Liputan6.com, Rotterdam - Seorang remaja berusia 19 tahun meninggal setelah menghirup deodoran semprot untuk membuatnya mabuk, demikian menurut laporan kasus kesehatan baru. Dokter yang merawat pemuda tersebut di Belanda menggunakan insiden itu untuk menyoroti konsekuensi fatal akibat menghirup bahan kimia.
"Kasus semacam itu sangat langka," menurut Dr. Kelvin Harvey Kramp dari unit perawatan intensif Rumah Sakit Maasstad di Rotterdam seperti dikutip dari CNN, Minggu (18/10/2018).
Baca Juga
Kramp menjelaskan bahwa kematian akibat menghirup deodoran sejatinya tak lazim di kalangan masyarakat umum. "Konsekuensi seperti itu belum diketahui pasti dan bisa menyebabkan orang melanjutkan perilaku berbahaya ini," imbuhnya.
Advertisement
Pasien, yang memiliki riwayat gejala psikotik, telah dirawat di pusat rehabilitasi atas penyalahgunaan ganja dan ketamin serta tengah mengonsumsi obat antipsikotik.
Pasien yang tak disebutkan identitasnya itu ternyata pada bulan Juli lalu melakukan aksinya. Ia menempatkan handuk di atas kepala dan menghirup deodoran semprot untuk mendapatkan efek 'high' alias mabuk yang dirasakan para pecandu narkoba. Demikian menurut laporan itu, yang diterbitkan hari Kamis di BMJ.
Dia kemudian menjadi hiperaktif dan melompat-lompat, namun aliran darahnya berhenti tiba-tiba, menyebabkan dia terkena serangan jantung dan kolaps, kata laporan itu.
Korban sempat dirawat di rumah sakit dan mengalami kondisi koma medis.
"Pasien tak memiliki fungsi otak yang cukup untuk mempertahankan kehidupan," kata Kramp.
Sembilan hari setelah dia dirawat, dokter menyatakan pemuda yang menghirup deodoran semprot itu meninggal dunia.
Â
Saksikan juga video berikut ini:
Â
3 Kemungkinan Penyebab
Ada tiga teori diduga menjadi penyebab henti jantung yang dialami korban penghirup deodoran semprot.
"Inhalan (suatu kelompok senyawa yang mudah menguap yang menghasilkan efek toksik mirip alkohol) bisa membuat jantung si pasien menjadi peka lalu memicu stres, seperti tertangkap tangan oleh orangtua (tengah melakukan sesuatu yang tak baik), menyebabkan henti jantung,"Â kata Kramp.
"Inhalan juga menurunkan kekuatan kontraksi otot jantung. Kemungkinan lain adalah bahwa inhalansia (uap yang mudah menguap dan dihirup. Contohnya aerosol, aica aibon, isi korek api gas, cairan untuk dry cleaning, tinner, uap bensin umumnya digunakan oleh anak di bawah umur atau golongan kurang mampu/anak jalanan) dapat menyebabkan spasme arteri koroner."
Spasme arteri koroner adalah salah satu penyebab lain serangan jantung. Otot arteri koroner dapat mengalami penyempitan karena spasme. Bila spasme yang terjadi parah, aliran darah pun tersumbat sehingga otot jantung akan kekurangan oksigen.
Selain itu, hiperaktivitas pasien bisa berarti dia mengalami "halusinasi menakutkan, kata Kramp. Ia juga menambahkan bahwa jika itu yang terjadi, maka teori pertama akan berlaku.
Laporan itu menunjukkan pemuda tersebut menggunakan pelarut organik yang mudah menguap tertentu sebagai zat memabukkan melalui penghirupan.
Menurut Kramp, penggunaan pelarut organik misalnya lem bukan fenomena baru, terutama ditemukan pada kaum muda yang rentan.
Studi menunjukkan, kelompok yang paling terpengaruh oleh penyalahgunaan demikian adalah remaja berusia 15 hingga 19 tahun. Orang-orang di pusat rehabilitasi atau penjara lebih cenderung menyalahgunakan produk rumah tangga, tambah laporan itu.
Itu berarti mungkin ada risiko lebih besar kematian jantung di lingkungan demikian.
"Dalam lingkungan yang seperti itu, orang-orang tersebut memiliki lebih sedikit akses ke zat-zat lain, dan produk-produk rumah tangga yang mudah tersedia," jelas Direktur Farmasi di badan amal Inggris, Addaction, Roz Gittins (yang tidak terlibat dalam laporan itu).
Kramp juga mengatakan, zat kimia beracun Butana, yang sering digunakan dalam produk rumah tangga yang bisa didapat dengan mudah, memiliki efek yang mirip dengan alkohol.
"Maksud dari pelaku adalah untuk mendapatkan perasaan euforia dan disinhibition (merupakan ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan perilaku, pikiran, dan perasaannya di dunia maya)."
"Efek kesehatan lain dari inhalansia termasuk kerusakan hati dan ginjal, gangguan pendengaran, perkembangan perilaku yang tertunda dan kerusakan otak. Bahan kimia seperti butana memiliki efek yang sangat cepat dan singkat, yang dapat membuat orang ingin terus menggunakannya," papar Gittins.
Penulis laporan berharap peningkatan kesadaran akan bahaya zat-zat tersebut bisa membantu mengurangi kematian terkait pernafasan lebih lanjut, melalui pendidikan di sekolah sekitar konsekuensi fatal penyalahgunaan pelarut.
"Untuk menghentikan penyalahgunaan tersebut, kami hanya dapat mencoba meningkatkan kesadaran tentang kemungkinan konsekuensi dramatis dari penyalahgunaan inhalan di kalangan anak muda, orangtua, tenaga medis," tegas Kramp.
Sejauh ini ada 125 kematian akibat penyalahgunaan inhalasi setiap tahun di Amerika Serikat, menurut laporan itu.
Stephen Ream, Direktur Badan Amal yang berbasis di Inggris, Re-solv, mengatakan bahwa pada tahun 2016, "ada 64 kematian yang terkait dengan produk tersebut," dengan penggunaan gas butana setidaknya sepertiga dari korban.
"Pengklasifikasian produk lebih sulit untuk dilakukan, tetapi kami menduga bahwa sekitar empat atau lima kematian per tahun terkait dengan produk aerosol," kata Ream.
"Penyalahgunaan zat pelarut juga menjadi masalah di wilayah utara Inggris, dengan tingkat yang lebih tinggi di Skotlandia dan Timur Laut Inggris," jelas Ream.
Menurut organisasi penasihat obat Inggris, Talk to Frank, lebih banyak anak berusia 10 hingga 15 tahun terbunuh karena menyalahgunakan lem, gas dan aerosol daripada obat-obatan terlarang antara tahun 2000 dan 2008.
Advertisement