Pengaduan Sektor Perumahan Turun sepanjang 2020

Tahun ini pengaduan sektor perumahan hanya 487 kasus atau 39,92 persen.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Des 2020, 11:46 WIB
Diterbitkan 14 Des 2020, 13:45 WIB
dp rumah murah
Dana yang dikucurkan jelang dua minggu sebelum Hari Raya ini sangat potensial untuk dialokasikan sebagai dana tambahan untuk uang muka rumah.

Liputan6.com, Jakarta Sepanjang tahun 2020, pengaduan sektor perumahan yang diterima Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya.

Tahun ini pengaduan sektor perumahan hanya 487 kasus atau 39,92 persen. Sedangkan sepanjang tahun 2017-2019 terdapat 1.988 pengaduan atau 83,6 persen dari total pengaduan.

Ketua Komisi Advokasi BPKN, Rolas B Sitinjak mengatakan ada berbagai pengaduan yang dilakukan konsumen yang berkaitan dengan pelaku usaha baik itu developer atau perusahaan pengembang. Mulai dari ketersediaan fasilitas sosial dan fasilitas umum perumahan, fisik pembangunan, legalitas, mangkrak, P3SRS, pembiayaan SBUM, penipuan, pailit, refund hingga KPK.

"Dari pengaduan konsumen yang masuk, modus pelaku usaha ini bervariatif ada masalah fasos dan fasum perumahan, mangkrak sampai dengan pembiayaan," kata Rolas dalam Catatan Akhir Tahun BPKN 2020, Jakarta, Senin (14/12).

Rolas mengatakan dulu jika ada pengembang yang terlambat melakukan pembangunan tidak pernah didenda. Sementara jika konsumen terlambat membayar bisa dikenakan denda.

Untuk itu BPKN melakukan koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) agar dibuatkan regulasi yang memberikan perlindungan bagi konsumen. Maka, lahirlah Permen PUPR Nomor 11 tahun 2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah. Regulasi ini pun mengatur denda bagi pengembang yang terlambat membangun unit yang telah dibeli.

"Ketika pengembang terjadi keterlambatan maka dia akan didenda, jadi kepastian hukum ke konsumen di sektor perumahan sudah semakin baik," kata dia.

Masalah lain yang sering diadukan yakni sertifikat rumah yang tak kunjung diberikan pengembang kepada konsumen. Tidak sedikit kata Rolas masalah ini diadukan konsumen. Permasalah ini bahkan terjadi pada perusahaan negara yang menurut konsumen dianggap paling aman.

"Beli perumahan dari bank plat merah juga tidak menjamin keamanan, padahal perspektif masyarakat kalau beli di bank plat merah harusnya sudah aman, tapi tahunya tidak aman juga," kata dia mengakhiri.

Anisyah Al Faqir

Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Pemerintah Bakal Tambah Insentif Sektor Perumahan di 2021

Berburu Rumah Murah di Indonesia Property Expo 2017
Pengunjung melihat maket rumah di pameran Indonesia Property Expo (IPEX) 2017 di JCC, Senayan, Jakarta, Jumat (11/8). Pameran proyek perumahan ini menjadi ajang transaksi bagi pengembang properti di seluruh Indonesia. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Di 2021 menjadi tahun penuh harapan dan optimisme dalam proses pemulihan ekonomi, tidak hanya di Indonesia tapi juga secara global. Semua sektor diharapkan dapat pulih dan memberikan kontribusi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi termasuk sektor properti/perumahan.

Untuk memacu sektor tersebut diperlukan dukungan seluruh stakeholders di antaranya adalah Pemerintah, Jasa Keuangan dan Perbankan, Pengembang dan juga sektor pendukung lain yang menjadi ekosistem di sektor ini.

Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan RI Andin Hadiyanto menyampaikan dalam paparannya pada saat HUT KPR-BTN ke-44 pekan lalu di Jakarta,  pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2021 diproyeksikan dapat mencapai 5 persen. Angka itu jauh membaik dibandingkan tahun 2020 yang diperkirakan mengalami kontraksi sebesar -1,7 persen hingga -0,6 persen.

Andin menilai sektor properti/perumahan sangat berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi karena Pemerintah juga meyakini sektor tersebut sangat strategis, sehingga menjadi perhatian dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), 

“Karena sektor properti sangat strategis, melekat di berbagai dimensi, tidak hanya dimensi ekonomi, tapi juga dimensi sosial, keuangan dan juga fiskal. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi backlog perumahan nasional, jadi akan banyak tambahan rumah yang bisa diakses masyarakat, khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR),” kata Andin, Senin (14/12/2020).

Andin menilai dibutuhkan intervensi langsung dari Pemerintah untuk MBR. Sebab, angka backlog kepemilikan rumah sebesar 11,4 juta orang. Sementara backlog keterhuniaan adalah sebesar 7,6 juta orang.

Intervensi yang dilakukan Pemerintah mencakup sejumlah aspek diantaranya mendorong supply side dengan mengusahakan ketersediaan rumah, meningkatkan akses pembiayaan, harga rumah yang terjangkau dan program berkelanjutan.

Untuk itu, Kementerian Keuangan menurut Andin sudah memberikan sejumlah insentif fiskal dan alokasi anggaran belanja seperti Subsidi Selisih Bunga (SSB), Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT), Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), Dana Alokasi Khusus Fisik (DAKF) serta dana bergulir Fasilitas Pembiayaan. 

Dukungan Pemerintah dari tahun ke tahun terus meningkat nilainya. Pada tahun 2020, dana bergulir FLPP Rp 9 triliun,  SBUM Rp 600 miliar dan  SSB Rp 3,87 triliun. Sedangkan PMN untuk SMF Rp 1,75 triliun, PEN Perumahan Rp 1,3 triliun dan DAKF Rp1,42 triliun.

"Pada tahun 2021, alokasi tersebut bertambah, yakni dana bergulir FLPP menjadi Rp 16,62 triliun, SBUM menjadi Rp 630 miliar dan SSB menjadi Rp 5,97 triliun. Sedangkan PMN untuk SMF menjadi Rp 2,25 triliun dan DAKF menjadi Rp1 triliun,” kata Andin.

Dengan dukungan Pemerintah tersebut, Andin optimistis para pelaku sektor properti/perumahan dapat diakselerasi dengan baik.  Perbankan khususnya dapat memaksimalkan perannya menjadi penyalur dana pemerintah baik  anggaran subsidi maupun Dana PEN yang sudah dialirkan sejak Juni lalu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya