Liputan6.com, Jakarta - Perekonomian Indonesia semester I 2019 tumbuh sebesar 5,06 persen (yoy) di tengah perlemahan dan ketidakpastian ekonomi dunia. Kondisi global saat ini dipengaruhi oleh munculnya pusat krisis baru dan adanya tekanan perdagangan internasional.
Pusat krisis baru yang muncul antara lain, akibat naiknya tensi politik di Jepang-Korea, Argentina, Hong Kong, pembalikan kurva imbal hasil Amerika Serikat (AS), serta perang dagang AS-China yang berkembang menjadi Currency War. Kondisi-kondisi ini menyebabkan sumber risiko global makin meluas dan meningkat.
Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai penanaman modal di Indonesia dinilai masih cukup menarik bagi negara lain.
Advertisement
Baca Juga
"Dalam situasi gonjang-ganjing ini sebetulnya Indonesia cukup menarik. Capital flow justru mengalami kenaikan," ujar Sri Mulyani di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (26/8).
Pada semester I 2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia didorong oleh kuatnya konsumsi dan kebijakan countercyclical belanja pemerintah. Stabilitas ekonomi Indonesia tetap terjaga dengan laju inflasi pada Juli 2019 sebesar 3,32 persen, dengan nilai tukar rupiah yang relatif stabil.
"Kondisi ini dinilai akan menjaga tingkat konsumsi masyarakat dan mendukung stabilitas ekonomi," jelas Sri Mulyani.
Di sisi lain, kebijakan dovish dari The Fed serta kebijakan pemberian stimulus ekonomi dari European Central Bank (ECB) telah membuka ruang untuk mengalirnya modal ke emerging market, termasuk Indonesia. Kondisi ini memberi dukungan untuk penguatan nilai rupiah.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sri Mulyani Waspadai Gejolak Ekonomi Global Berlanjut ke 2020
Menteri Keuangan Sri Mulyani mewaspadai ketidakpastian ekonomi global yang berpeluang masih berlanjut pada 2020.
Ada beberapa hal yang harus diwaspadai, salah satunya adalah hubungan perang dagang Amerika Serikat dan China yang belum menunjukkan keharmonisan.
Sejak awal perang dagang kedua negara ini, ekonomi global turut terpengaruh. Pertumbuhan ekonomi di berbagai dunia melambat dua negara digdaya itu belum juga damai.
"Tensi (AS dan China) masih meningkat, dalam ini ini sulit diprediksi karena di satu sisi kenaikan tarif dilakukan, kemudian ada penundaan tapi masih ada berbagai indikator dan persyaratan yang belum disetujui kedua pihak. Ini adalah ketidakpastian yang harus tetap waspadai dan perhitungkan di 2020," ujarnya di Kantor DPR, Jakarta, Selasa (20/8/2019).
Selain perang dagang China dan Amerika, Indonesia juga masih melihat kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) walaupun sudah menurunkan suku bunga acuannya beberapa waktu terakhir.
"Respons policy seperti Federal yang menaikkan suku bunga (2018), sekarang turunkan. Kita belum tahu apakah mereka akan lakukan lagi atau itu keputusan sendiri pada saat penurunan kemarin. Ini akan sangat menentukan momentum dari pelemahan ekonomi dunia berlanjut atau membalik di 2020 ini," jelas Sri Mulyani.
Dengan berbagai kondisi tersebut, Indonesia harus mampu mewaspadai dan juga mencari solusi untuk memitigasi seluruh kemungkinan yang akan terjadi ke depan. Salah satunya melalui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBN) 2020 yang kredibel.
"Hal-hal ini seperti inilah yang harus mampu kita kelolanya. Ketidakpastiannya juga harus kita waspadai namun tidak berarti bahwa kita tidak mampu kelola ketidakpastian itu. Itulah yang coba kita terus fokuskan menggunakan APBN sebagai instrumen menjaga ekonomi nasional dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi kita," tandasnya.
Advertisement
Mampukah Pemerintah Ubah Defisit APBN jadi Surplus?
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada periode Juni 2019 mengalami defisit sebesar Rp 135,8 triliun. Realisasi tersebut setara dengan 54,3 persen dari estimasi APBN 2019 yang menetapkan proyeksi defisit hingga akhir tahun sebesar Rp 296 triliun.
Lalu bisakah defisit APBN ditekan menjadi surplus?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, mengelola APBN tidak diproyeksi untuk dapat mengubah defisit menjadi surplus. Meski demikian, pemerintah berupaya untuk mengelola perekonomian melalui peningkatan pendapatan negara dari perpajakan.
"Kalau mengelola APBN kita tidak melakukan proyeksi seperti itu. Tapi yang diperhatikan dan terus menerus dikelola bagaimana perkembangan dari perekonomian yang sangat menentukan penerimaan dari perpajakan dan PNBP," ujarnya di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (19/8).
Sri Mulyani melanjutkan pendapatan perpajakan negara tentu sangat dinamis dan dipengaruhi oleh komoditas. Hal tersebut tergantung pada nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, situasi perdagangan dunia dan juga harga berbagai komoditas andalan ekspor.
"Karena itu sesuatu yang dinamis, seperti penerimaan pajak dari ekonomi yang berbasis komoditas ditentukan nilai kurs, harga komoditas, situasi perdagangan internasional dan pengaruhi APBN baik penerimaan pajak maupun bukan pajak," jelasnya.
Dia mengatakan apabila dalam perjalanannya, asumsi perekonomian yang ditetapkan ternyata berbeda dengan kondisi saat ini maka pemerintah akan berupaya mendekatkan pada asumsi awal dengan melakukan berbagai cara.
"Kalau dilihat ada perkembangan dan bergerak berbeda dengan basis asumsi yang jadi landasan awal, maka kita harus lihat bagaimana tren ke depan. Apakah ada faktor lain yang bisa mengkompisite sehingga kita akan berupaya mendekatkan pada asumsi awal, terutama sisi pencapaian," paparnya.
Mantan Direktur Pelaksa Bank Dunia tersebut menambahkan, pemerintah tidak hanya mendesain agar APBN tidak defisit. Akan tetapi bagaimana membuat desain APBN memberi dampak maksimal bagi masyarakat.
"Jadi mengelola APBN ada dinamika yang harus kita kelola terus-menerus. Di sisi lain fokus kita tidak hanya mengelola APBN tapi mengelola ekonomi. Jadi bagaimana APBN tetap jadi katalis dorong perekonomian," tandasnya.