Perang Dagang AS-China Memanas, Investor Bisa Kabur

Kebijakan Donald Trump diprediksi akan berpengaruh pada penguatan nilai mata uang dolar AS. Ketika ekonomi global dilanda ketidakpastian, investor bakal mencari instrumen yang lebih aman, salah satunya adalah aset berbasis dolar.

oleh Arief Rahman H Diperbarui 12 Apr 2025, 10:00 WIB
Diterbitkan 12 Apr 2025, 10:00 WIB
Ilustrasi perang dagang yang dilancarkan Donald Trump.
Ilustrasi perang dagang yang dilancarkan Donald Trump. (Dok. Viarami/Pixabay)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Perang tarif antara Amerika Serikat dan China memanaskan persaingan dagang antara kedua negara. Investor di berbagai negara lain, termasuk Indonesia dikhawatirkan hengkang.

Ekonom Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita menyampaikan kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan Presiden AS Donald Trump akan turut berpengaruh ke Indonesia. Belum lagi ada serangan balasan dengan tarif tinggi oleh China bagi produk asal AS.

"Jadi pengaruh langsungnya itu kalau ke Indonesia bahwa proses premature deindustrialization (deindustrialisasi dini) ini akan berlanjut dan akan sulit untuk diantisipasi kalau ini dibiarkan," kata Ronny saat dihubungi Liputan6.com, dikutip Sabtu (12/4/2025).

Kebijakan Donald Trump diprediksi akan berpengaruh pada penguatan nilai mata uang dolar AS. Ketika ekonomi global dilanda ketidakpastian, investor bakal mencari instrumen yang lebih aman, salah satunya adalah aset berbasis dolar.

"Biasanya memang dolar akan menguat dalam kondisi seperti ini karena dolar dianggap sebagai salah satu safe haven dan hard currency. Di mana ketika ketidakpastian ekonomi semakin bertambah maka para investor dan pemegang aset itu akan berpindah kepada dolar berpindah kepada aset berdenominasi dolar," katanya.

"Sehingga membuat permintaan terhadap dolar meningkat nilai dolar semakin bertambah dan nilai rupiah semakin melemah karena banyak yang melepas rupiah," imbuh Ronny.

Biaya Produksi Naik

Dampak turunannya, biaya impor bahan-bahan yang dibutuhkan oleh Indonesia akan bertambah. Mengingat lagi, banyak industri di Tanah Air yang membutuhkan bahan baku dari luar negeri.

"Nah kalau biaya impornya bertambah maka biaya produksi dalam negeri akan bertambah dan akan membuat harga-harga produk manufaktur dalam negeri menjadi bertambah dan naik," terangnya.

Daya Beli Melemah hingga Ancaman PHK

Berikutnya, daya beli masyarakat turut akan terdampak negatif imbas dari kenaikan harga di sektor hilir. Lebih jauh, ancaman tersebut menimbulkan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) karena industri manufaktur yang melemah.

"Ini akan menciptakan inflasi juga, akan menekan daya beli dan akan membuat biaya produksi di sektor industri kita bertambah yang membuat sementara pasarnya berkurang, akan membuat permintaannya berkurang lalu membuka peluang untuk terjadinya PHK lebih lanjut di sektor industri manufaktur," jelas Ronny.

China Balas Trump Lagi, Tarif Impor Barang dari AS Naik Jadi 125% Mulai 12 April

Ilustrasi Bendera China (AFP/STR)
Ilustrasi Bendera China (AFP/STR)... Selengkapnya

China kembali membalas tarif timbal balik Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan menaikkan tarif impor atas barang-barang AS menjadi 125% dari 84%. Hal ini diungkap oleh Komisi Tarif Bea Cukai Dewan Negara dalam sebuah pernyataan pada hari Jumat.

“Bahkan jika AS terus mengenakan tarif yang lebih tinggi, itu tidak akan lagi masuk akal secara ekonomi dan akan menjadi lelucon dalam sejarah ekonomi dunia,” tulis Komisi Tarif Bea Cukai China, dikutip dari CNBC, Jumat (11/4/2025).

“Jika AS terus mengenakan tarif atas barang-barang China yang diekspor ke AS, China akan mengabaikannya,” katanya.

Untuk diketahui, Donald Trump menargetkan tarif tinggi terhadap barang impor dari China yang mulai berlaku Kamis, 10 April 2025. Seiring hal itu, Gedung Putih mengklarifikasi kalau tarif kumulatif kepada China sebenarnya akan mencapai 145 persen.

Aksi Donald Trump Sebelumnya

Donald Trump tampil di acara CPAC 2021.
Donald Trump tampil di acara CPAC 2021. Dok: AP Photo/John Raoux... Selengkapnya

Sebelumnya, Gedung Putih menunjukkan perintah penundaan penerapan tarif resiprokal selama 90 hari. Namun, Donald Trump menggandakan menaikkan tarif baru impor China menjadi 125 persen. Selain itu, tambahan tarif 20 persen dari awal tahun atas dugaan peran China dalam rantai pasokan Fentanyl, demikian seperti dikutip dari Channel News Asia, ditulis Jumat (11/4/2025).

Hal itu mendorong tarif yang telah dikenakan Trump pada barang China pada 2025 menjadi 145 persen, terdiri dari tarif baru 125 persen untuk barang, di luar dari tarif 20 persen yang dipungut sebagai respons terhadap krisis fentanyl. Namun, angka 125 persen terbaru terhadap China yang ditujukan untuk mengatasi praktik yang dianggap tidak adil berisi pengecualiaan penting. Itu tidak termasuk produk impor baja dan aluminium serta mobil yang Trump terapkan 25 persen terpisah dari rezim sebelumnya.

Jumlahnya juga tidak berlaku untuk barang seperti tembaga, obat-obatan, semikonduktor, kayu dan produk energi, beberapa di antaranya Trump telah menandai rencana menargetkan secara terpisah juga. Hal ini menggambarkan lebih rumit tentang tingkat tarif, bahkan saat ketegangan melambung antara AS dan China.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya