Liputan6.com, Washington, DC - Sejak pelantikan Donald Trump pada 20 Januari 2017, satu per satu kepala negara atau kepala pemerintahan bertandang ke Washington, Amerika Serikat.
Pembuka kunjungan adalah PM Inggris Theresa May, diikuti dengan PM Kanada Justin Trudeau, PM Israel Benjamin Netanyahu, PM Jepang Shinzo Abe, Kanselir Jerman Angela Merkel dan terakhir, PM Denmark Lars Lokke Rasmussen.
Berada pada urutan berikutnya adalah Presiden Mesir Abdel-Fatah al-Sisi. Orang nomor satu di Negeri Piramida itu dijadwalkan akan bertemu Trump di Gedung Putih pada Senin waktu Washington.
Advertisement
Lawatannya ke Negeri Paman Sam dinilai menunjukkan sinyal jelas, pemerintahan Trump bersedia merangkul rezim diktator Mesir.
Presiden Sisi merupakan pemimpin Mesir pertama yang berkunjung ke Gedung Putih sejak revolusi di negara itu pada tahun 2011 serta kudeta militer yang membawanya menduduki puncak kekuasaan pada tahun 2013.
Jika Obama dikabarkan menahan diri untuk tidak mengundang Sisi ke Washington, maka Trump beda lagi. Keduanya saling menunjukkan sikap bersahabat sejak bertemu untuk pertama kalinya di sela-sela kunjungan Sisi ke New York untuk menghadiri sidang umum PBB pada September 2016.
"Dia (Trump) ingin menggunakan kunjungan Presiden Sisi untuk me-restart hubungan bilateral dan membangun hubungan kuat yang telah ada sejak pertemuan pertama keduanya," ungkap seorang pejabat senior Gedung Putih seperti dilansir The Guardian, Minggu, (3/4/2017).
Sama seperti Trump, di negaranya Sisi dihadapkan pada dikritik atas serangannya terhadap media. Begitu pula atas kesewenang-wenangannya terhadap lembaga negara.
"Kedua pemimpin memusatkan energi fokus pada keamanan, keduanya melihat negara dan pemerintahan mereka sebagai target atas ketidakadilan. Baik Trump maupun Sisi menunggangi kekuatan di luar elite politik yang didukung kemarahan populisme...," ujar seorang analis dari London Royal United Services Institute HA Hellyer.
Trump dan Sisi juga berbagi kritik untuk hal yang kurang lebih sama, soal kesenangan akan kemegahan. Presiden AS dikabarkan menginginkan sebuah parade militer di hari pelantikannya, sementara Sisi mengundang kontroversi saat iring-iringan kendaraannya berjalan di atas karpet merah sepanjang 6,3 kilometer.
Bagi Trump, kunjungan Sisi ini memberikannya kesempatan untuk mempromosikan hubungannya dengan salah satu pemimpin di dunia Arab pasca-perintah eksekutif kontroversialnya yang melarang enam warga negara mayoritas muslim masuk ke AS. Mesir merupakan negara Arab yang paling padat penduduknya.
Perbedaan Obama dengan Trump
Keputusan Trump untuk menyambut Sisi di Gedung Putih kontras dengan pendahulunya. Tengok saja, bagaimana pada Oktober 2013, Obama memerintahkan pemberhentian bantuan ke Mesir, itu terjadi tak lama setelah Sisi merebut kekuasaan.
Belakangan, AS hanya mengucurkan bantuan militer tahunan sebesar US$ 1,3 miliar. Washington juga mencegah penjualan beberapa item besar seperti jet tempur.
Pemerintahan Obama juga mendesak Mesir untuk menahan diri melakukan penangkapan massal, memenjarakan kalangan oposisi, dan mengekang kebebasan warga sipil.
Meski AS memutuskan untuk mencabut sanksi terhadap Mesir pada tahun 2015, namun hubungan kedua kepala negara tetap tegang. Bahkan hingga Obama akhirnya meninggalkan Gedung Putih.
Sejauh ini, Trump belum sekalipun menyinggung catatan HAM Mesir.
"Pendekatan kami adalah untuk menangani berbagai isu sensitif ini secara pribadi, dengan cara yang jauh lebih bijaksana. Kami yakin itu jauh lebih efektif," ungkap pihak Gedung Putih tanpa memberikan keterangan lebih rinci.
Menurut Daniel Benaim, mantan penasihat Wakil Presiden Joe Biden untuk urusan Timur Tengah, Trump lebih tertarik pada perang melawan terorisme dan Islamisme dibanding isu domestik Mesir atau nilai-nilai AS yang dipertaruhkan.
"Dia memuji Sisi atas keberhasilan kudeta, sesuatu yang pada dasarnya dikutuk oleh Obama," sebut Benaim.
Kepentingan tradisional Mesir di Washington disebut adalah meningkatkan pangsa bantuan militer. Para ahli menilai, seolah-olah kelak, Mesir akan memanfaatkan bantuan tersebut untuk memerangi ISIS di Semenanjung Sinai meski berbagai peralatan tempur itu tidak akan berguna dalam pertempuran di kawasan itu.
"Militer AS telah sejak lama mendorong Mesir untuk lebih maju dan mobile. Kampanye kontraterorisme di Sinai dan Mesir belum mencapai tujuan, sebagian besar disebabkan oleh metode yang kasar, miskinnya kapabilitas intelijen, dan sebagainya. Peralatan militer baru tidak akan memengaruhi kekurangan ini," ungkap Professor Robert Springborg dari Kings College London.
Sisi sejauh ini berpendapat bahwa Mesir merupakan mitra regional utama dalam memerangi ISIS -- meski menurut pengamat hasil di lapangan menceritakan hal yang berbeda.
"Mesir gagal mengendalikan Sinai utara dan yang lebih memprihatinkan adalah penyebaran ISIS ke bagian tengah semenanjung relatif sukses," tutur Mohannad Sabry, penulis buku Sinai: Egypt’s Linchpin, Gaza’s Lifeline, Israel’s Nightmare.
Kelompok pemantau HAM memprediksi, pertemuan Sisi dan Trump tak akan menyinggung sejumlah warga AS yang kini mendekam di penjara Mesir.
Advertisement