Inflasi 2019 Sebesar 2,72 Persen, Terendah Sejak 2009

Inflasi 2019 juga lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya.

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Jan 2020, 11:51 WIB
Diterbitkan 02 Jan 2020, 11:51 WIB
BPS Sebut Inflasi Januari-November 2019 Turun
Pedagang sayur mayur menunggu pembeli di pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (2/12/2019). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka inflasi sepanjang Januari-November 2019 sebesar 2,37 persen, lebih kecil ketimbang periode yang sama tahun lalu sebesar 2,50 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi sepanjang tahun 2019 adalah 2,72 persen. Angka itu merupakan inflasi terendah sejak 2009 atau 10 tahun terakhir.

Kepala BPS, Suhariyanto menjelaskan inflasi 2019 juga lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya.

“2009 inflasi 2,78 persen, kalau tahun 1999 itu sebesar 2,3 persen, kembali inflasi 2,72 persen ini selama 10 taun terakhir,” kata dia dalam acara konfrensi pers di kantornya, Jakarta, Kamis (2/1).

Dia menjelaskan, rendahnya inflasi di tahun ini karena ada perbedaan pada Administered Price atau harga barang/jasa yang diatur oleh Pemerintah, misalnya harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik.

“Kenapa inflasi 2019 bisa lebih rendah dr tahun 2018? inflasi inti, tahun 2018 dan 2019 ga beda jauh. tapi berbeda di administered prices,” ujarnya.

Adapun tahun ini komoditas utama yang memicu inflasi adalah emas perhiasan sebesar 0,16 persen. Kemudian Bensin 0,26 persen.

“Jadi kalau boleh disimpulkan tahun 2019 inflasi 2,72 persen ini karena memang harga-harga relatif terkendali karena berbagai kebijakan, dan dari sisi administered prices gak menyumbang banyak karena memang gak ada kebijakan yang berpengaruh banyak kalau dibandingkan kebijakan di tahun 2018,” tutupnya.

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Masalah Dibalik Rendahnya Inflasi Indonesia

Inflasi
Pembeli membeli sayuran di pasar, Jakarta, Jumat (6/10). Dari data BPS inflasi pada September 2017 sebesar 0,13 persen. Angka tersebut mengalami kenaikan signifikan karena sebelumnya di Agustus 2017 deflasi 0,07 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tercatat inflasi terkendali. Hanya saja, capaian ini belum bisa menjadi tolak ukur kesuksesan pemerintah dalam memimpin Indonesia lima tahun terakhir.

Pengamat Ekonomi dari Economic Action Indonesia (EconAct) Ronny P Sasmita menjelaskan, ada beberapa hal yang harus segera diselesaikan pemerintah baru dibalik rendahnya inflasi tersebut.

"Coba jika kita sandingkan dengan data trend penurunan konsumsi rumah tangga dan kapasitas ekspor non migas yang terus melemah, dan data import komoditas yang juga terus meningkat. Apalagi jika kita kaitkan dengan apa yang terjadi di Amerika, Eropa, Jepang, dan lainya," kata Ronny kepada Liputan6.com, Minggu (13/10/2019).

Dia menambahkan, negara-negara besar yang terpapar stagnasi sejak krisis 2008 lalu, sangat berharap inflasinya naik. Bahkan di Amerika dna Eropa, untuk mecatatkan inflasi dua persen ke atas saja, usahanya sangat berat.

Di tengah inflasi yang rendah, menurut Ronny, terjadi pelemahan di sektor konsumsi rumah tangga, pelemahan ekspor non migas, dan peningkatan impor, boleh jadi berarti bahwa telah terjadi penurunan daya beli.

"Saya yakin, sedari dua tahun lalu pemerintah sangat memahami kondisi ini. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa kali pemerintah menambah alokasi dana sosial dan subsidi energi, untuk menahan pelemahan lebih lanjut konsumsi rumah tangga," ucapnya.

"Hanya saja narasi yang dibangun ketika itu bukanlah ancaman pelemahan daya beli, lagi-lagi dalam konteks umum alasanya tekanan ekonomi akibat perlambatan pertumbuhan global," jelas pria yang juga sebagai tim ahli ekonomi Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) itu.

Dan tak bisa dipunggiri, dia menegaskan, rendahnya raihan pertumbuhan ekonomi Indonesia diakibatkan oleh melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan penurunan kontribusinya terhadap PDB Nasional, selain kurang maksimumnya kinerja investasi dan ekspor non migas.

Data BPS

BPS Sebut Inflasi Januari-November 2019 Turun
Seorang ibu membeli kebutuhan pokok di pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (2/12/2019). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka inflasi sepanjang Januari-November 2019 sebesar 2,37 persen, lebih kecil ketimbang periode yang sama tahun lalu sebesar 2,50 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Berdasarkan data dari BPS, ekonomi Indonesia kuartal I 2019 hanya tumbuh 5,07 persen dibandingkan periode sama tahun lalu atau tumbuh negatif 0,52 persen dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. "Angkanya sejalan dengan melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga," kata Ronny.

Pada kuartal I 2019, pertumbuhan konsumsi tercatat sebesar 5,01 persen secara tahunan. Meski lebih baik dibanding periode sama tahun lalu, konsumsi sedikit melambat dari kuartal IV 2018 yang mencapai 5,08 persen.

Selanjutnya, menurut Ronny, dengan kontribusi terbesar, konsumsi rumah tangga menjadi salah satu acuan untuk mengukur ekonomi secara keseluruhan. Tren pertumbuhan konsumsi selalu sejalan dengan laju ekonomi. Saat konsumsi melambat, hampir dipastikan akan berefek pada agregat pertumbuhan ekonomi.

Sebut saja misalnya data PDB Triwulan IV-2017, kontribusi konsumsi sektor rumah tangga dalam perhitungan PDB masih dominan, yaitu 56,13 persen terhadap PDB.

"Namun kontribusi tersebut menurun dari Triwulan IV-2016 (56,56 persen). Penurunan terjadi akibat imbas dari konsumsi rumah tangga yang hanya tumbuh sebesar 4,97 persen (yoy) atau menurun dibanding Triwulan IV-2016 (4,99 persen)," ungkapnya.

Impor Meningkat

Neraca Ekspor Perdagangan di April Melemah
Aktifitas kapal ekspor inpor di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (26/5). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus 1,24 miliar . (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ronny melanjutkan, kemudian sisi lainya adalah bahwa inflasi rendah lebih banyak didorong oleh pemerintah dari sisi supply, terutama dari sisi import.

Karena kepentingan stabilisasi harga, pemerintah habis-habisan menjaga supply, tanpa banyak memikirkan kapasitas produksi dalam negeri sehingga kebijakan impor tak bisa dielakan lagi, sampai data neraca dagang beberapa kali defisit dan menyiasatinya dengan pengurangan impor, bukan dengan meningkatkan ekspor.

"Lalu, jika kita perhatikan data BPS, untuk barang makanan jadi atau makanan olahan, inflasinya tak terlalu rendah, jika dibanding dengan angka pertumbuhan yang diraih, walau harga bahan baku untuk barang makanan jadi tercatat inflasinya rendah," Ronny menjelaskan.

"Apalagi jika kita kaitkaan dengan kepentingan petani misalnya, mereka justru terimbas langsung dari inflasi rendah karena harga jual hasil panennya juga ikut terbawa rendah, bahkan ada yang membuang-buang hasil panennya sebagai bentuk kekesalan. Sementara di pedesaan, sebagai sentra penghasil komoditas pertanian, sebagaimana data BPS, seringkali inflasinya tinggi karena ikut memgkonsumsi barang-barang dari kota. Sehingga kehidupan ekonomi petani, kian hari kian berat," pungkas dia. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya