Liputan6.com, Moskow - Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengatakan bahwa Kremlin tidak pernah memihak kepada siapa pun dalam pemilihan presiden Amerika Serikat. Hanya saja capres dari Partai Republik itu mewakili pilihan orang kebanyakan yang 'tidak ingin kekuasaan diturunkan seperti warisan'.
"Trump memang seseorang yang luar biasa. Dia merupakan sosok yang dicari orang-orang yang mengkritik pemimpin yang berkuasa selama berabad-abad," kata Presiden Putin saat mengadakan wawancara televisi di selatan Kota Sochi.
Sementara itu, seperti dikutip dari Wall Street Journal, Jumat (28/10/2016), Putin mengatakan bahwa dukungan Rusia terhadap capres Republik dibuat-buat oleh media Barat, dan merupakan bagian dari 'perang politik' untuk memanipulasi opini publik pada malam pemilihan.
Advertisement
"Kremlin akan menyambut siapa pun yang menjadi pemimpin AS selanjutnya dengan senang hati. Kita akan mempererat hubungan," ujar Presiden Rusia itu.
Putin juga menambahkan siapa saja yang jadi presiden AS tidak terlalu membuat perbedaan. Namun, Putin menegaskan, Kremlin tidak bisa hanya tinggal diam saja jika ada kata-kata, pemikiran, atau pun tujuan yang secara terbuka menyatakan normalisasi hubungan antara Rusia dan AS.
Pemerintahan Putin sudah sejak lama mengkritik agenda demokratisasi luar negeri AS yang secara nyata didukung oleh Hillary.
Berhubungan dengan hal tersebut, Putin kemudian menuduh Washington menggunakan promosi demokrasi sebagai kedok perubahan rezim, di mana AS secara terbuka dan diam-diam mendanai grup pendukung demokrasi di Rusia.
Selain itu Putin juga menepis kabar yang mengatakan bahwa Rusia dapat mempengaruhi pemilu AS.
"Ayolah, kalian serius berpikir bahwa Moskow dapat mempengaruhi warga AS? Memangnya AS negara Banana Republic? Amerika itu kekuatan besar," kata Presiden Putin.
Pada awal bulan Oktober 2016, badan intelijen AS menuding pemerintah Rusia mencoba untuk ikut campur dalam pemilu AS. Hal tersebut dilakukan dengan cara membocorkan email Komite Nasional Demokrat.
"Pemilu kini tidak berfungsi sebagai instrumen perubahan lagi. Kini pemilihan itu menjadi ladang skandal, umpatan, pertanyaan tentang siapa yang mencubit siapa dan siapa yang tidur dengan siapa," kata Putin.
Pimpinan Rusia itu juga mengkritik Barat karena menyebarkan isu yang menyebutkan bahwa Moskow merupakan ancaman militer yang berbahaya bagi seluruh dunia.
"Benar-benar aktifitas yang menguntungkan. Dengan adanya isu seperti ini, beberapa negara dapat menaikkan anggaran militer untuk pertahanan, 'selingkuh' dari sekutu demi bergabung dengan Negara Adi Daya, memperluas NATO,dan memindahkan infrastruktur, tentara, serta peralatan lainnya lebih dekat ke perbatasan Rusia," kata Presiden Putin.
Diawali Krisis Ukraina
Hubungan antara Rusia dan Barat mulai berada dalam fase buruk ini sejak konflik yang melanda Ukraina pada 2014. Hubungan tersebut semakin memburuk dalam beberapa bulan belakangan terkait perang saudara di Suriah.
AS mengatakan bahwa mereka menunda pembicaraan dengan Rusia karena adanya keterlibatan Pemerintahan Putin di Aleppo. Rusia juga diduga membantu rezim Suriah untuk meledakkan kota melalui serangan udara.
Tidak hanya hubungan dengan AS yang retak, jalinan yang terbentuk antara Putin dan Eropa pun juga memburuk.
Baru-baru ini Putin harus membatalkan kunjungannya ke Paris setelah ada seruan dari menlu Prancis yang akan menginvestigasi Moskow atas kejahatan perang dalam perannya di pengeboman di Aleppo. Tak hanya itu, Kanselor Jerman, Angela Marker mengatakan pemerintahnya akan mempertimbangkan sanksi baru terhadap Rusia.
Rusia juga menyalahkan gagalnya gencatan di Suriah akibat tekanan politik dalam negeri di AS.
"Di Washington, ada kekuatan yang melakukan apa saja untuk menggagalkan perjanjian dengan Suriah," kata Putin.
"Padahal, sudah ada negosiasi panjang,usaha keras, dan kompromi. Harapan bersatu melawan teror sepertinya tidak jalan," ujar Putin.