Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan, efisiensi investasi proyek hulu minyak dan gas bumi (migas) menjadi celah bagi pemerintah untuk menekan harga gas bumi.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, masih ada kemungkinan harga gas dari mulut sumur mengalami penurunan. Namun penurunan itu untuk sumur yang belum berproduksi. Sedangkan untuk yang sudah berproduksi sulit untuk diturunkan, sebab biaya investasi sudah terbentuk.
Advertisement
Baca Juga
"Untuk harga hulu ke depan ya Insya Allah kita masih bisa ada ruang untuk diturunkan, tapi untuk hulu yang sudah berproduksi itu susah," kata Arcandra, di Jakarta, Jumat (27/9/2019).
Untuk harga gas hulu dari sumur yang belum berproduksi bisa mengalami penurun karena masih ada kesempatan untuk memangkas biaya belanja modal atau Capital Expenditure (Capex).
"Jambaran Tiung Biru (contohnya). Kita potong capex USD 500 juta, sehingga harga hulunya dari USD 9 per MMBTU jadi USD 7,6 per MMBTU. Di hulu USD 6,7, midstream USD 6,9 per MMBTU. Jadi hulunya USD 6,7 per MMBTU," papar Arcandra.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Gross Split
Arcandra melanjutkan, dengan penerapan mekanisme bagi hasil migas gross split juga akan mendorong produksen migas atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) berhemat. Sebab biaya investasi hulu migas tidak lagi dibayar negara.
"Di hulu kita efisien gross split. Untuk tahun ini cost recovery karena sudah mulai masuk ke gsoss split tahun 2018 dan seterusnya," tuturnya.
Agar sektor hulu migas lebih efisien dalam investasi, Kementerian ESDM pun meminta KKKS lebih efisien dalam melakukan perencanaan pengembangan lapangan migas, sehingga harga gas yang keluar dari sumur juga lebih ekonomis.
"Dengan adanya penghematan-penghematan ini maka harga hulu baik gas dan minyak bisa kompetitif. Untuk itu kami berusaha agar hulunya ikut merencnkaan produk yang lebih kompetitif jadi harga bisa ditekan, sekompetitif mungkin," tandasnya.
Advertisement