Liputan6.com, Jakarta - Beberapa hari terakhir, sempat mencuat kabar mengenai puluhan hingga ratusan warga Indonesia eksodus tragedi 1998 yang terancam dideportasi dari Amerika Serikat.
Para warga Indonesia--yang sebagian besar keturunan Tionghoa--itu terancam dideportasi akibat overstayed visa dan ditolaknya permohonan mereka untuk mencari suaka serta menjadi warga negara di Negeri Paman Sam oleh Dinas Keimigrasian AS (ICE).
Para WNI tersebut menggunakan alasan sebagai pencari suaka politik eksodus tragedi 1998 guna mengajukan permohonan untuk menetap dan menjadi warga negara AS.
Advertisement
Sejak 1998, ICE menetapkan status puluhan hingga ratusan WNI tersebut sebagai imigran ilegal. Akan tetapi, otoritas lokal menoleransi mereka untuk menetap di AS, sepanjang mereka melakukan wajib lapor berkala ke kantor keimigrasian setempat.
Namun semua itu berubah sejak Donald Trump naik menjadi presiden ke-45 AS, bersama dengan kebijakan keimigrasian yang ketat.
Pada Agustus 2017, otoritas ICE mulai menyuruh beberapa WNI di AS untuk membeli tiket sekali jalan, keluar dari Negeri Paman Sam dan kembali ke Indonesia dalam waktu dua bulan.
Mendengar kabar itu, Kementerian Luar Negeri RI mengaku tengah memantau situasi perihal puluhan WNI yang terancam dideportasi tersebut.
"Kita masih mendalami WNI yang sudah tercatat dalam deportation order Dinas Keimigrasian AS (ICE). Jumlahnya sekitar puluhan. Berapa angka pastinya masih kita dalami," jelas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir di Jakarta, Rabu (18/10/2017).
Dua WNI Ajukan Gugatan Hukum ke Pengadilan AS
Dari puluhan WNI yang terancam dideportasi, ada dua di antaranya yang diketahui telah mengajukan gugatan hukum ke pengadilan setempat, agar permohonan mereka untuk mencari suaka di AS dapat dikabulkan oleh ICE. Mereka adalah pasangan suami istri Meldy dan Eva Lumangkun.
"Khusus yang dua itu, kita mengikuti perkembangannya dan perlu dibedakan dengan kasus-kasus lainnya. Mereka (Meldy dan Eva) sudah masuk dalam daftar final overstayer dan deportation order ICE," ujar Arrmanatha.
"Terkait langkah hukum yang dilakukan mereka, tujuannya adalah untuk meminta suaka politik. Dalam konteks ini, hakim memutuskan untuk tidak melakukan deportasi sebelum dapat keputusan pasti."
Sang jubir menambahkan, terkait WNI eksodus 1998 lain yang terancam dideportasi dari AS, pihak Kemlu RI, melalui KBRI dan KJRI di Amerika Serikat, mengaku tengah melakukan pemantauan serta siap memberikan sosialisasi dan bantuan hukum bagi mereka yang membutuhkan.
Sementara itu, Direktur Perlindungan WNI Kemlu RI, Lalu Muhammad Iqbal turut mengamini hal serupa ketika dimintai keterangan terkait kabar tersebut.
"Iya betul ada puluhan orang yang terancam dideportasi karena sudah mendapatkan final deporation order. Pada umumnya mereka adalah peminta suaka yang sudah ditolak permintaan suakanya oleh pengadilan. Informasi terakhir yang kami peroleh mereka sudah melakukan upaya hukum kembali," jelas Iqbal melalui pesan singkat kepada Liputan6.com, Rabu (18/10/2017).
"Terkait detail berapa orang yang akan dideportasi, kami belum tahu persisnya saat ini, karena pihak imigrasi tidak menginfokan."
Ketika ditanya soal langkah hukum atau bantuan yang akan diberikan oleh pemerintah Indonesia terhadap Meldy, Eva, serta WNI eksodus 1998 lain yang terancam dideportasi dari AS, Arrmanatha Nasir menjelaskan, "Masalahnya begini, kita kan tidak mungkin menawarkan bantuan ke orang Indonesia yang ingin menjadi warga negara lain."
"Tapi kita tetap siap untuk memberikan bantuan hukum kepada mereka, jika mereka membutuhkan."
Puluhan hingga Ratusan WNI Eksodus 1998 di AS Terancam Dideportasi
Pada 1998, massa yang mengamuk menargetkan bisnis milik China dan dalam beberapa kasus membunuh dan memperkosa orang Tionghoa-Indonesia, memaksa ratusan orang untuk melarikan diri dari negara tersebut.
Karena kontrol yang luas atas perdagangan dan bisnis, serta dugaan loyalitas ke China, orang Indonesia-Tionghoa sering menjadi sasaran diskriminasi rasial di Tanah Air.
Keluarga Lumangkun termasuk di antara sekitar 2.000 orang Indonesia-Tionghoa yang melarikan diri ke Amerika Serikat untuk menghindari kerusuhan ekonomi terbesar di Asia Tenggara yang menewaskan sekitar 1.000 orang pada tahun 1998 itu.
Mereka kini masuk di antara puluhan ribu imigran ilegal AS yang sekarang menghadapi kemungkinan deportasi. Khususnya setelah pemerintahan Trump kembali membuka kasus orang-orang seperti keluarga Lumangkun, yang mendapat penangguhan hukum keimigrasian dari pemerintahan Washington sebelumnya.
Sejak Trump resmi menjabat sebagai presiden pada Januari 2017, administrasinya telah melakukan operasi penangkapan keimigrasian tiga kali lipat lebih banyak dari tahun sebelumnya atau sekitar 142 orang per hari.
Keluarga Lumangkun dan orang Indonesia lainnya di New Hampshire mengatakan bahwa mereka takut akan diskriminasi atau kekerasan agama jika mereka kembali ke Tanah Air.
Sebagian besar orang Indonesia eksodus 1998 yang sekarang menghadapi deportasi masuk ke AS secara legal dengan menggunakan visa turis. Mereka yang gagal mendapatkan suaka, melakukan overstayed visa.
Karena banyak yang tidak mengetahui batas waktu overstayed visa, mereka akhirnya menghadapi ancaman hukum. Baru setelah itu, para warga Indonesia tersebut mencari bantuan advokat.
Mereka yang berhasil mengajukan advokasi hukum dapat resmi berubah kewarganegaraan menjadi WN Amerika Serikat. Yang gagal, terancam deportasi.
Akan tetapi, berdasarkan kesepakatan yang dinegosiasikan dengan ICE pada 2012, serta dengan bantuan Senator AS Jeanne Shaheen, kelompok yang terancam dideportasi tersebut diizinkan untuk tinggal di negara tersebut jika mereka menyerahkan paspor mereka dan melaksanakan wajib lapor berkala ke Keimigrasian AS.
Berdasarkan kesepakatan 2012 dengan ICE, sekitar 69 orang Indonesia yang tinggal di New Hampshire diizinkan untuk tinggal.
Sementara itu, sekitar 45 orang Kristen Indonesia lainnya di New Jersey juga menetap dengan kesepakatan serupa yang dinegosiasikan secara independen dan terpisah dengan kluster di New Hampshire.
Akan tetapi, memasuki Agustus 2017, mereka yang tinggal di AS dengan bernaung di bawah payung kesepakatan 2012 lalu, harus bersiap kembali ke Indonesia.
Menurut ICE, kebijakan untuk melakukan deportasi tersebut --termasuk para warga Indonesia seperti keluarga Lumangkun--selaras dengan perintah eksekutif yang ditandatangani oleh Trump pada 25 Januari yang membatalkan banyak kebijakan imigrasi era Obama.
Di bawah pedoman baru tersebut, semua orang yang tinggal secara ilegal adalah target deportasi yang potensial, terutama yang memiliki catatan kriminal.
"Perintah eksekutif yang ditandatangani Presiden Trump pada Januari mengubah segalanya," kata juru bicara ICE, Shawn Neudauer.
Advertisement