Bola Ganjil: Prestasi Diselimuti Malu di Maraton Olimpiade 1936

Simak kisah Sohn Kee-chung, atlet maraton berprestasi asal Korea yang bertanding di bawah bendera Jepang pada Olimpiade 1936.

oleh Harley Ikhsan diperbarui 11 Agu 2020, 15:00 WIB
Diterbitkan 11 Agu 2020, 15:00 WIB
ilustrasi BOLA GANJIL
Simak kisah Sohn Kee-chung, legenda olahraga Korea Selatan di Olimpiade. (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Nama Sohn Kee-chung mungkin terdengar asing. Namun, cerita hidupnya kini jadi bahan pelajaran di sekolah Korea Selatan.

Kisah Sohn merupakan perlawanan melawan tirani. Dia melakukannya pada Olimpiade 1936 di Jerman, ajang sama ketika sprinter berkulit hitam Jesse Owens merebut empat medali emas di hadapan Adolf Hitler.

Capaian Sohn sebenarnya juga tidak kalah hebat. Sayang sejarah sedikit melupakannya karena tidak banyak yang mengerti betapa pentingnya arti kemenangan Sohn ketika itu.

Sohn memenangkan medali emas dari nomor maraton. Dia mengungguli Ernie Harper asal Inggris dan rekan senegara Nam Sung-yong.

Namun, Sohn dan Nam tidak merayakan prestasi pada seremoni juara. Keduanya justru menunduk di atas podium sebagai bentuk protes dan malu.

Sohn juga menutup simbol di seragam yang dikenakannya menggunakan pohon oak muda yang diberikan kepada pemenang pada Olimpiade ketika itu. Lambang tersebut adalah Bendera Jepang.

Simak Video Olimpiade Berikut Ini

Perjalanan Karier Sohn

Sohn Kee-chung
Sohn Kee-chung merebut medali emas marathon Olimpiade 1936. (AFP/Corr/Ho)

Sohn lahir di Sinuiju, kini masuk kawasan Korea Utara, pada 1914. Tanah kelahirannya kala itu sudah diduduki Kekaisaran Jepang. Di sekolah dia diajari Bahasa Jepang dan harus mempelajari bahasa ibu secara diam-diam.

Sohn lalu mulai menekuni atletik dan balapan melawan teman yang menggunakan sepeda. Melihat talentanya, sang guru kemudian mengirimnya ke Seoul.

Di sana Sohn dilatih Lee Sun-il, yang memintanya berlari dengan beban berupa batu yang diikat di punggung serta mengantongi pasir. Tujuannya untuk membangun kekuatan dan stamina.

Metode ini terbukti ampuh. Di usia 17 tahun, Sohn memenangkan maraton perdananya. Dalam kurun waktu lima tahun berikutnya, Sohn mengikuti 12 lomba dan memenangkan sembilan di antaranya.

Salah satunya adalah maraton Tokyo 1935. Kala itu dia mencatat rekor dua jam, 26 menit, dan 42 detik. Torehannya lima menit lebih cepat dari Juan Carlos Zabala asal Argentina, peraih medali emas Olimpiade 1932.

Bakat Sohn tidak lepas dari pantauan Jepang. Dia pun dikirim ke Olimpiade di Berlin demi mewujudkan ambisi menempati posisi tiga besar klasemen akhir medali.

Namun, Sohn harus berlari menggunakan nama terjemahan Jepang dan bendera Matahari Terbit. Dunia pun mengenalnya sebagai Son Kitei.

Kecewa usai Juara

[Fimela] Marathon
Ilustrasi Maraton | unsplash.com/@mzemlickis

Lomba berlangsung dramatis. Berstatus favorit, Zabala cepat meninggalkan rival meninggalkan Olympic Stadium.

Tertinggal 90 menit di lima km pertama, Sohn kemudian bermaksud mengejar. Namun, dia mendengar Harper berbicara kepadanya. "Jangan memaksa. Biarkan Zabala keletihan," ujar Harper.

Sohn tidak bisa bicara Inggris, tapi mengerti maksudnya. Dia lalu berlari beriringan dengan Harper di 22 km berikutnya.

Lalu, pada 30 km, Zabala yang kecapaian tersandung dan terjatuh. Sohn dan Harper melewatinya. Zabala lalu berhenti tiga km kemudian.

Harper kemudian mulai merasakan cedera kulit telapak kaki melepuh. Darah keluar dari sepatunya.

Sohn memanfaatkan situasi untuk melewati garis finis pertama. "Ketika tubuh sudah maksimal, semangat juang jadi andalan," kata Sohn menceritakan perjuangannya.

Namun, kekecewaan menyerang begitu Sohn melihat papan pemenang. Dia tidak melihat nama dan bendera Korea, melainkan identitas terjemahan serta bendera penakluk tanah kelahirannya.

Dedikasi Sohn

Setelah lomba, delegasi Jepang menggelar pesta untuk merayakan kemenangan Sohn. Tapi, dia dan atlet asal Korea lainnya tidak hadir.

Mereka justru berada di rumah An Bong-geun, anggota penting dalam gerakan nasionalis Korea. Di sana Sohn melihat bendera Korea pertama kali sepanjang hidupnya. Pengalaman itu membuatnya semakin malu karena harus memakai seragam Jepang saat berlomba.

Setelah perang selesai, Sohn menjadi pelatih maraton di Korea. Dia memimpin kontingen pelari dengan yang berprestasi di maraton Boston 1950.

Sohn terus melatih hingga beberapa dekade berikutnya. Dia bahkan berada di Barcelona 1992 untuk menyaksikan anak didiknya, Hwang Young-jo, mempersembahkan medali emas maraton bagi Korea Selatan.

Pengakuan Terlambat

Capaian Sohn baru diakui dunia 50 tahun setelah kemenangannya di Berlin. Dia diundang ke Culver City, California, untuk menghadiri upacara pengakuan.

Pada monumen daftar pemenang maraton di Olimpiade, kini terpampang identitas dan asal asli Sohn, bukan lagi terjemahan Jepang. Dia kemudian membawa obor pada upacara pembukaan Olimpiade 1988. Sekitar 80 ribu penonton yang berada di stadion melakukan standing ovation melihatnya.

Sebelum meninggal di usia 90 tahun pada 2002, Sohn sempat berkata, "Jepang bisa melarang musisi Korea membawakan lagu. Mereka dapat membungkam penyanyi Korea dan mematikan pengeras suara. Namun mereka tidak bisa menghentikan saya berlari".

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya