Liputan6.com, Hubungan kedua negara Korea kembali memanas. Setelah Korea Selatan menuduh Korea Utara menanam ranjau darat, negara yang dipimpin Kim Jong-un pun melontarkan pernyataan, latihan perang bersama AS dan negara tetangganya itu adalah invasi ke negaranya. Hal ini membuat Korut tidak segan memulai perseteruan.
Kamis, 20 Agustus 2015 Korea Utara menembakkan senjata dan segala peralatan perang mereka ke arah militer Korea Selatan di barat perbatasan antara kedua negara ini. Tembakan balasan dari Selatan pun tidak terkendali, mereka membalas serangan dengan senjata artileri canggih.
Baca Juga
Detail Hyundai Palisade 2025 Mulai Diungkap, Ada Versi ICE dan HybridÂ
Kaleidoskop 2024: Deretan Berita Menggemparkan Dunia, Pernikahan Sesama Jenis Menlu Australia hingga Darurat Militer Korsel
Kasus Dugaan Penipuan Paket Wisata ke Korea Selatan oleh Influencer Malaysia, Kerugian Capai Rp1,64 Miliar
Dewan Keamanan Nasional Korea Selatan akan mengadakan sidang darurat mengenai pecahnya perseteruan ini.
Advertisement
Sementara itu, pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong-un, Jumat (21/8/2015) memerintahkan kepada pasukan garis depan untuk memulai perang dengan Korea Selatan, seperti dilaporkan oleh media resmi Korut KCNA seperti dikutip dari CNN.
Kementerian Pertahanan Korea Selatan menyatakan, Korea Utara menembakkan proyektil ke arah Yeoncheon, sebuah kota utara-barat dari Seoul, pada 15:52 waktu setempat.
Laporan menunjukkan target Korut adalah loudspeaker menyiarkan pesan anti-Pyongyang.
Tak lama kemudian, Korea Selatan membalas tembakan ke arah Korea Utara. Sejauh ini, belum ada laporan kerusakan atau cedera baik dari kedua belah pihak.
Jutaan penduduk telah diperintahkan untuk meninggalkan toko-toko dan rumah-rumah mereka dan mengungsi ke bunker dan tempat penampungan selama insiden berlangsung. Seorang pejabat setempat mengatakan, sekitar 80 warga di Yeoncheon telah dievakuasi.
"Pentagon memantau ketegangan antara kedua negara ini," kata Komandan Laut Wiliam Urban, juru bicara Departemen Pertahanan kepada CNN.
Â
Ketegangan berduri di Semenanjung Korea terjadi setelah 2 tentara Korea Selatan terluka serius oleh ranjau darat pada 4 Agustus di zona demiliterisasi. Korea Selatan menuduh Korea Utara menanam ranjau, namun pihak Pyongyang menyangkalnya.
Seoul berjanji akan merespons "keras" terhadap insiden ranjau darat dan kembali menggelegarkan pesan propaganda di perbatasan dari pengeras suara besar.
Langkah ini membuat marah Korea Utara, yang disebut penyiaran "tindakan langsung menyatakan perang." Selama akhir pekan, Korut mengancam akan meledakkan speaker Korea Selatan dan juga memperingatkan "serangan tanpa pandang bulu."
Pemerintah Korea Utara telah mengirim surat keberatan mereka kepada PBB pada Rabu 19 Agustus 2015. Surat tersebut berisi protes latihan bersama antara Amerika Serikat dan Korea Selatan. Dalam surat disebut, AS dan Korsel melakukan "provokasi serius dari kebijakan AS yang bermusuhan terhadap DPRK-Demokratic People of Republic Korea-- (nama resmi Korut)," meminta bahwa topik ini diperhatikan oleh Dewan Keamanan PBB.
"Jika AS terus-menerus memilih untuk konfrontasi militer meskipun peringatan berulang-ulang datang dari DPRK, maka mereka akan menerima konsekuensinya." tulis surat resemi Korut itu.
Pyongyang telah membuat permintaan serupa sebelumnya, namun tidak ada reaksi dari PBB.
Sejarah konflik
Ketegangan antara kedua negara ini adalah bukan hal baru.
Selama 6 dekade terakhir, pertempuran telah berkobar berulang kali sepanjang perbatasan darat dan laut. Hal ini disebabkan karena setiap negara bersikeras untuk menyatukan kembali semenanjung sesuai ketentuan dan sistem pemerintahan sendiri. Bentrokan angkatan laut yang mematikan, terjadi di sepanjang garis demarkasi pada 1999, 2002, dan 2009.
Menyusul kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, Korea terpecah. Selatan yang kapitalis didukung oleh Amerika Serikat dan sekutu Baratnya, dan Korut yang komunis didukung sekutu Uni Soviet.
Ketegangan Perang Dingin meletus menjadi perang pada 1950, menghancurkan semenanjung dan mengambil nyawa 2 juta orang. Pertempuran berakhir dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai.
Secara teknis, kedua Korea masih berperang.
Selain pertempuran perbatasan, insiden lain terjadi karena provokatif kedua Korea ini. Pada 1968, Korea Utara mengirimkan pasukan komando untuk membunuh presiden Korsel. Namun, usaha mereka gagal.
Pada 1983, sebuah bom oleh Pyongyang menewaskan 17 pejabat tinggi Korea Selatan pada kunjungan ke Myanmar. Pada 1987, Korea Utara dituduh mengebom sebuah pesawat Korea Selatan. (Rie/Mvi)
Â