Liputan6.com, Jakarta - Duta Besar Bangladesh untuk Indonesia mengatakan bahwa pemerintah negaranya terus berkomitmen pada iktikad baik Myanmar untuk melanjutkan proses pemulangan (repatriasi) pengungsi Rohingya di Cox's Bazaar ke Negara Bagian Rakhine. Meski, hal tersebut telah tertunda selama hampir lima bulan.
Dubes Azmal Kabir menyampaikan komentar itu di tengah proses repatriasi yang masih terhambat -- terhitung hampir lima bulan sejak Dhaka - Naypyidaw menyepakati pemulangan pengungsi Rohingya di Cox's Bazaar ke Rakhine pada November 2017 silam.
Advertisement
Baca Juga
"Proses mengupayakan repatriasi masih berlangsung, meski berjalan cukup lama dan kritis. Bagaimanapun, kami masih yakin terhadap iktikad baik Myanmar, karena kami telah menyepakati hal itu bersama-sama," kata Dubes Kabir di Jakarta, Senin (9/4/2018).
Awal bulan ini, pemerintah Myanmar mengumumkan bahwa mereka masih membutuhkan 'beberapa waktu lagi' agar benar-benar siap menerima repatriasi hampir sekitar 650 ribu jiwa etnis Rohingya yang mengungsi dari Cox's Bazaar, Bangladesh.
Penundaan itu dilakukan agar Myanmar memiliki waktu lebih banyak untuk mendata seluruh etnis Rohingya yang akan kembali ke Negara Bagian Rakhine.
"Kami telah mengirim utusan untuk melakukan pendataan (para pengungsi Rohingya di Bangladesh). Tapi utusan itu belum melaporkan hasilnya kepada kami. Oleh karenanya kami memerlukan waktu lebih," kata Menteri Kesejahteraan Sosial Myanmar, Win Myat Aye seperti dilansir The Daily Star pada 7 April 2018.
Myanmar Dianggap Tak Berkomitmen
Kendati demikian, sejak proses repatriasi itu disepakati pada November 2017, komunitas internasional menilai bahwa Myanmar tidak seutuhnya berkomitmen pada kesepakatan tersebut.
Hal itu dibuktikan dengan betapa lambat Naypyidaw mengimplementasikan platform-platform repatriasi para pengungsi, seperti; pemulihan kembali tempat tinggal, penyediaan akses kebutuhan hidup mendasar, dan penjaminan keamanan serta keselataman etnis Rohingya sekembalinya mereka ke Rakhine.
Penilaian itu, salah satunya, baru-baru ini diutarakan oleh Wakil Sekretaris Jenderal PBB bidang Urusan Kemanusiaan, Ursula Mueller -- usai dirinya melakukan kunjungan selama 6 hari di Myanmar pekan lalu. Kunjungan itu dilakukan guna memantau langsung kesiapan Myanmar dalam menyediakan platform repatriasi bagi Rohingya.
"Dari yang saya dengar dari berbagai narasumber, di sana (Rakhine) masih tidak ada layanan kesehatan, penjaminan keselamatan, masih terjadinya pemaksaan pemindahan, serta berbagai hal tak kondusif lain yang tak memungkinkan proses repatriasi," kata Wasekjen PBB Mueller seperti dilansir Strait Times, 9 April 2018.
Mueller sendiri mengaku 'khawatir' terhadap kesungguhan pemerintah Myanmar dalam mengimplementasi platform repatriasi para pengungsi Rohingya -- mengingat keterlambatan proses pemulangan etnis mayoritas Muslim kembali ke Rakhine itu, lambat laun kian melarut.
Â
Saksikan video berikut ini:
Bangladesh Telah Mempersiapkan Repatriasi
Di sisi lain, bulan ini, pemerintah Bangladesh mengumumkan telah melakukan segala hal yang diperlukan guna memperlancar proses pemulangan pengungsi Rohingya di Cox's Bazaar untuk kembali ke Rakhine, Myanmar -- beberapa bulan sejak Dhaka memutuskan penundaan proses tersebut.
Dubes Bangladesh untuk RI, Azmal Kabir memastikan bahwa pemerintah Bangladesh telah melakukan 'semua yang dianggap perlu' guna mempersiapkan proses repatriasi etnis Rohingya. Meski, hal itu dilakukan 'di tengah keterbatasan sumber daya dan minimnya dukungan komunitas internasional'.
"Di tengah keterbatasan sumber daya dan minimnya sokongan dari komunitas internasional, Bangladesh telah melakukan segala upaya (termasuk pendataan dan persiapan logistik) dengan berbagai cara untuk terus melanjutkan proses repatriasi tersebut," ujar sang Duta Besar di Jakarta, 9 April 2018.
Pada awal tahun 2018, pemerintah Bangladesh sempat memutuskan menunda proses repatriasi atas alasan administrasi (pendataan dan verifikasi data pengungsi), logistik pemulangan, serta berbagai hal lain yang menghambat.
"Masih ada beberapa hal yang harus dilakukan," kata Abul Kalam, Komisioner Rehabilitasi dan Bantuan Pengungsi Bangladesh, lembaga pemerintah yang menangani etnis Rohingya yang eksodus ke Bangladesh, seperti dikutip dari ABC Australia, 23 Januari 2018.
"Daftar nama pengungsi yang akan direpatriasi masih belum siap. Verifikasi data dan kamp transit untuk proses repatriasi juga belum," tambah Kalam mengomentari penundaan pemulangan pengungsi Rohingya.
Selesai 2 Tahun?
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Bangladesh telah mengatakan, negaranya dan Myanmar sepakat untuk menyelesaikan misi pemulangan ratusan ribu pengungsi Rohingya dalam dua tahun.
Dilansir VOA Indonesia, Selasa 16 Januari 2018 sebuah kelompok kerja telah terbentuk. Kelompok itu melibatkan kedua negara tersebut dan membuat sebuah perjanjian pada hari Senin 15 Januari.
Myanmar dan Bangladesh menandatangani perjanjian awal untuk repatriasi pengungsi Rohingya pada November 2017.
Sebuah tim yang beranggotakan 30 orang telah dibentuk bulan lalu untuk mengawasi proses pemulangan tersebut.
Banyak pertanyaan muncul: Apakah Rohingya akan dikembalikan ke Myanmar dalam kondisi seperti sekarang ini? Atau, apakah Myanmar akan menerima dan membiarkan mereka hidup bebas?
Berdasarkan perjanjian bulan November, Rohingya harus bisa memberikan bukti bahwa mereka memang tinggal dan berasal dari Myanmar.
Hingga kini, tercatat ada lebih dari 650 ribu Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak Agustus silam.
Militer Myanmar melancarkan penumpasan brutal di negara bagian Rakhine, setelah sekelompok militan yaang diklaim berasal dari etnis tersebut menyerang pos polisi di daerah itu.
Militer Myanmar menggambarkan hal itu sebagai "operasi pembersihan" teroris, tetapi PBB dan Amerika Serikat menyebutnya sebagai "pembersihan etnis".
Advertisement