Imbas Kebijakan DMO Sawit, Pabrik Oleokimia Setop Produksi

Perusahaan yang bergerak di bidang oleokimia menghentikan produksi karena tidak mampu memenuhi kewajiban memasok minyak goreng sebanyak 20 persen dari produk yang akan diekspornya.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Mar 2022, 15:45 WIB
Diterbitkan 12 Mar 2022, 15:45 WIB
Ilustrasi CPO 1 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi CPO 1 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Liputan6.com, Jakarta Perusahaan yang bergerak di bidang oleokimia, PT Sumi Asih menghentikan produksi karena tidak mampu memenuhi kewajiban memasok minyak goreng sebanyak 20 persen dari produk yang akan diekspornya.

Direktur HRD and Legal PT Sumi Asih Markus Susanto di Jakarta, Sabtu, mengatakan karena tidak bisa beroperasi, pabrik yang berlokasi di Bekasi, Jawa Barat, tersebut telah merumahkan 350 karyawannya.

Markus Susanto memaparkan pabriknya tidak menggunakan CPO sebagai bahan baku produksi, tetapi menggunakan RBD stearin yakni produk samping pabrik minyak goreng untuk kemudian diolah menjadi stearic acid dan glycerine.

Permendag No. 8 Tahun 2022 mewajibkan produsen oleokimia yang akan mengekspor produknya menjalankan DMO minyak goreng.

"Aturan tersebut tentu menyulitkan produsen oleokimia yang tidak memproduksi minyak goreng," katanya, dikutip dari Antara, Sabtu (12/3/2022).

Untuk memenuhi kewajiban DMO itu, pihaknya harus membeli CPO atau olein dengan harga pasar yang saat ini Rp20.500 per kilogram kemudian menjual minyak goreng dengan harga yang ditentukan pemerintah Rp10.300 per kg.

"Jika dihitung dengan melaksanakan DMO sebesar 20 persen, perusahaan tiap bulan akan menanggung defisit sekitar Rp6,3 miliar," katanya.

Dia merinci angka itu berasal dari 30.000 ton produk stearic acid dan glycerine yang setiap bulan diekspor dikalikan 20 persen berarti 600 ton yang kemudian dikalikan selisih yang harus dibayar bahan baku dengan minyak goreng Rp9.700 per kg sama dengan Rp6,3 miliar.

Jika sekarang DMO menjadi 30 persen berarti defisit perusahaan hampir Rp10 miliar dalam sebulan.

Menurut dia, aturan DMO itu tidak berdampak serius bagi industri oleokimia yang terintegrasi yakni dalam satu grup usaha juga memiliki kebun sawit, punya pabrik kelapa sawit (PKS) yang memproduksi tandan buah segar (TBS) menjadi CPO, punya pabrik pengolahan minyak goreng, pabrik oleokimia sampai pabrik fatty alcohol, dan pabrik biodiesel.

“Bagi mereka ini akan sangat mudah melaksanakan aturan DMO itu, karena dia produksi minyak goreng. Walaupun dia rugi jual minyak goreng untuk DMO, tapi dia kan bisa menggenjot produk lain untuk diekspor,” katanya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

3 Pekan Tak Produksi

Ilustrasi CPO 4 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi CPO 4 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Markus mengungkapkan, saat ini perusahaannya tidak dapat melakukan ekspor karena sudah tiga pekan tidak berproduksi.

Sementara itu, Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menolak DMO 30 persen dari sebelumnya 20 persen.

"Tidak perlu DMO 30 persen, cukup 20 persen dan bahkan saya sarankan supaya lebih lancar lagi, tidak perlu ada DMO,” ujar Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga dalam konferensi pers, Jumat (11/3).

Menurut dia, kebijakan tersebut justru akan mempersulit eksportir, bahkan bisa mengakibatkan ekspor jadi macet.

"Apabila ekspor terhalang, perkebunan sawit akan rugi karena 64 persen market kita ada di pasar luar negeri,” ujar Sahat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya