Liputan6.com, Rio De Janeiro - Tertembak matinya seorang wanita anggota Dewan Kota Rio De Janeiro, memicu kerusuhan besar-besaran di beberapa kota besar di Brasil.
Baik oleh pihak kepolisian, jaksa, dan bahkan para pimpinan geng, kasus penembakan yang terjadi pada Rabu, 14 Maret 2018, tersebut tampak sebagai sebuah aksi pembunuhan politik.
Marielle Franco (38), sosok yang sedang naik daun di Partai Sosialisme dan Kebebasan (PSOL), terbunuh bersama seorang rekannya di bagian utara kota Rio sekitar pukul 21.30 malam waktu setempat. Demikian dilansir dari France24.com pada Jumat (16/3/2018).
Advertisement
Baca Juga
Pembunuhan itu terjadi beberapa pekan setelah pemerintah federal Brasil memutuskan bahwa tentara akan mengambil alih semua operasi keamanan di Rio De Janeiro hingga akhir tahun.
Keputusan tersebut didasarkan pada semakin meningkatnya angka kasus pembunuhan di kota terbesar kedua di Brasil itu, sejak beberapa tahun terakhir.
"Terlalu dini untuk berasumsi, namun bukti di lapangan menunjukkan bahwa kasus penembakan (Franco) adalah tanggapan terhadap aktivitas politiknya," ujar seorang jaksa setempat yang tidak ingin disebutkan namanya.
Protes keras terhadap jatuhnya korban sipil dalam peperangan antara polisi dan kartel narkoba, disebut sebagai dugaan terkuat di balik insiden penembakan pada Franco tersebut.
Sehari setelah kabar meninggalnya Franco tersebar luas, muncul aksi demo besar-besaran di Rio dan beberapa kota besar lainnya di Brasil, seperti Sao Paulo dan Salvador.
Demo tersebut memprotes wewenang polisi dalam melakukan serangan tembak di wilayah sipil yang terus memicu jatuhnya puluhan korban tidak bersalah.
Simak video terkait Brasil berikut:
Polisi Dituduh Merenggut Hak Warga Sipil
Sementara itu, Franco yang lahir dan tinggal di kawasan kumuh Mare -- salah satu daerah rawan kriminal di Rio De Janeiro -- telah mendapat lebih dari 46.500 suara dalam pemilihan walikota pada 2016 lalu.
Pada hari Minggu, 11 Maret 2018, Franco unggah sebuah status di akun Facebook resminya, mengkritik pembunuhan polisi terhadap dua anak laki-laki saat sebuah serangan polisi di daerah bernama Acari.
"Kita harus berteriak sehingga semua tahu apa yang terjadi di Acari saat ini. Polisi Rio meneror dan merebut hak-hak masyarakat yang tinggal di Acari," tulis Franco.
"Minggu ini dua pemuda terbunuh dan dilempar ke selokan. Hari ini, polisi berada di jalan dan mengancam orang-orang yang tinggal di sana. Ini telah berlangsung selama berminggu-minggu, dan akan lebih buruk jika ditambah intervensi militer."
Kritik tentang kekerasan yang terjadi di Acari itu tidak mendapat tanggapan dari pihak polisi.
Di satu sisi, Kepolisiian Brazil mengatakan akan terus memperpanjang operasi keamanan di Acari, termasuk menanggapi aksi baku tembak dengan para kelompok kriminal setempat.
Namun ditegaskan oleh Kepolisian Brazil, tidak ada korban meninggal dari kalangan warga sipil.
Advertisement
Tumbuh Besar di Kawasan Rawan Kriminal
Franco dibesarkan dan tinggal di Mare, sebuah kompleks permukiman kumuh yang rawan kriminal di Rio De Janeiro.
Di sana, ia bersama sekitar 130.000 penduduk harus bertahan hidup di tengah pertempuran antara polisi dan dua geng kriminal paling kuat Rio, Komando Merah dan Komando Murni Ketiga.
Sementara itu, anggota tingkat tinggi dari Komando Merah dan Komando Ketiga Murni mengaku, bahwa mereka tidak ada hubungannya dengan pembunuhan tersebut.
Raul Jungmann, pemimpin Kementerian Keamanan Publik yang baru dibentuk oleh pemerintah Brazil, mengatakan pada sebuah acara di Sao Paulo, bahwa pembunuhan Franco adalah sebuah tragedi.
Jungmann mengatakan bahwa penyelidik federal akan dilibatkan dalam penyelidikan tersebut. Selain itu, ia juga telah menempatkan polisi federal Brasil untuk turut melakukan tindakan serupa, sekaligus meningkatkan proses pengamanan di lokasi terkait.