Usulan Masa Jabatan Presiden Tanpa Batas, Xi Jinping Menjelma Jadi Kaisar China?

Pengurus Partai Komunis China berencana menghapus masa jabatan dua kali presiden. Dengan demikian, Xi Jinping akan terus memimpin?

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 26 Feb 2018, 12:00 WIB
Diterbitkan 26 Feb 2018, 12:00 WIB
Presiden China Xi Jinping
Presiden China Xi Jinping (AP Photo/Ng Han Guan)

Liputan6.com, Beijing - Pengurus Partai Komunis China telah mengajukan penghapusan sebuah klausa di dalam konstitusi, yang membatasi presidensial sebanyak dua kali lima tahun masa kepemimpinan.

Usulan tersebut memberikan kesempatan bagi Presiden Xi Jinping untuk melanjutkan masa kepemimpinannya yang akan berakhir dalam waktu dekat.

Dilansir dari BBC pada Senin (26/2/2018), beredar luas rumor bahwa Presiden Xi Jinping akan tetap duduk di kursi kepresidenan melebihi tahun 2023 nanti.

Kongres partai yang digelar pada tahun lalu, menunjukkan bahwa status Presiden Xi Jinping adalah pemimpin terkuat setelah pemerintahan Mao Zedong.

Bahkan beberapa buah pemikiran Presiden Xi Jinping diabadikan di dalam amandemen konstitusi partai. Selain itu, hingga kini, pengurus partai belum juga memperlihatkan tanda-tanda akan mengenalkan calon pemimpin China selanjutnya.

Lahir pada 1953, Presiden Xi Jinping merupakan putra dari salah satu pendiri Partai Komunis. Ia bergabung dengan partai satu-satunya di China itu pada 1974, dan kariernya terus menanjak mulus hingga terpilih menjadi presiden pada 2013 lalu.

Di bawah kepemimpinannya, ekonomi dan politik China mengalami reformasi besar-besaran. Hal itu menjadikan China sebagai kekuatan terbesar kedua di dunia, setelah Amerika Serikat.

Selain itu, Presiden Xi Jinping juga bergerak sangat aktif dalam menumpas praktik korupsi di Negeri Tirai Bambu.

Namun, prestasi gemilang tersebut tidak senada dengan penegakan hak asasi manusia (HAM) yang berjalan stagnan, terutama jika terkait isu demokrasi di Hong Kong dan keadilan untuk komunitas Muslim Uighur di barat China.

Rencana penghapusan batas masa kepemimpinan presiden disiarkan oleh kantor berita Xinhua pada Minggu, 25 Februari 2018.

Oleh para pengamat, pengumuman terkait disampaikan dalam waktu yang cukup tepat, yakni di saat mayoritas masyarakat China bersiap kembali beraktivitas pasca-libur panjang Imlek.

Selain itu, pengumuman ini juga bertepatan dengan penutupan Olimpiade Musim Dingin 2018 di PyeongChang, di mana Korea Selatan menyerahkan obor olimpiade kepada China yang akan melanjutkannya pada 2022 mendatang di Beijing.

Pembicaraan lebih lanjut di antara para pengurus partai akan dimulai pada Senin ini.

Usulan tersebut harus disetujuan oleh parlemen China sebelum Kongres Rakyat Nasional yang biasa digelar tahunan, di mana tahun ini akan digelar pada 5 Mei mendatang.

Namun, oleh banyak pengamat, alur tersebut dianggap tidak lebih dari formalitas, karena kemungkinan besar lolos tahap pengujian.

 

Simak video tentang fenomena penari striptis di banyak prosesi pemakaman di China berikut: 

Kaisar Seumur Hidup?

Bendera China
Ilustrasi (iStock)

Dalam aturan pemerintahan kali ini, masa kepemimpinan Presiden Xi Jinping seharusnya akan selesai pada 2023 mendatang.

Tradisi membatasi lama kepemimpinan presiden selama 10 tahun, mulai diberlakukan di China pada pertengahan dekade 1990-an lalu.

Perubahan tersebut ditetapkan pasca-himbauan mantan pemimpin China, Deng Xiaoping, yang mengingatkan tentang risiko kekacauan yang pernah terjadi di era kepemimpinan absolut Mao Zedong.

Meski dua pendahulunya mengikuti aturan terkait, namun tidak untuk Presiden Xi. Sejak dirinya mulai unjuk gigi pada 2012, Presiden Xi menunjukkan kecenderungan gaya kepemimpinan semi-absolut.

Belum jelas akan berapa lama Presiden Xi bertahan di kursi kepresidenan. Namun, sebuah editorial yang dimuat di surat kabar pemerintah China, Global Times, menulis usulan terkait tidak bermaksud membuat presiden berkuasa sepanjang masa.

Editorial terkait juga mengutip pernyataan seorang akademisi anggota Partai Komunis, yang menyebut bahwa China membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan stabil dalam rentang tahun 2020 hingga 2035.

Namun oleh beberapa pihak, rencana tersebut dianggap berisiko menimbulkan kekacauan baru di tengah masyarakat China modern.

"Saya menduga ia (Presiden Xi Jinping) berupaya menjadikan dirinya sebagai seorang kaisar absolut," ujar Willy Lam, profesor politik pada Chinese University of Hong Kong, kepada kantor berita AFP.

Menurutnya, hal tersebut berpotensi mencoreng visi China yang modern, sebagaimana yang digariskan oleh pemerintahan mendiang Deng Xiaoping.

"Deng Xiaoping telah menyatakan dengan tegas bahwa bentuk pemerintahan semi moderat akan memajukan China di kemudian hari," lanjut Lam.

"Kepemimpinan tetap terpusat, namun kesempatan menduduki tampuk kekuasaan tidak boleh terus menerus pada satu orang, karena hal tersebut sudah terbukti banyak mengalami kegagalan di banyak belahan dunia, termasuk di China sendiri."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya