China Menentang Sanksi Terbaru AS untuk Korea Utara

China meminta Amerika Serikat untuk membatalkan sanksi terbaru yang mereka jatuhkan terhadap Korea Utara. Mengapa?

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 25 Feb 2018, 12:02 WIB
Diterbitkan 25 Feb 2018, 12:02 WIB
Bendera China
Ilustrasi bendera China (iStock)

Liputan6.com, Beijing - Pemerintah China meminta Amerika Serikat untuk membatalkan sanksi terbaru yang mereka jatuhkan terhadap Korea Utara -- menyebutnya sebagai sebuah langkah sepihak yang mampu melemahkan kerja sama antara Beijing dan Washington.

Sebelumnya, pada Jumat 23 Februari, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa pemerintahannya telah menjatuhkan sanksi ekonomi baru terhadap Korea Utara.

Sanksi berlabel 'yang terbesar yang pernah diberikan oleh AS pada negara manapun' itu secara spesifik menargetkan total 56 entitas, yang terdiri dari 27 perusahaan perkapalan dan perdagangan dan 28 kapal, baik yang terdaftar di atau berbendera dari seluruh dunia, termasuk Korea Utara, China, Singapura, sampai Tanzania.

Beberapa entitas dan kapal China masuk dalam daftar sanksi itu, meliputi; kapal Asia Bridge 1, Hao Fan 2, Hao Fan 6 -- ketiganya telah masuk daftar hitam PBB pada Oktober 2017 -- dan Xin Guan Hai.

Begitu juga firma perkapalan Shandong, Weihai World Shipping Freight (berbasis di China), Shanghai-Dongfeng Shipping Co. Ltd (berbasis di China), dan Shen Zhong International Shipping (berbasis di Hong Kong).

Merespons sanksi itu, Kementerian Luar Negeri China mengeluarkan pernyataan yang isinya menentang langkah sepihak dan pemaksaan yurisdiksi dari Amerika Serikat dalam menargetkan entitas dari Tiongkok pada sanksi itu.

"China menentang sanksi sepihak dan pemaksaan perpanjangan yurisdiksi hukum yang dilakukan Amerika Serikat terhadap entitas dan individu China," kata Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China seperti dikutip dari Al Jazeera (25/2/2018).

Sebagai bentuk pembelaan, Kemlu China mengatakan, "Pemerintah China selalu secara ketat dan komprehensif mengimplementasi Resolusi Dewan Keamanan PBB Seputar Korea Utara dan memenuhi obligasi internasional -- yakni dengan tak mengizinkan warga negara atau perusahaan China terlibat dalam aktivitas yang melanggar resolusi Dewan Keamanan."

Kemlu China juga menyatakan akan 'menanggapi masalah itu' sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku di China. Mereka juga menuntut AS segera mencabut sanksi-sanksi itu, 'guna mencegah rusaknya kerjasama bilateral dalam bidang terkait'. Demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia.

Pernyataan itu adalah rangkaian terkini penolakan keras Tiongkok atas sanksi-sanksi apapun atas Korea Utara yang tidak dijalankan sesuai dengan peraturan PBB.

Perdagangan China dengan Korea Utara pada Januari turun ke tingkat terendah dalam hampir empat tahun, memberikan adalah indikasi terbaru bahwa Tiongkok mungkin telah mengenakan tekanan kuat atas The Hermit State.

Menyusul Laporan Jepang

Ilustrasi Korea Utara (AFP)
Ilustrasi Korea Utara (AFP)

Sanksi itu muncul setelah Kementerian Luar Negeri Jepang menduga kuat bahwa Korea Utara kembali melanggar sanksi internasional yang ditetapkan oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB untuk membatasi program rudal balistik dan nuklir The Hermit State -- julukan Korut.

Dugaan itu muncul setelah patroli militer Jepang melihat transfer muatan yang dilakukan antara kapal bermarka Tiongkok dengan kapal Korea Utara di teritori internasional Laut China Timur pada Jumat pekan lalu.

Menurut pantauan patroli militer Jepang, kapal Korea Utara itu diketahui berjenis tanker bernama Yu Jong 2 yang berlayar dekat dengan sebuah kapal kecil tak berbendera, namun beraksara Tiongkok pada badannya.

Aksara Tiongkok pada kapal kecil tak berbendera itu bertuliskan 'Min Ning De You 078' yang berarti 'Kapal Tanker 078 Provinsi Fujian, Kota Ningde'.

"Kedua kapal itu berlokasi sekitar 250 km dari lepas pantai Shanghai, China," kata pihak Kementerian Luar Negeri Jepang seperti dikutip dari Daily Mail.

"Berdasarkan kajian mendalam, Pemerintah Jepang menduga kuat bahwa mereka melakukan transfer muatan antar kapal yang berlangsung di lautan -- yang jelas dilarang oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB," lanjut keterangan Kemlu Jepang.

Tokyo juga mengatakan bahwa mereka telah melaporkan insiden itu kepada Dewan Keamanan PBB dan mengabarkannya kepada negara lain yang relevan -- kemungkinan Korea Selatan dan Amerika Serikat selaku sekutu Jepang.

Tiga Kali Sepanjang 2018

Jika benar adanya, insiden itu merupakan ketiga kalinya Jepang melaporkan peristiwa serupa yang melibatkan Korea Utara sepanjang tahun 2018, di mana terjadi sebuah transfer muatan antar kapal yang berlangsung di lautan -- sebuah pelanggaran terhadap sanksi Resolusi Dewan Keamanan PBB yang ditetapkan untuk membatasi program rudal balistik dan nuklir The Hermit State.

Dua insiden lainnya terjadi awal tahun 2018, yang semuanya melibatkan kapal tanker Korea Utara Rye Song Gang 1 -- kapal yang masuk dalam daftar hitam komunitas syahbandar internasional seperti diatur oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB.

Tak hanya itu, insiden terbaru tersebut juga terjadi di tengah animo diplomasi harmonis antara Korea Utara - Korea Selatan yang memanfaatkan gelaran Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang 2018. Jika benar adanya, insiden itu diprediksi mampu mencoreng animo diplomasi harmonis tersebut.

Berjanji Akan Lakukan Penyelidikan

Ilustrasi Korea Utara
Ilustrasi Korea Utara (AP)

Menanggapi hal tersebut, Kementerian Luar Negeri China mengatakan pada Kamis 22 Februari 2018 bahwa pihak berwenang Tiongkok sedang melakukan penyelidikan. Demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang mengatakan, negaranya akan secara serius menangani individual atau atau perusahaan China yang diketahui terlibat dalam insiden yang dilaporkan Jepang sebelumnya pekan ini tersebut.

Lebih lanjut ia mengatakan, hukuman terhadap mereka yang terlibat akan dijatuhkan berdasarkan bukti kuat dan sesuai dengan UU dan peraturan China.

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya