4 Hal Ini Bikin Relasi AS dan China Merenggang?

Dalam kurun waktu kurang dari seminggu, relasi AS dan China diduga kian merenggang. Apa penyebabnya?

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 01 Jul 2017, 06:48 WIB
Diterbitkan 01 Jul 2017, 06:48 WIB
20170406-Donald Trump Bertemu dengan Xi Jinping di Florida-AP
Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sebelum melakukan pertemuan di resor Mar a Lago, Florida, Kamis (6/4). Isu perdagangan dan Korea Utara diperkirakan menjadi isu utama pembahasan kedua pemimpin negara tersebut. (AP Photo/Alex Brandon)

Liputan6.com, Jakarta - Dalam kurun seminggu terakhir, pemerintah Amerika Serikat nampak memandang China sebagai negara yang 'kurang disukai'. Dan, lewat sejumlah keputusan dan kebijakan luar negeri yang dilakukan, relasi kedua negara kini diduga merenggang.

Padahal, pada April 2017, pemimpin kedua negara --saat pertemuan resmi-- nampak seperti sekutu dekat. Presiden Donald Trump bahkan menjamu Presiden China Xi Jinping di resor mewah pribadinya, di Mar-a-Lago, Florida.

Hasil pertemuan itu bahkan mengejutkan dunia. Sesuai permintaan Presiden Trump, Presiden Xi berjanji bahwa China akan berkontribusi lebih banyak untuk membantu AS dalam isu Korea Utara.

Sebagai balasan, presiden ke-45 AS itu berjanji akan memberikan kelonggaran terhadap Tiongkok untuk sejumlah isu, misalnya seperti situasi di Laut China Selatan.

Pasca-pertemuan di Mar-a-Lago, Presiden Trump bahkan sempat menyebut koleganya dari Negeri Tirai Bambu itu sebagai, "orang hebat, aku bahkan memiliki relasi yang baik dengannya."

Namun kini, setelah munculnya sejumlah keputusan dan kebijakan luar negeri dari kedua negara pada seminggu terakhir di penghujung Juni 2017, hubungan harmonis AS - China perlahan merenggang.

Berikut, 4 penyebab yang diduga sebagai tonggak kerenggangan relasi Negeri Paman Sam - Negeri Tirai Bambu dalam kurun seminggu terakhir, seperti yang diragkum oleh Liputan6.com dari berbagai sumber (30/6/2017).

 

Saksikan juga video berikut ini

1. AS Jatuhi Sanksi Terhadap China

Washington, DC menjatuhkan sanksi dan pemutusan hubungan terhadap sejumlah entitas asal China. Sanksi itu diberikan oleh Kementerian Keuangan AS terhadap Bank of Dandong, sebuah perusahaan, dan dua individu pegiat finansial asal China.

Penjatuhan sanksi yang dilakukan Kemenkeu AS itu juga menandai kali pertama bagi Negeri Paman Sam untuk menerapkan wewenangnya --yang dilandasi US Patriot Act 2001-- pada entitas perbankan China.

Kemenkeu AS mengklaim bahwa entitas asal China itu bertindak sebagai "pipa penghubung" untuk mendukung aktivitas finansial Korea Utara yang diduga ilegal dan melanggar hukum. Demikian seperti yang dikutip dari CNN, 30 Juni 2017.

Kementerian yang dipimpin oleh Menteri Steven Mnuchin itu juga menilai sejumlah firma keuangan asal Korea Utara memanfaatkan "kedekatan" Bank Dandong dengan beberapa entitas bisnis asal AS guna memperoleh akses finansial alternatif dari Negeri Paman Sam. Bagi Washington, latar belakang itu cukup menjadi justifikasi pemerintah untuk menjatuhkan sanksi finansial.

"Firma atau entitas asal China (yang menjalin hubungan dengan Korut) juga tidak akan mendapatkan akses kepada lembaga finansial AS, baik secara 'langsung maupun tidak langsung'," tambah Mnuchin.

Akan tetapi, Kemenkeu AS berargumen bahwa sasaran sanksi yang sebenarnya bukan ditujukan kepada China, tetapi lebih kepada Korea Utara.

"Sanksi itu tidak ditujukan untuk China," jelas Menteri Mnuchin.

Pada kesempatan yang berbeda, penasihat keamanan nasional AS, H.R. McMaster, turut mengamini penjelasan Mnuchin.

"Sanksi itu bukanlah aksi untuk menekan China. Tindakan itu merupakan upaya kami untuk meminta China agar mampu lebih berkontribusi dalam masalah (Korea Utara) tersebut," kata McMaster.

Pakar politik juga memiliki penilaian serupa, bahwa sanksi Kemenkeu AS terhadap Bank Dandong merupakan upaya "penyampaian pesan" yang dilakukan Washington kepada Beijing agar dapat bertindak tegas terhadap Pyongyang.

"Pesan yang ingin disampaikan AS kepada China adalah, 'Hey, kami berusaha untuk menjalin kerja sama dengan kalian untuk masalah (Korea Utara) tersebut, tapi kalian harus melakukan upaya yang lebih maksimal," ucap Anthony Ruggiero, analis dari Foundation for Defense of Democracies.

 

2. Donald Trump 'Menyerah' pada China

Seusai pertemuan antara Presiden Trump dengan Presiden China Xi Jinping pada April 2017, Gedung Putih telah berkali-kali mengingatkan Tiongkok untuk semakin menguatkan tekanan ekonomi dan diplomatik terhadap Korea Utara.

Pasca-pertemuan itu, China telah menerapkan sejumlah kebijakan 'tegas' terhadap Korut. Seperti, menolak impor batu bara Pyongyang serta --diduga-- menghentikan ekspor suplai bahan bakar ke negara yang dipimpin oleh Kim Jong-un itu. Demikian seperti yang dikutip dari BBC, Kamis 27 April 2017.

Bahkan, media pemerintah China - Korut sempat mengalami peningkatan tensi, situasi yang jarang terjadi dalam riwayat kedua negara. Peningkatan tensi disebabkan imbauan Tiongkok terhadap Korea Utara terkait isu nuklir.

Akan tetapi, Presiden Donald Trump terus mendesak China agar semakin menambah tekanan ekonomi dan diplomatik terhadap Korea Utara. Karena, bagi Trump, Beijing belum melakukan tindakan yang efektif untuk menghentikan program nuklir Pyongyang, yang hingga kini masih berlanjut.

Namun, Beijing berdalih bahwa pengaruhnya ke Pyongyang amatlah terbatas.

Sebagian besar pihak juga menilai bahwa upaya AS untuk "menegaskan posisinya terhadap Korea Utara" melalui China, akan terus mengalami stagnasi. Bahkan kini, Presiden Trump pun mulai "menyerah" untuk meminta bantuan China terkait isu Korea Utara.

"Saya harap China dapat membantu kami untuk membuat Korea Utara lebih segan terhadap AS. Namun tampaknya, upaya mereka (China) tidak berhasil," ujar Presiden Trump lewat akun Twitter-nya, @realDonaldTrump, pada Juni 2017.

 

3. AS Jual Senjata ke Seteru China

Amerika Serikat berencana menjual peralatan militer senilai US$ 1,42 miliar atau setara Rp 18,9 triliun kepada Pemerintah Taiwan.

Keterangan mengenai rencana penjualan ini disampaikan oleh Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Heather Nauert. Penawaran tertuang dalam tujuh buah proposal penjualan.

"Jadi saat ini harganya sudah sampai US$ 1,42 juta," sebut Naubert seperti dikutip dari The Star, Kamis 30 Juni 2017.

Tidak cuma alutsista yang dijual AS ke Taiwan. Beberapa paket penjualan ini termasuk di dalamnya bantuan teknik untuk sistem radar, misil kecepatan tinggi anti-radiasi, terpedo, dan komponen rudal.

Penjualan tersebut dijelaskan Naubert merupakan bentuk dukungan AS terhadap pemeliharaan kapabilitas pertahanan Taiwan. Kementerian Pertahanan Taiwan juga mengatakan bahwa senjata baru itu ditujukkan untuk memperkuat keamanan udara dan laut serta sistem kewaspadaan domestik.

Sebelum AS benar-benar menjual senjata ke Taiwan, mereka harus menunggu persetujuan Kongres. Pembahasan permintaan penjualan itu, saat sudah masuk dalam sesi pembahasan kongres.

Penjualan senjata ke Taiwan merupakan yang pertama sejak Presiden Donald Trump berkuasa. Rencana AS itu membuat marah China.

"China memprotes keras tindakan AS (menjual senjata ke Taiwan). Itu jelas melanggar kebijakan 'One China'. Kami akan segera merespons tindakan tersebut," kata Duta Besar China untuk AS Cui Tiankai, seperti yang diwartakan oleh media pemerintah Tiongkok, People's Daily.

Terkait, datang protes dari China, Naubert mengimbau agar Beijing tak perlu khawatir. Sebab, terkait perseteruan kedua negara, sikap AS tetap konsisten dari awal.

"Tidak ada peluang bagi kami untuk merubah kebijakan 'One China'. Kami mengakui Beijing bukan Taipei," sebut dia.

Pakar menilai bahwa transaksi tersebut, mungkin disebabkan atas 'kekecewaan' AS terhadap China yang minim berkontribusi untuk menekan Korea Utara agar menghentikan program rudal nuklirnya. Dan, kebijakan Washington, DC, mungkin saja akan memprovokasi Beijing.

"Sebagian pihak menilai bahwa perdagangan itu dipicu relasi AS - China terkait isu Korea Utara, dan penjualan senjata ke Taiwan dianggap oleh AS mampu meningkatkan 'taji' mereka di hadapan Tiongkok. Saya sendiri tidak melihatnya sebagai bentuk provokasi. Namun, jika kebijakan itu dihubungkan dengan kebijakan lain, salah satunya sanksi terhadap bank China, kemungkinan (provokasi) dapat menjadi pertimbangan," jelas Profesor Zhang Baohui, pakar politik dari Lingnan University, Hong Kong.

Bukan pertama kali AS menjual senjata ke Taiwan. Hal ini dilakukan pertama kali pada Desember 2015 di saat Barack Obama masih memerintah.

Ketika itu, AS menjual alutsista seharga US$ 1,83 miliar. Penjualan tersebut termasuk dua kapal frigate dan kendaraan amphibi. Langkah tersebut juga mengundang kecaman keras dari China.

4. AS Sebut China Negara Terburuk Perdagangan Manusia

Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat merilis hasil kajian tahunan yang membahas isu perdagangan manusia di dunia. Rilis itu mengkaji tentang negara yang diklaim oleh AS memiliki aktivitas perdagangan manusia terburuk di mancanegara.

Rilis tahunan itu bernama 'Trafficking in Persons Report (TIP) 2017, US State Department'. Sejumlah negara yang masuk dalam kategori kualitas terburuk menurut rilis tersebut di antaranya meliputi China, Rusia, Suriah, dan Iran. Demikian seperti yang turut diwartakan oleh CNN, Rabu 28 Juni 2017.

Menurut laporan TIP, "China tidak memenuhi ketentuan standar minimum maupun melakukan upaya yang signifikan untuk menghapuskan fenomena perdagangan manusia. Maka, negara itu yang semula berada di Tier 2, diturunkan menjadi Tier 3, tingkatan terendah."

Berdasarkan laporan TIP 2017, China dan sejumlah warga negaranya, terlibat dalam aktivitas seputar perdagangan manusia dan perbudakan moderen. Aktivitas itu meliputi, jual-beli manusia (anak, perempuan, dan laki-laki), tenaga kerja paksa, perdagangan dan eksploitasi manusia untuk kepentingan seksual, serta sistem kerja paksa yang disponsori pemerintah.

Saat memberikan pidato ulasan terkait TIP pada Selasa 28 Juni 2017 di Washington DC, Menteri Luar Negeri Rex Tillerson menilai bahwa China tidak melakukan upaya serius untuk menghentikan trafficking.

"China masuk ke Tier 3 karena tidak mengambil langkah serius untuk menghapus perdagangan manusia. Termasuk, isu pekerja paksa Korea Utara yang berada di Tiongkok," ujar Menlu Tillerson.

Menurut laporan TIP, "China tidak memenuhi ketentuan standar minimum maupun melakukan upaya yang signifikan untuk menghapuskan fenomena perdagangan manusia. Maka, negara itu yang semula berada di Tier 2, diturunkan menjadi Tier 3, tingkatan terendah."

Berdasarkan laporan TIP 2017, China dan sejumlah warga negaranya, terlibat dalam aktivitas seputar perdagangan manusia dan perbudakan moderen. Aktivitas itu meliputi, jual-beli manusia (anak, perempuan, dan laki-laki), tenaga kerja paksa, perdagangan dan eksploitasi manusia untuk kepentingan seksual, serta sistem kerja paksa yang disponsori pemerintah.

Saat memberikan pidato ulasan terkait TIP pada Selasa 28 Juni 2017 di Washington DC, Menteri Luar Negeri Rex Tillerson menilai bahwa China tidak melakukan upaya serius untuk menghentikan trafficking.

"China masuk ke Tier 3 karena tidak mengambil langkah serius untuk menghapus perdagangan manusia. Termasuk, isu pekerja paksa Korea Utara yang berada di Tiongkok," ujar Menlu Tillerson.

Sementara itu, pihak Kemlu China merespons TIP. Meski menolak hasil kajian Kemlu AS, namun pemerintah Tiongkok tetap bertekad untuk menghapuskan perdagangan manusia.

"Kami menolak penilaian AS terhadap negara lain yang dibuat berdasarkan pertimbangan hukum domestik mereka. Akan tetapi, kami bertekad untuk melawan trafficking dan bekerjasama dengan negara lain untuk isu tersebut," jelas juru bicara Kemlu China, Lu Kang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya