Foto Polisi Bersenjata dan Burkini Picu Kontroversi di Prancis

Nice adalah satu dari 15 kota di Prancis yang melarang penggunaan burkini. Foto insiden penegakan aturan memicu kontroversi.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 25 Agu 2016, 06:12 WIB
Diterbitkan 25 Agu 2016, 06:12 WIB
Foto polisi menjatuhkan denda pada perempuan yang mengenakan burkini memicu kontroversi di Prancis
Foto polisi menjatuhkan denda pada perempuan yang mengenakan burkini memicu kontroversi di Prancis (CNN)

Liputan6.com, Nice - Perempuan itu hanya ingin bersantai di pantai. Mengenakan pakaian renang warna hitam dipadu biru muda yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, ia duduk di atas hamparan batu, berjemur di bawah limpahan sinar Matahari di Nice, Prancis.

Tiba-tiba, empat polisi yang dipersenjatai pistol dan pentungan mengerumuninya, meminta perempuan itu mencopot kaus lengan panjang yang dipakainya. Aparat juga mengganjarnya dengan sanksi. "...tidak mengenakan pakaian yang menghormati moral yang baik dan sekularisme," demikian tertera dalam tiket denda, seperti dikutip dari AFP.

Perempuan itu dinggap 'melanggar hukum' karena mengenakan burkini -- pakaian renang muslimah dan kebetulan ia berada di Promenade des Anglais dekat lokasi terjadinya serangan teror truk maut pada Hari Bastille.

Nice adalah satu dari 15 kota di Prancis yang melarang penggunaan burkini, dengan dalil merespons timbulnya kekhawatiran terhadap aksi teror yang terjadi di negara itu.

Foto insiden tersebut lantas menyebar di media sosial, memicu kontroversi sengit antara pihak yang sepakat dan menentang tindakan itu.

Aparat Nice mengatakan, petugas kepolisian dalam foto tersebut hanya sedang melaksanakan tugasnya.

Wakil Walikota Nice, Christian Estrosi mengecam penyebaaran foto tersebut, yang menurutnya, menempatkan para petugas yang tertangkap lensa kamera dalam bahaya yang bisa mengancam nyawa.

"Saya mengutuk provokasi yang tak bisa diterima ini," kata dia seperti dikutip dari CNN, Kamis (25/8/2016).

Secara terpisah, Dewan Keyakinan Muslim Prancis (CFCM) mendesak dilakukannya pertemuan dengan pihak pemerintah untuk membahas pelarangan burkini, menyusul publikasi foto tersebut.

"Perempuan muslim menjadi korban stigma, didenda di Cannes, dan dipaksa melepas tuniknya di Nice. CFCM mendesak diselenggarakannya pertemuan dengan (Menteri Luar Negeri) Bernard Cazeneuve," kata organisasi tersebut lewat Twitter.

Sementara itu, sebuah organisasi setempat membantu para muslimah yang dikenakan denda di pantai-pantai di Prancis.

Marwan Muhammad, pimpinan Collective Against Islamophobia di Prancis, kepada CNN mengatakan, dari 15 orang yang mereka bantu tak ada yang mengenakan burkini. Mereka hanya mengenakan penutup kepala atau jilbab.

Burkini, baju renang muslimah. (via: payges.co)


Secara terpisah, seorang pengusaha Aljazair juga menawarkan untuk membayar denda burkini yang dijatuhkan pada setiap perempuan muslim di Prancis.

Aparat Nice mengakui, larangan yang mereka tegakkan tak secara spesifik 'mengharamkan' burkini. Itu yang membuat para anggota pasukan patroli pantai bebas menafsirkan dan memberlakukannya secara subjektif.

Kejadian di pantai Nice adalah insiden kedua yang terjadi dalam beberapa hari terakhir.

Sebelumnya, seorang ibu berusia 34 tahun didenda 38 euro di pantai Cannes Selasa lalu, setelah ia didatangi tiga petugas polisi.

Kepada BFM TV, perempuan itu mengaku petugas mengatakan, ia mengenakan pakaian yang tak pantas. Mereka meminta, ia mengenakan penutup kepalanya sebagai bandana -- jika tidak, ia dipersilakan meninggalkan pantai. Wanita itu memilih yang terakhir. Pergi.

"Aku tak mengenakan  burkini, juga tidak telanjang. Aku merasa apa yang kukenakan pantas," kata dia.

Sejumlah orang berkerumun di sekitarnya saat insiden terjadi. Banyak yang menawarkan dukungan, segelintir lainnya meneriakinya, "Pulang!", atau "Kami tak ingin kau ada di sini."

Korban mengaku tak bisa melupakan kata-kata bernada penghinaan itu, yang dikatakan di depan anak-anaknya.

"Anak perempuanku menangis. Ia tak mengerti mengapa ibunya harus meninggalkan pantai. Ini kali pertamanya aku mengalami diskriminasi seperti ini di Prancis." 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya