Liputan6.com, Jakarta Krisis perbankan baru-baru ini di Amerika Serikat dan Eropa dikhawatirkan dapat menyebar ke lembaga non-bank penting seperti dana pensiun, yang semakin memperumit perjuangan bank sentral meredam tingginya inflasi yang tinggi.
Hal itu diungkapkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) pada Selasa (4/3).
Baca Juga
Mengutip Channel News Asia, Rabu (5/4/2023) ekonom IMF dalam postingan blog menuliskan bahwa "(risiko perbankan) dapat meningkat dalam beberapa bulan mendatang di tengah berlanjutnya pengetatan kebijakan moneter secara global".
Advertisement
Risiko ini juga dikhawatikan dapat menyebar ke sektor non-bank yang saling berhubungan, yang sekarang memegang hampir setengah dari seluruh aset keuangan global
Postingan blog IMF diterbitkan di waktu yang sama dengan laporannya tentang stabilitas keuangan global.
Seperti diketahui, ank-bank sentral di AS dan Eropa telah bekerja keras untuk mengatasi inflasi yang tinggi dengan menaikkan suku bunga, tanpa menambah gejolak di sektor perbankan yang dipicu oleh keruntuhan dramatis Silicon Valley Bank.
Pemberi pinjaman itu kolaps setelah mengambil risiko suku bunga yang berlebihan, yang membuatnya terlalu terekspos ketika bank sentral AS memulai kampanye kenaikan suku bunga yang agresif.
Non-bank financial intermediaries (NBFI) seperti dana pensiun dan investasi telah tumbuh secara dramatis sejak krisis keuangan global tahun 2008, ketika regulator bergerak untuk memperketat aturan tentang bank.
IMF melihat, NBFI sangat terkait dengan bank tradisional, dan dapat "menjadi saluran amplifikasi penting dari tekanan keuangan".
Untuk mengatasi masalah ini dengan benar, IMF mengatakan pembuat kebijakan perlu menggunakan berbagai cara, termasuk memberlakukan pengawasan dan regulasi sektor yang lebih kuat, dan mendorong perusahaan untuk berbagi lebih banyak data tentang risiko yang mereka ambil.
Silicon Valley Bank Kolaps, Sri Mulyani Pelototi Krisis Perbankan di AS dan Eropa
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa pihaknya memantau dengan cermat pada situasi krisis perbankan di Amerika Serikat dan Eropa.
Hal itu disampaikan Menkeu dalam acara Gala Seminar ASEAN 2023: “Enhancing Policy Calibration for Macro Financial Resilience” pada Rabu sore (29/3).
"Sekarang kita mengerti bahwa situasi di Amerika Serikat dan Silicon Valley Bank, di mana bank yang memegang obligasi pemerintah, tingkat suku bunga yang sangat curam oleh Federal Reserve memengaruhi harga. Jadi market to market pasti akan menggerus neraca mereka," kata Sri Mulyani dalam paparannya di Bali Nusa Dua Convention Center 1 (BNDCC 1), Nusa Dua, Bali pada Rabu (29/3/2023).
"Jadi Bank Indonesia, Menteri Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan dan lembaga penjaminan simpanan kita melihat dengan kewaspadaan tinggi pada episode yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa," jelasnya.
Menkeu mengatakan, pihaknya terus melakukan diskusi dan stress test, bahwa masalah ini tidak akan sampai menjadi kejutan potensi risiko yang mungkin datang dari dinamika yang sangat berbeda.
"Dan itulah mengapa dalam kalibrasi kebijakan, ketika kami memiliki waktu untuk berkonsolidasi, kami harus berkonsolidasi, melakukannya dengan cara yang sangat kredibel dan transparan, sehingga kami dapat membuat buffer karena kami benar-benar tidak tahu apakah 6 bulan atau 12 bulan ke depan situasinya tidak akan menguntungkan dan Anda membutuhkan semua kekuatan untuk menghadapi ketidakpastian," imbuhnya.
Dilanjutkan Sri Mulyani, kebijakan memainkan peran yang sangat penting sebagai shock absorber counter cyclical policy.
"Masalah ekonomi mana pun akan berada dalam situasi yang sangat sulit, ketika kebijakan Anda menjadi prosiklikal. Saat ada cycle down malah bikin tambah parah, saat cycle up malah bikin overheat," ujarnya.
Advertisement
Pentingnya Koordinasi
Maka dari itu, penting untuk terus melakukan koordinasi antara semua otoritas.
Sri Mulyani mengungkapkan, bahwa dia terus menjalin relasi baik dengan Gubernur BI Perry Warjiyo, dan itu sangat membantu karena pada saat krisis, pasar dan ekonomi membutuhkan jangkar kepercayaan.
"Kami belajar banyak tentunya, Pak Perry adalah seorang veteran dan dia pernah di IMF dan di World Bank. Sehingga kami tahu bahwa di saat krisis, kami harus (bekerja) bersama," tambahnya.
Bank Dunia Pastikan Krisis Perbankan AS dan Eropa Tak Mampir ke ASEAN
Industri keuangan di Amerika Serikat (AS) dan Eropa tengah dilanda krisis kepercayaan. Hal tersebut terjadi setelah runtuhnya beberapa bank meskipun hanya bank kecil. Beberapa pihak pun melihat bahwa krisis perbankan di AS dan Eropa ini bisa menyebar.
Namun, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Satu Kahkonen, menyebut krisis perbankan yang sedang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa tidak akan berdampak pada kondisi ekonomi Indonesia maupun negara kawasan ASEAN.
"Di Indonesia sejauh ini, tantangan sektor keuangan yang dihadapi AS dan Eropa tidak mempengaruhi ASEAN,” kata Kahkonen saat ditemui di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Nusa Dua, Bali, dikutip Rabu (29/3/2023).
Ini tercermin dari pasar keuangan di ASEAN yang tidak memberikan respon saat krisis perbankan terjadi.
"Saat ini, pasar keuangan di ASEAN tidak ada perhatian langsung, tetapi jelas ini hanya masalah yang perlu diawasi dengan sangat ketat,” kata dia.
Meski begitu, Bank Dunia tak mau lengah. Berbagai perkembangan yang terjadi di AS dan Eropa akan terus dikawal ketat.
"Kami memantau dan mengamati apa yang terjadi dan hanya waktu yang akan memberi tahu apa yang sebenarnya akan terjadi di pasar keuangan global," paparnya.
Termasuk dampaknya yang bisa terjadi di negara kawasan Asia Timur dan ASEAN. "(Kita akan melihat) implikasi apa yang akan terjadi untuk Asia Timur dan ASEAN," sambungnya.
Advertisement