Melihat Kesiapan Asia Tenggara Menerima Kehadiran Kekuatan Besar Global

Kawasan Asia Tenggara memiliki gaya tersendiri dalam bersiap menerima datangnya kekuatan besar dari berbagai penjuru dunia.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 27 Jul 2018, 21:41 WIB
Diterbitkan 27 Jul 2018, 21:41 WIB
Suasana diskusi USINDO tentang isu pengaruh China dan AS di kawasan Asia Tenggara (Liputan6.com/Happy Ferdian Syah Utomo)
Suasana diskusi USINDO tentang isu pengaruh China dan AS di kawasan Asia Tenggara (Liputan6.com/Happy Ferdian Syah Utomo)

Liputan6.com, Jakarta - Jika negara super power global lainnya ingin masuk ke peta geopolitis suatu kawasan, tidak terkecuali Asia Tenggara, maka investasi berkualitas adalah kunci utamanya.

Pendapat yang disampaikan oleh kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Dr Siswo Pramono itu merupakan tanggapan terhadap adu pengaruh berbagai kekuatan global di kawasan Asia Tenggara.

"Tentunya investasi akan mendorong pertumbuhan ekonomi, atau dengan kata lain mendukung ketahanan nasonal. Hal ini jika terpelihara baik, dan kemudian dibawa ke forum regional ASEAN, maka dapat memberikan daya tawar tinggi kawasan," jelas Dr Pramono ketika ditemui di sebuah diskusi publik, yang digelar oleh Komunitas Amerika Serikat Indonesia (USINDO), pada Jumat (27/7/2018), di Jakarta.

Ditambahkan olehnya, bahwa investasi bukan sekadar tanam modal, melainkan juga harus menyertakan tiga manfaat utama, yang terdiri dari tingkat inovasi tinggi, hasil litbang yang teliti, dan memenuhi standar internasional.

Ketiga syarat di atas, menurut Dr Pramono, merupakan salah satu kunci penting untuk meningkatkan ekonomi kawasan, yang manfaat positifnya bisa dirasakan seluruh negara anggota ASEAN.

"Itulah mengapa Indonesia menolak tegas pemecahan ASEAN oleh pengaruh China, Amerika (Serikat), dan kekuatan lainnya," ujar Dr Pramono.

"Tapi kenyataanyya, mereka (kekuatan berpengaruh) tidak bermasuk memecah, mungkin cara bicaranya yang tidak tepat dengan perspektif kita di ASEAN," lanjutnya.

Dr Pramono juga menyinggung tentang pentingnya dialog dalam menjembatani perbendaan kepentingan di kawasan Asia Tenggara, di mana hal itu disebutnya sebagai convergent of interest, atau tukar pendapat.

Menurutnya, sebuah pendapat bisa saja mirip atau memiliki kesinambungan dengan pendapat lain, sehingga ketika bertemu dalam satu forum, hal-hal tersebut dapat dikonvergensikan ke dalam komitmen nyata.

"Berbagai kepentingan pasti ada common interest-nya, meski value masing-masing berbeda. Inilah yang harus dibangun di Asia Tenggara, sekaligus membangun trust satu sama lain," pungkas Dr Pramono, seraya menyebut bahwa ASEAN adalah soko guru bagi Indonesia dan negara-negara anggota lainnya.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

AS Harus Belajar Mendekati ASEAN

Lambang ASEAN.
Lambang ASEAN.

Sementara itu, dalam Dialog Shangri-la pada bulan lalu, yang merupakan diskusi tahunan di isu keamanan global, Menteri Pertahanan Amerika Serika (AS) James Mattis menyampaikan komitmen pemerintahnya terhadap kawasan Asia Tenggara melalui Indo-Pasifik Bebas dan Terbuka (FOIP).

Setelah memiliki sejarah panjang keamanan dan ekonomi yang penting dengan Asia Tenggara, AS mencoba untuk menegakkan hubungan melalui kebijakan diplomatik tingkat tinggi di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump saat ini.

Topik di atas coba diangkat oleh forum komunitas AS-Indonesia (USINDO) dalam sebuah diskusi publik yang digelar di Kantin Diplomasi Kementerian Luar Negeri Republk Indonesia pada Jumat sore.

Agenda tersebut mengundang Profesor William M. Wise dan Dr. Siswo Pramono sebagai pembicara utama, dengan didampingi oleh mantan Duta Besar RI untuk Jepang, Soemadi Brotodiningrat, sebagai moderator.

Profesor William M. Wise yang merupakan ahli kebijakan luar negeri AS pada John Hopkins University, banyak memaparkan tentang bagaimana kemungkinan masa depan kerja sama Negeri Paman Sam dengan Asia Tenggara.

Ia mengatakan bahwa AS masih harus belajar tentang pendekatan terhadap komunitas ASEAN, yang dinilainya memiliki karakter komunal terkait sejarah awal sebagai organisasi ekonomi dan sosial.

Di sisi lain, ia juga memperingatkan pemerintahan Donald Trump untuk tidak melupakan kepentingan negara-negara di kawasan itu terhadap kehadiran China.

"Bukan sebagai lawan konfrontatif, melainkan untuk menyeimbangkan dengan karakter kawasan Asia Tenggara yang memang secara geografis, memang dekat ke China," jelas Prof Wise.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya