Harga Minyak Susut Imbas Kekhawatiran Permintaan

Harga minyak dunia turun sekitar dua persen didorong belum ada kemajuan signifikan dalam negosiasi perdagangan AS-China.

oleh Agustina Melani diperbarui 23 Mar 2019, 06:27 WIB
Diterbitkan 23 Mar 2019, 06:27 WIB
Ilustrasi tambang migas
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Liputan6.com, New York - Harga minyak dunia turun sekitar dua persen didorong belum ada kemajuan signifikan dalam negosiasi perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China.

Selain itu, data manufaktur dari Jerman dan AS kembali menyalakan kekhawatiran perlambatan ekonomi global dan permintaan minyak.

Indeks saham utama wall street anjlok antara 1-2 persen pada perdagangan Jumat waktu setempat usai produsen di Eropa, Jepang dan AS terpukul pada Maret karena survei menunjukkan ketegangan perang dagang AS-China telah mempengaruhi output pabrik.

Ini sebuah kemunduran karena harapan ekonomi global akan mengubah sudut pada perlambatannya.

Harga minyak mentah Brent ditutup turun 83 sen atau 1,2 persen ke posisi USD 67,30 per barel. Harga ini di bawah penutupan terakhir minyak Brent dan turun sekitar 0,2 persen selama sepekan. Kontrak minyak mencapai level tertinggi dalam empat bulan di posisi USD 68,69.

Harga minyak acuan global telah meningkat lebih dari 20 persen sejak awal Januari karena pemangkasan pasokan oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutu, seperti Rusia. Ditambah sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela.

Sementara itu, harga minyak berjangka West Texas Intermediate (WTI) merosot 94 sen atau 1,6 persen menjadi USD 59,04 per barel.

Harga minyak WTI sempat berada di posisi puncak pada perdagangan Kamis di kisaran USD 60,39 dan naik 0,8 persen selama sepekan.

"Data PMI mengecewakan hari ini dari Jerman dan Prancis mendorong kenaikan dolar AS lebih lanjut sementara, pada saat yang sama menekan selera risiko global," tutur Presiden Ritterbusch and Associates, Jim Ritterbusch, seperti dikutip dari laman Reuters, Sabtu (23/3/2019).

 

Selanjutnya

lustrasi tambang migas
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Dolar AS menguat terhadap euro pada Jumat pekan ini ke level tertinggi dalam sepekan. Dolar AS yang kuat membuat minyak lebih mahal untuk pemegang mata uang lainnya.

"Fakta bahwa faktor-faktor makro ini mampu mengimbangi dampak harga dari laporan EIA yang luar biasa membuktikan kerapuhan pergerakan bullish dalam tiga bulan ini," ia menambahkan.

Pada Rabu, the US Energy Information Administration menunjukkan stok pekan lalu turun hampir 10 juta barel, terbesar sejak Juli. Ini berkat ekspor yang kuat dan permintaan penyulingan.

Pertumbuhan ekonomi melambat di Asia, Eropa dan Amerika Utara berpotensi mengurangi konsumen bahan bakar. Ditambah tidak ada terobosan muncul dalam kebuntuan perdagangan antara Washington dan Beijing, setidaknya sebelum pertemuan yang dijadwalkan pada 28-29 Maret 2019.

Presiden AS Donald Trump menuturkan, negosiasi perdagangan dengan China mengalami kemajuan dan kesepakatan akhir "mungkin akan terjadi". Dalam jajak pendapat Reuters menemukan, tiga dari empat perusahaan Jepang memperkirakan friksi perdagangan AS-China berlangsung setidaknya hingga akhir tahun ini.

Lompatan lebih dari dua juta barel per hari untuk produksi minyak mentah AS sejak awal 2018 ke rekor 12,1 juta barel per hari telah menjadikan AS, produsen terbesar dunia.

Dengan begitu meningkatkan ekspr mencapai dua kali lipat dari tahun lalu menjadi lebih dari tiga juta barel per hari. Badan Energi Internasional memperkirakan AS menjadi pengekspor minyak mentah bersih pada 2021.

Perusahaan-perusahaan energi AS pekan ini mengurangi jumlah rig minyak yang beroperasi selama lima minggu berturut-turut. Memangkas sembilan rig ke jumlah terendah dalam hampir setahun karena produsen menindak lanjuti rencana untuk memangkas pengeluaran pemerintah.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya