Kisah Dokter 'Tunawisma', Hampiri dan Rawat Gelandangan

Brett Feldman mencari tunawisma di tempat-tempat di mana mereka biasa ditemukan dan ia mengobati mereka dari berbagai macam keluhan penyakit

oleh Citra Dewi diperbarui 13 Mar 2016, 19:50 WIB
Diterbitkan 13 Mar 2016, 19:50 WIB
Brett Feldman, asisten dokter yang bergabung dalam program Street Medicine (Foto: Matt Slocum/Associated Press).
Brett Feldman, asisten dokter yang bergabung dalam program Street Medicine (Foto: Matt Slocum/Associated Press).

Liputan6.com, Allentown - Jauh dari klinik dokter atau rumah sakit yang steril, Brett Feldman mencari tunawisma di tempat-tempat di mana mereka biasa ditemukan--di perkemahan hutan, bawah jembatan, sepanjang tepi sungai, dan dapur umum. Kemudian, ia mengobati mereka mulai dari diabetes, kejang kaki, penyakit mental, hingga gangguan penggunaan zat terlarang.

Brett Feldman, 34 tahun, merupakan asisten dokter yang menjadi salah satu praktisi dari Street Medicine, yaitu program perawatan kesehatan masyarakat marjinal yang nantinya bakal menjadi bagian dari sistem kesehatan di Amerika Serikat dan dunia.

Program tersebut juga berfungsi untuk memotong biaya, dan juga mengurangi kunjungan para tunawisma di ruang gawat darurat.

Street Medicine dimulai pada 30 tahun lalu dan dimulai oleh individu dokter dan perawat yang memiliki sifat altruistis--mendahulukan kepentingan orang lain. Kegiatan ini tersebar di seluruh dunia, dan mereka yang memilih menjadi dokter jalanan itu meninggalkan kantor untuk merawat tunawisma.

Sampai saat ini, beberapa dari 60 Street Medicine yang beroperasi secara nasional, telah berafiliasi dengan rumah sakit atau tempat kesehatan. Hal tersebut dikutip dari Mashable.com pada Minggu (13/3/2016).

Street Medicine Menguntungkan Rumah Sakit.

Tunawisma berkunjung ke ruang gawat darurat lebih sering daripada orang lainnya. Mereka juga biasanya tinggal lebih lama dan dirawat dan memerlukan tindakan lebih tinggi.

Hal tersebut menyebabkan keuangan rumah sakit membengkak. "Luka terbuka dan berdarah untuk rumah sakit," ujar Dr. Jim Withers, pelopor pengobatan jalanan yang meluncurkan program Pittsburgh Mercy's Operation Safety Net pada 1992.

Rumah sakit mungkin menjadi pihak yang dapat terbantu dari segi biaya semenjak adanya program Street Medicine itu. "Aku rasa hal itu tak terelakkan, tapi belum terjadi. Mungkin dalam waktu yang lama akan lebih hemat biaya," ujar Withers, salah satu pendiri Street Medicine Institute pada 2009.

Program Street Medicine yang didani oleh uang hibah, termasuk US$200.000 atau sekitar Rp 2,6 miliar dari Departemen Kesehatan Pennsylvania, telah mengurangi tarif pendaftaran Rumah Sakit Bethlehem dari 51 persen menjadi 13 persen.

Brett Feldman dan rekan-rekannya berjalan menuju kamp tunawisma di Bethlehem, Pennsylvania (Foto: Matt Slocum/Associated Press).

Selain itu, Feldmen dan timnya telah mampu menaikkan jumlah tunawisma yang diasuransikan dari 24 persen hingga 73 persen, yang berarti rumah sakit dibayar lebih sering untuk penyediaan perawatan.

"... Mereka tak perlu datang ke rumah sakit, di mana (bila mereka datang) kita akan memerlukan biaya lebih," ujar Presiden dan Chief Eksekutif Health Networks, Dr. Brian Nester.

Sistem kesehatan lain yang bekerja sama dengan program Street Medicine juga melaporkan keuntungan yang sama. Juru bicara Samantha Irons berkata, "Program pada Mount Carmel Health System di Colombus, Ohio, dapat mengalihkan ratusan kunjungan darurat yang berbiaya mahal setiap bulan."

"Program Street Medicine di JPS Health Network di Fort Worth, Texas, dengan kombinasi inisiatif lain, dapat menurunkan kegiatan di UGD", ujar asisten dokter Joel Hunt.

"Kami memiliki sesuatu untuk ditawarkan yang dapat dilakukan secara seketika, nyata, dan mereka dapat belajar sesuatu tentang dirinya sendiri di tempat...," tambahnya.

Kisah Haru Dokter 'Tunawisma'

Brett Feldman 'jatuh cinta' dengan program Street Medicine ketika ia sedang menjadi mahasiswa relawan dan bekerja di sebuah klinik di Chicago. Seorang pasien tunawisma berkata kepadanya, "Kau tahu, aku tidak selalu ingin menjadi seperti ini. Aku bisa menjadi orang lain. Dan aku punya daging untuk dimakan setiap malamnya.'

Percakapan tersebut menggugah hati Feldman. "Saya berpikir bahwa siapa pun tak harus merasa seperti itu," ujarnya

Dia berkata bahwa Street Medicine merepresentasikan gagasan bahwa 'semua orang penting'.

Dalam menjalankan tugasnya, ia menggendong ransel yang penuh dengan perlengkapan medis dan harus menerjang udara dingin di sekitar Allentown, Bethlehem, dan Easton.

Feldmen memberikan perawatan primer dan preventif kepada sekitar 100 pasien tunawisma per bulan dan melakukan perawatan di mana pun mereka berada.

"Pekerjaan saya adalah untuk membawa kenyamanan kepada mereka, dan menyembuhkan ketika saya bisa," ujar Feldman.

Brett Feldman dan Bob Rapp mencari jalan menuju tempat para tunawisma di bawah jembatan Brett Feldman dan rekan-rekannya berjalan menuju kamp tunawisma di Bethlehem, Pennsylvania (Foto: Matt Slocum/Associated Press).

Kisah lainnya juga dialami oleh Feldmen. Di balik klub malam Allentown yang tertutup, ia bertemu dengan Todd Hottle, 53, seorang buruh tani serabutan yang membutuhkan operasi hernia. Hottle mengatakan akan meninggalkan rumah sakit, segera setelah ia menjalani tindakan medis tersebut.

Namun, Feldman memintanya untuk tinggal beberapa hari untuk proses penyembuhan.

"Aku tak tahu. Aku benar-benar tak suka tempat itu," ujar Hottle yang memunculkan tawa dari Feldman dan timnya.

"Aku juga tak suka dikurung," tambahnya,

Walaupun dia mengeluh, namun Hottle mengatakan bahwa ia menghargai Feldman. "Dia datang dan memeriksa semua orang, memastikan bahwa semua orang baik-baik saja."

Setelah bertemu dengan Hottle, Feldman mengunjungi beberapa tempat tunawisma lainnya. Di bawah satu jembatan, dia menemukan selimut dan kantong tidur, kaleng kosong dari minuman keras, gelang rumah sakit dan botol obat yang belum dibuka--semua bukti sebuah 'perkemahan'yang masih ditempati, namun tak terdapat orang.

Feldman mengumpulkan beberapa jarum suntik bekas dan menaruhnya ke dalam sebuah wadah untuk limbah medis, untuk dibuang ke tempat penampungan. Saat itu ia melihat Bridgete Hammerstone, 40, yang baru pulih dari gangguan penggunaan kokain dan telah menjadi tunawisma dalam waktu yang lama.

"Seseorang seperti Brett adalah berkat bagi saya," ujar perempuan itu. "Karena ia membuka pintu di mana cahaya untuk pertama kalinya masuk dalam hidup, dan itu sangat spesial."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya