Kenapa Orang Kaya Masih Saja Korupsi?

Mengapa seseorang masih bisa melakukan korupsi?

oleh Ilyas Istianur Praditya Diperbarui 06 Mar 2025, 12:22 WIB
Diterbitkan 06 Mar 2025, 10:00 WIB
Ilustrasi Korupsi (sumber: pixabay)
Ilustrasi Korupsi (sumber: pixabay)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Belakangan ini, publik dihebohkan dengan dugaan kasus mega korupsi yang melanda perusahaan PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya, PT Pertamina Patra Niaga.

Kejagung menyebutkan bahwa kerugian keuangan negara dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina pada tahun 2018-2023 mencapai sekitar Rp 193,7 triliun per tahun. Bahkan, jika ditotal, potensi kerugian negara hampir mencapai Rp 1.000 triliun. Nilai yang tentunya sangat fantastis.

Hal jadi sorotan antara lain salah satunya terkait gaji para pejabat yang diduga terlibat dalam kasus tersebut. Mereka dinilai telah mendapatkan gaji yang sangat layak. Lantas, dengan gaji setinggi itu, mengapa seseorang masih bisa melakukan korupsi?

Teori Mengapa Orang Kaya Masih Korupsi

Dikutip dari penjelasan akun edukasi @zeniuseducation, jika dilihat dari sudut pandang ekonomi dan psikologi kebahagiaan, terdapat beberapa faktor yang membuat orang kaya tetap merasa tidak cukup. Faktor-faktor tersebut meliputi insentif, status sosial, hingga masalah dalam sistem.

Sebuah riset dari ekonom University of Basel, Bruno Frey dan Alois Stutzer, membahas hubungan antara ekonomi dan kebahagiaan.

Dalam penelitian tersebut, mereka mencoba menjawab pertanyaan, "Apakah menjadi lebih kaya bisa membuat seseorang lebih bahagia? Dan jika iya, sejauh mana?"

Penelitian ini meninjau berbagai perspektif ekonomi yang dapat memengaruhi kebahagiaan. Tidak hanya teori, tetapi juga berdasarkan data dan hasil studi dari beberapa negara. Lantas, apa hasilnya?

Paper tersebut menunjukkan adanya hubungan positif antara pendapatan dan kebahagiaan. Orang dengan pendapatan tinggi umumnya lebih bahagia dibandingkan dengan orang miskin, terutama pada level pendapatan menengah ke bawah. Berikut beberapa faktanya:

  • Dengan pendapatan lebih tinggi, seseorang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan, sehingga mengurangi stres finansial.
  • Pendapatan tinggi memberikan lebih banyak pilihan dan kontrol atas hidup, seperti bisa berlibur, membeli barang yang diinginkan, serta mendapatkan akses pendidikan yang lebih baik.
  • Pendapatan tinggi juga meningkatkan status sosial seseorang, sehingga lebih dihargai dan dihormati oleh masyarakat.

Demi Mencari Kebahagiaan

Namun, pada titik tertentu, penelitian ini mengungkap bahwa tambahan uang tidak lagi meningkatkan kebahagiaan secara signifikan. Fenomena ini disebut dengan 'diminishing marginal utility of income'.

Contohnya, di Jepang pada periode 1958-1991, GDP per kapita naik enam kali lipat. Namun, rata-rata kebahagiaan masyarakat tetap stagnan. Hal serupa terjadi di Amerika Serikat pada 1946-1991. Saat itu, pendapatan per kapita naik 2,5 kali lipat, tetapi tingkat kebahagiaan tidak mengalami peningkatan.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin besar pula kebutuhan akan peningkatan pendapatan untuk merasakan kebahagiaan yang lebih besar.

Oleh karena itu, korupsi bisa menjadi salah satu cara bagi orang kaya untuk meningkatkan penghasilan mereka demi memperoleh kebahagiaan yang lebih tinggi.

Promosi 1

Ini Perbedaan Wajah Orang Kaya dan Miskin

Ilustrasi orang terkaya dunia atau miliarder. Foto: Freepik/vecstock
Ilustrasi orang terkaya dunia atau miliarder. Foto: Freepik/vecstock... Selengkapnya

Perbedaan antara wajah orang kaya dan orang miskin telah lama menjadi topik menarik dalam ilmu sosial dan psikologi. Sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh University of Glasgow dan dipublikasikan di APA Journal of Experimental Psychology, mengungkap bahwa raut wajah seseorang bisa menjadi penanda kelas sosialnya.

Penelitian ini, yang melibatkan partisipan kulit putih, menemukan bahwa wajah orang kaya cenderung memiliki bentuk yang lebih tirus, mulut yang tersenyum lebar, alis yang terangkat, mata yang berjarak dekat, dan kulit yang lebih cerah dan hangat. Fitur-fitur ini dikaitkan dengan kepercayaan, kompetensi, dan kehangatan.

Wajah Orang Miskin

mimpi jadi orang kaya
mimpi jadi orang kaya ©Ilustrasi dibuat AI... Selengkapnya

Sebaliknya, wajah orang miskin cenderung memiliki wajah yang lebih lebar, pendek, dan datar. Bagian mulut mereka cenderung turun, dan kompleksi kulitnya lebih dingin. Mereka seringkali dianggap sebagai kelas bawah, kurang dapat dipercaya, dan tidak kompeten.

Contoh nyata, seperti CEO Facebook Mark Zuckerberg dengan wajah tirusnya dan CEO Amazon Jeff Bezos dengan kulit hangat dan kemerahan, tampaknya mendukung hasil penelitian ini. Meskipun tidak disebutkan secara spesifik dalam studi tersebut, kedua miliuner ini memiliki ciri-ciri yang dikaitkan dengan kekayaan.

Peneliti menekankan bahwa penampilan memang berpengaruh pada penilaian orang terhadap individu. Namun, penilaian tersebut bisa menimbulkan persepsi yang salah dan merugikan orang lain.

Penuis studi tersebut, Dr. R. Thora Bjornsdottir mengatakan, orang yang dianggap memiliki kedudukan kelas sosial tinggi atau rendah seringkali dinilai memiliki sifat-sifat yang menguntungkan atau tidak menguntungkan.

"Penilaian semacam itu terbentuk bahkan hanya dari penampilan wajah, dan hal ini dapat menimbulkan konsekuensi yang substansial, termasuk merugikan mereka yang dianggap memiliki kedudukan kelas sosial yang lebih rendah," kata dia.

Hasil Penelitian

Miliarder atau Orang Terkaya Dunia Warren Buffet. Foto: Yuri Gripas/AFP
Miliarder atau Orang Terkaya Dunia Warren Buffet. Foto: Yuri Gripas/AFP... Selengkapnya

Hasil penelitian menunjukkan bahwa stereotip kelas sosial berperan besar dalam hubungan antara penampilan wajah dan penilaian terhadap kelas sosial seseorang.

Stereotip yang kita pegang memiliki konsekuensi pada bagaimana kita memandang orang lain, tambah Dr. Bjornsdottir. Stereotip tersebut membiaskan persepsi kita, dan kesan kita terhadap orang lain dapat mengarah pada keuntungan atau kerugian tertentu bagi mereka.

Studi ini menggarisbawahi pentingnya kesadaran terhadap bias dan stereotip dalam penilaian kita terhadap orang lain, serta pentingnya untuk melihat individu secara holistis, bukan hanya berdasarkan penampilan fisik mereka.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya