Kelompok Pro Brexit Rayakan 'Kemerdekaan', Suara Leave Menguat

Dengan selesainya perhitungan di 323 TPS dari 382, Leave menang 52 persen dan 48 persen suara untuk Remain.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 24 Jun 2016, 11:51 WIB
Diterbitkan 24 Jun 2016, 11:51 WIB
Kelompok Pro Brexit Rayakan 'Kemerdekaan', Suara Leave Menguat
Reaksi kelompok Remain melihat hasil Leave menguat (Reuters)

Liputan6.com, London - Tensi semakin meningkat di seantero Inggris, karena perhitungan sementara referendum terhadap Uni Eropa nyaris selesai.

Lebih dari 60 persen dari 382 tempat perhitungan suara (TPS) sudah selesai menghitung kertas suara. Hasil sementara, suara kubu 'Leave' mengalahkan 'Remain'.

Jika perhitungan suara tidak meleset, Inggris merupakan negara pertama yang memilih untuk keluar dari Uni Eropa.

Dampak lain dari Brexit adalah kemungkinan permintaan referendum kemerdekaan Skotlandia dan Irlandia Utara.

Sementara itu, pemimpin Partai Independen Inggris, Nigel Farage, mengklaim kemenangan serta merayakan 'kemerdekaan', dengan mengatakan "Ini adalah kemerdekaan bagi Inggris Raya."

Dilansir Liputan6.com dari The Telegraph, Jumat (24/6/2016), secara provokatif Farage bahkan mengatakan keluarnya Inggris akan membawa hancurnya Uni Eropa.

Dengan selesainya perhitungan di 323 TPS dari 382, kubu Leave menang 52 persen dan 48 persen suara untuk Remain.

"Ini momen guncangan bagi negeri kita," kata mantan Menteri Urusan Bisnis, Chuka Umunna.

Hal senada dikatakan oleh Ketua Seleksi Komite Kementerian Dalam negeri, Keith Vas.

"Ini akan menjadi kehancuran bagi Inggris. Sangat... sangat buruk."

Kabar kemenangan kubu Leave yang membuat Inggris keluar dari Uni Eropa dilaporkan berdampak pada nilai pound sterling yang terjun bebas terhadap dolar semenjak 1985.

Sementara pasar berharap kubu Remain akan menang, namun sejumlah investor guncang dengan hasil perhitungan suara referendum Brexit ini. 

"Kita sekarang melihat posisi yang begitu jelas kalau pasar keuangan sekarang dibebani dengan hasil ini," kata Ketua Analisis Pasar Inggris, Chris Beuchamp.

"Mereka bilang masih status quo, tapi ini adalah mimpi buruk pound sterling semenjak krisis keuangan beberapa waktu lalu," ujarnya kepada Simon Goodley dari The Guardian.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya