jauh dijelaskannya, pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS masih didominasi faktor eksternal, antara lain terkait perjanjian nuklir dengan Iran karena akan berpotensi meningkatkan ketegangan geopolitik antara AS dengan Iran, serta mendorong kenaikan harga minyak dunia. Sementara kenaikan harga minyak dunia akan berpotensi membebani negara yang notabene adalah net importir minyak, antara lain India, Indonesia, dan Filipina.

Selain itu, sambung Josua, penguatan dolar AS terhadap mata uang negara maju dan negara berkembang juga dipengaruhi oleh rilis data Euro Zone yang relatif menurun, seperti laju inflasi Euro Zone serta laju factory order Jerman yang melambat yang mendorong ekspektasi bahwa bank sentral Eropa diperkirakan akan menunda melakukan pengurangan stimulus moneter sehingga memberi tekanan pada nilai tukar Euro.

"Dari domestik, pergerakan rupiah turut dipengaruhi oleh ekspektasi pelebaran defisit transaksi berjalan pada 2018. Ini seiring tren laju impor yang lebih cepat dari laju ekspor. Permintaan dolar AS yang meningkat di dalam negeri juga dipengaruhi oleh kebutuhan pembayaran dividen yang cukup besar dari perusahaan multinasional di Indonesia," terangnya. 

Ke depan, Josua mengatakan, BI diperkirakan masih akan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi rupiah melalui first line of defense dalam rangka menekan volatilitas nilai tukar rupiah.

"Volatilitas rupiah diperkirakan akan cenderung menurun pada semester II-2018, seiring normalnya permintaan dolar di dalam negeri, serta sentimen eksternal yang mulai mendukung khususnya setelah FOMC Juni, di mana Fed diperkirakan akan memberikan outlook terkini terkait arah suku bunga AS dalam jangka pendek ini," tandas Josua.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya