Liputan6.com, Jakarta - Sungguh luar biasa gebrakan RasenBallsport (RB) Leipzig di Bundesliga musim ini. Tujuh pekan berlalu, anak-anak asuh Ralph Hasenhüttl belum menyentuh kekalahan. Bahkan, tim-tim kuat pun gagal menaklukkan mereka. Borussia Dortmund ditekuk 1-0, Borussia Mönchengladbach ditahan 1-1, dan terakhir, VfL Wolfsburg dikalahkan 1-0.
Ini bukan prestasi sembarangan. Patut dicatat, bukan hanya tim promosi, Leipzig adalah debutan di Bundesliga. Di lima liga besar Eropa, tim debutan terakhir yang tak terkalahkan dalam tujuh laga awal adalah Millwall di Liga Inggris musim 1988-89.
Advertisement
Baca Juga
Koleksi 15 poin kini membawa Leipzig berada di posisi ketiga. Mereka hanya terpaut dua poin dari Bayern München, sang pemuncak klasemen, dan kalah selisih gol saja dari 1.FC Köln yang berada di posisi kedua. Tak heran jika mereka kini disebut sebagai Bayern-Jäger "pemburu Bayern".
Keberadaan RB Leipzig adalah sebuah paradoks di Bundesliga. Di satu sisi, klub ini berprestasi. Namun, di sisi lain, Leipzig begitu dibenci karena dianggap hanya alat promosi Red Bull dan “mainan” sang bos, Dietrich Mateschitz. Leipzig adalah klub karbitan yang tak punya tradisi. Klub ini melesat semata-mata karena sokongan uang sang pemilik.
Dari sisi administrasi dan struktur klub, Leipzig tidak melanggar statuta yang ada. Tak terkecuali aturan 50+1 yang masih dipegang teguh walau mulai digugat beberapa pihak karena dinilai menutup peluang klub-klub Jerman menyusul para pesaing di belahan lain Eropa.
Akan tetapi, tak bisa dimungkiri, Leipzig sudah mencederai semangat 50+1. Klub ini tidak tumbuh dari nol seperti klub-klub lain. Begitu muncul berkat pembelian lisensi SSV Markranstädt pada 2009, Leipzig langsung bergelimang uang. Sudah begitu, para member klub ini adalah karyawan Red Bull dan tidak berdomisili di Leipzig.
Kebencian sepertinya akan makin menjadi menilik pencapaian Leipzig sejauh ini. Bila merujuk statistik dua dekade terakhir, peluang Leipzig menembus kompetisi antarklub Eropa terbuka lebar. Dalam 20 musim, hanya TSG 1899 Hoffenheim pada 2009-10 yang finis di luar 6-besar meski berada di posisi ketiga pada spieltag ketujuh.
Bahkan, untuk berlaga di Liga Champions pun bukan impian kosong atau impian pada siang bolong. Pasalnya, 17 dari 20 peringkat ketiga pada pekan ketujuh ternyata mampu finis di 4-besar.
Déjà vu Rangnick
Meski demikian, Direktur Olahraga Ralf Rangnick tak mau jumawa. Dia mengaku hanya bisa tertawa saat orang menyebut Leipzig sebagai Bayern-Jäger. Baginya, target Emil Forsberg cs tetaplah papan tengah dan bermain lepas, tanpa beban, sepanjang musim.
Sikap Rangnick tak terlepas dari pengalaman masa lalunya bersama Hoffenheim. Leipzig saat ini tak ubahnya déjà vu. Pada 2008/09, Hoffenheim juga serupa Leipzig. Klub asal desa kecil di Negara Bagian Baden-Würtemberg itu dibenci kanan-kiri, dimusuhi banyak orang hanya karena disokong Dietmar Hopp, seorang pengusaha peranti lunak.
Kebencian terhadap Hopp begitu besar. Suatu ketika, suporter Dortmund membuat spanduk dengan gambar wajah Hopp sebagai sasaran tembak. Di bawahnya tertulis, "Hasta la vista, Hopp!" Sebuah wujud kebencian yang melewati batas karena sudah mengarah pada ancaman fisik.
Hal lain yang sama persis di antara kedua klub adalah komposisi skuat yang didominasi pemain muda. Pada 2008/09, umur rata-rata penggawa Hoffenheim hanya 22,7 tahun. Itu sekitar setahun lebih muda dari Leipzig musim ini yang rerata umur pemainnya 23,6 tahun.
Kiprah Hoffe pun luar biasa. Pada pekan ketujuh, mereka berada di posisi kedua, lebih tinggi dari Leipzig musim ini. Lalu, Tobias Weis dkk secara mengejutkan tampil sebagai juara paruh musim. Bagi tim debutan, menjadi herbstmeister adalah hal yang luar biasa.
Akan tetapi, pada akhirnya, mereka hanya finis di posisi ketujuh gara-gara bomber Vedad Ibisevic menderita cedera lutut dan absen sepanjang paruh kedua. Andai saja Ibisevic tak cedera, ceritanya bisa jadi lain. Mungkin saja Hoffenheim juara dan Ibisevic menjadi pencetak gol terbanyak.
Advertisement
Proyek Jelas
Terlepas dari segala kebencian, cacian, makian, dan kecemburuan yang ditimbulkannya, Leipzig –juga Hoffenheim– telah menunjukkan pelajaran penting tentang cara membangun klub dengan baik. Leipzig tidak tiba-tiba berada di Bundesliga dalam semalam atau semusim. Mereka merangkak perlahan dari Divisi V. Mereka juga tidak melesat dengan membeli seorang megabintang.
Kesuksesan Leipzig tidak terlepas dari komitmen tinggi dan kecintaan luar biasa Mateschitz terhadap sepak bola. Hopp pernah mengatakan, orang-orang seharusnya melihat kecintaannya terhadap sepak bola di daerah yang seumur-umur dikuasai bola tangan, hoki es, dan golf. Dalam kerangka yang sama, Mateschitz kini bisa dipandang sebagai sosok yang membangkitkan kembali sepak bola di eks Jerman Timur yang lama tertidur.
Mateschitz juga memberikan pengorbanan besar. Dia mengaku cuma bisa garuk-garuk kepala ketika orang-orang menganggapnya seperti Paman Gober yang serakah. Bahkan, menurut Chief Executive Oliver Mintzlaff, Leipzig saat ini masih lebih besar pasak daripada tiang. Promosi ke Bundesliga membuat pengeluaran mereka membengkak.
Hal lainnya tentu saja totalitas dalam membangun klub. Mateschitz bukan hanya mengeluarkan uang, melainkan juga meletakkan falsafah serta membuat visi dan misi yang jelas. Sejak awal, dia menginginkan Leipzig seperti Red Bull Racing yang selalu mengorbitkan talenta muda.
"Kami ingin terus bekerja dengan talenta-talenta muda. Ke depan, kami harus lebih baik lagi dalam hal ini. Itulah falsafah kami di Formula 1. Begitu pula di sepak bola," terang Mateschitz kepada Sportnet. "Sebastian Vettel dan Max Verstappen adalah bukti hal itu berhasil di F1. Tak ada alasan hal serupa tak bisa diterapkan di sepak bola."
Demi merealisasikan keinginannya itu, Mateschitz tak main-main. Dia merekrut Rangnick yang terbukti bertangan dingin soal proyek pemain muda semasa di Hoffenheim. Tak heran bila belakangan ini begitu mudah menemukan pemain Leipzig di timnas junior Jerman. Kini, di timnas U-15 hingga U-21 Jerman selalu terselip penggawa muda Leipzig.
Leipzig semestinya menjadi model bagi klub-klub di Indonesia yang belum sepenuhnya profesional. Tak perlu lagi mereka bermimpi besar menjadi seperti Manchester United, Barcelona atau Real Madrid. Itu hanya akan membuat terjebak silaunya kondisi keuangan klub yang telah sangat mapan. Berpaling ke Leipzig justru akan menumbuhkan kebijaksanaan bahwa tujuan membangun klub bukanlah uang semata.
Demi kondisi persepakbolaan nasional yang lebih baik, komitmen kuat, keberanian, dan keseriusan menjalankan falsafah yang jelas juga patut dimiliki Ketua Umum PSSI periode berikutnya. Setelah batal digelar pada 17 Oktober lalu, rencananya Kongres Luar Biasa PSSI dengan agenda utama pemilihan ketua umum baru akan digelar pada 10 November mendatang.
Jika pun nantinya ada kebencian yang muncul karena komitmen kuatnya, cukuplah itu menjadi tambahan bahan bakar bagi sang ketua umum. Bahan bakar untuk berakselerasi dan berkarya. Tak perlu membalas kebencian dengan kebencian yang sudah terbukti tak menghasilkan apa-apa untuk sepak bola kita.
Penulis adalah jurnalis dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom @seppginz.