Liputan6.com, Atush, Kizilsu Kirgiz, Xinjiang - Pada sebidang tanah seluas 1,2 hektar, di tengah Gurun Gobi di Wilayah Otonomi Xinjiang-Uighur (XUAR), berdiri sebuah gedung besar memanjang dan bertingkat. Di sekelilingnya, terdapat jalan kecil untuk akses, sementara di sisi belakang gedung, terdapat lapangan.
Kompleks itu kemudian dipartisi dari wilayah di luarnya yang berupa jalan dan gurun dengan tembok tinggi, dilengkapi banyak kamera video pengawas yang menyorot ke berbagai arah.
Di gerbang masuk utama, terdapat sebuah pos penjaga, pagar besi tebal, penghambat laju kecepatan kendaraan, dan tak ketinggalan CCTV.
Advertisement
"Pusat pelatihan vokasional di Atush (Artux), Xinjiang", begitulah pemerintah XUAR dan China memberi nama kompleks tersebut.
Baca Juga
Dibangun pada 2016 dan mulai beroperasi pada 2017, fasilitas mampu menampung 200 penghuni yang disebut sebagai 'siswa'. Ada 30 petugas yang menjadi pengelolanya, klaim seorang pejabat China yang mendampingi lawatan Liputan6.com serta beberapa jurnalis Indonesia dan Malaysia pada Minggu 24 Februari 2019 sore waktu lokal.
Sejak beroperasi selama dua tahun, fasilitas itu diklaim telah mengedukasi setidaknya 400 siswa yang masuk dan keluar silih berganti, dengan kebanyakan di antara mereka merupakan etnis minoritas Uighur, Kazakh, Kirgiz dan beberapa lainnya.
Kompleks didirikan untuk memberikan pelatihan dan edukasi kepada orang-orang yang "terinfeksi ekstremisme, radikalisme dan para pelanggar peraturan lain, serta mereka yang terjebak dalam kemiskinan", jelas Haireti Julaiti yang memperkenalkan diri sebagai direktur fasilitas.
Kemiskinan di beberapa wilayah Xinjiang, terutama di area dekat perbatasan, disebut sebagai salah satu faktor yang berkontribusi bagi seseorang untuk 'terinfeksi radikalisme dan ekstremisme', lanjut seorang pejabat departemen diseminasi informasi untuk Partai Komunis China di Xinjiang mengatakan alasan didirikannya fasilitas tersebut.
Panel HAM PBB di Jenewa pada Agustus 2018 dan sejumlah negara Barat telah mengkritisi eksistensi fasilitas tersebut atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia, tindak kekerasan dan koersif, diskriminatif terhadap etnis minoritas, serta pengoperasiannya yang menyerupai "kamp internir besar-besaran yang dikelola secara rahasia".
Tiongkok dengan tegas menolak tuduhan, mengatakan bahwa 'pusat pelatihan' dioperasikan sesuai hukum dan dengan menjamin hak para 'siswa'.
Kondisi di Dalam Pusat Vokasional
Liputan6.com dan sejumlah wartawan diberi kesempatan oleh otoritas XUAR untuk berkunjung ke beberapa pusat pelatihan vokasional di wilayah terbarat China itu.
Salah satu yang rombongan kunjungi berlokasi di dekat perbatasan China - Kirgiztan atau 1.400 km dari Ibu Kota Urumqi-- pada Minggu 24 Februari 2019.
Rombongan jurnalis yang didampingi otoritas setempat tiba pada senja hari, sekitar pukul 18.30 lokal. Dari gerbang masuk utama, kendaraan yang membawa rombongan langsung terparkir di halaman belakang, di mana kami melihat sejumlah siswa pusat pelatihan yang tengah bermain basket, voli dan pingpong di lapangan yang disediakan khusus untuk ketiga aktivitas tersebut.
Kami tidak mengetahui apakah lawatan kala itu memang bertepatan dengan aktivitas olah fisik tersebut. Namun, seorang staf mengatakan bahwa olahraga merupakan bagian dari agenda mereka selama di dalam pusat pelatihan.
Usai memberikan sambutan, Direktur pusat vokasional Atush, Haireti Julaiti kemudian mengantarkan para jurnalis ke lantai dasar gedung utama.
Pertama-tama, rombongan diantarkan ke sebuah ruangan yang terdapat beberapa bilik telepon.
Ia mengatakan, ruangan itu dapat digunakan oleh para siswa untuk menghubungi keluarganya di rumah. Fasilitas tersebut juga bisa digunakan untuk materi vokasional telecommerce, kata Julaiti.
Kemudian, Julaiti mengantarkan rombongan ke ruang besar yang berisi barisan mesin jahit, di mana para penghuni tersebut menjahit beberapa helai kain.
Julaiti mengatakan, keterampilan menjahit merupakan salah satu materi vokasional yang diajarkan kepada para siswa. Keterampilan itu diharapkan mampu dimanfaatkan oleh mereka untuk bekerja di salah satu pabrik manufaktur di Atush, Xinjiang atau pabrik-pabrik lain di China.
Setelah dari ruang jahit, Julaiti mengantar rombongan ke beberapa ruangan lain di lantai dasar seperti: klinik dengan dokter dan perawat jaga, ruang video call yang bisa digunakan para siswa (dengan dua orang siswa kebetulan tengah menggunakan fasilitas itu ketika rombongan berkunjung), ruang konsultasi, dan ruang pelatihan kuliner komersial --di mana beberapa siswa menyuguhkan kami sejumlah makanan khas Xinjiang yang mereka olah sendiri.
Julaiti mengatakan, dengan keahlian kuliner, para siswa mampu memanfaatkannya untuk bekerja di sektor industri pengolahan makanan di Atush, Xinjiang atau wilayah China lainnya.
Rombongan kemudian diajak ke lantai dua gedung utama untuk menengok minimarket yang dikelola oleh para siswa. Minimarket itu berisi makanan, minuman dan barang-barang keperluan hidup sehari-hari.
Pelanggan utama minimarket itu, kata Julaiti, adalah para siswa dan staf yang bekerja di pusat pelatihan vokasional.
Minimarket itu, kata Julaiti, juga berfungsi sebagai kurikulum pelatihan vokasional, di mana para siswa bisa belajar mengenai pengelolaan toko swalayan.
Penulis menyempatkan diri untuk berinteraksi dengan salah satu siswa etnis Uighur yang tengah mengatur etalase minimarket. Karena terkendala bahasa, saling berbalas senyum hanya menjadi proses interaksi kami.
Di tengah-tengah interaksi itu, kami diminta bergerak, pindah ke lokasi lain.
Masih berada di lantai dua, rombongan selanjutnya diajak untuk melihat aula serbaguna dengan barisan meja dan kursi, beberapa ruang kelas, ruang hiburan, dan salon.
Hampir semua ruangan selalu diisi oleh para siswa dan staf yang sibuk beraktivitas di ruangannya masing-masing. Sementara di aula, kami melihat sejumlah siswa laki-laki dan perempuan berbusana etnik tengah melakukan apa yang tampaknya merupakan gladi resik untuk sebuah pentas seni tari dan musik tradisional --yang ternyata akan mereka pertunjukkan kepada rombongan nantinya.
Setelah berkeliling ke sejumlah ruangan di lantai dua, rombongan dipersila duduk di aula untuk menyaksikan penampilan seni dari para siswa yang mempertunjukkan berbagai tarian dan musik tradisional khas Uighur, Kirgiz, dan Kazakh --etnis-etnis minoritas di China yang banyak terkonsentrasi di XUAR.
Usai itu, rombongan diantar keluar oleh para petugas tak berseragam untuk kembali ke tempat awal kami menginjakkan kaki di lapangan belakang.
Kami tidak berkesempatan melihat ruangan dan lantai lain di gedung enam tingkat itu.
Liputan6.com sempat mempertanyakan tentang detail ruangan di lantai tiga, empat dan sisanya, yang jika dilihat dari luar, seluruh jendela pada lantai itu dilengkapi terali besi.
Seorang staf menjelaskan bahwa fungsi teralis itu adalah demi keselamatan para siswa agar tidak terjatuh dari lantai tinggi.
Siapa Para Siswa di Fasilitas Atush?
Direktur "pusat pelatihan vokasional Atush, Xinjiang", Haireti Julaiti mengatakan, "seluruh siswa adalah pemuda-pemudi lokal yang terinfeksi ekstremisme dan radikalisme, di mana mereka telah melakukan pelanggaran hukum ringan terkait dua hal itu, namun, belum menjadi seorang kriminal atau belum melakukan tindak pidana terorisme".
Tapi, pantauan Liputan6.com di fasilitas Atush, beberapa "siswa" berusia setidaknya 30 tahun.
Komposisi etnis para siswa adalah mayoritas Uighur --kelompok etnis yang memang mendominasi Atush dan 45 persen dari total wilayah XUAR secara keseluruhan-- Kazakh, beberapa Kirgiz dan lain-lain.
"Tapi, program penghapusan ekstremisme-radikalisme dan pencegahan terorisme kami tidak menargetkan etnis atau kelompok agama spesifik," kata Julaiti.
Julaiti juga menjelaskan, para siswa juga berlatar belakang "miskin, berpendidikan minim, dan tidak mengetahui bahasa dan hukum nasional China."
Advertisement
Bagaimana Para Siswa Bisa Masuk ke Dalam Fasilitas?
Julaiti mengatakan, para siswa masuk ke dalam fasilitas ketika "polisi setempat mendapatkan bukti bahwa mereka telah terinfeksi radikalisme dan ekstremisme."
Selain aparat, "kelompok sipil pengawas warga lokal" juga ikut membantu melakukan pelaporan terhadap para terindikasi kepada polisi setempat.
Kriteria untuk menentukan seseorang tergolong "ekstremis atau radikal" merujuk pada "UU Nasional tentang Kontra-terorisme, UU di XUAR tentang Kontra-terorisme dan Ekstremisme, serta berbagai regulasi lain yang relevan." Namun, Julaiti tidak memberikan perincian nama undang-undang ketika para jurnalis meminta keterangan yang detail.
"Contohnya, memaksa seseorang untuk memeluk agama," kata Julaiti yang mengatakan bahwa hal itu melanggar undang-undang di China tentang kebebasan beragama maupun untuk tidak memiliki kepercayaan tertentu.
"Mengkafirkan seseorang (takfiri) karena tidak beragama atau memeluk agama yang sama dengannya juga merupakan salah satu contoh," kata Julaiti.
"Beberapa ekstremis yang mengganggu kehidupan sosial orang lain dengan melarang minum beralkohol, merokok, menyanyi dan menari tradisional juga merupakan contoh."
"Polisi lokal kemudian akan mendatangi orang tersebut dan menyarankan mereka untuk masuk ke dalam pusat pelatihan vokasional agar mereka dapat diberikan edukasi dan pelatihan," kata Julaiti.
Namun, proses masuknya orang yang "teinfeksi radikalisme dan ekstremisme" tidak melalui proses persidangan, kata Julaiti.
"Mereka datang secara sukarela," jelasnya.
"Tidak ada persidangan. Polisi cukup mengkomunikasikan kepada orang tersebut untuk masuk ke dalam pusat vokasional. Karena, mereka hanya terinfeksi dan sekedar melakukan pelanggaran ringan, bukan tindak pidana (terorisme)," lanjutnya
Seorang siswa yang sempat diwawancarai oleh Liputan6.com mengatakan melalui penerjemah bahwa ia "ingin untuk masuk ke dalam pusat pelatihan, guna mendapatkan pendidikan bahasa Mandarin, hukum China dan keterampilan yang bisa mengangkatnya dari kemiskinan."
"Sebelum mereka masuk, polisi mengkomunikasikan tentang apa yang akan mereka dapat di dalam pusat pelatihan: bahasa nasional (Mandarin), pengetahuan hukum, dan keterampilan. Setelah mereka tahu apa yang akan mereka dapat, calon siswa biasanya setuju untuk masuk."
"Tapi jika orang tersebut menolak, kami akan bersikeras menyarankan bahwa pusat pelatihan ini justru akan memberikan edukasi, hukum dan regulasi yang relevan. Kami tidak mengambil cara koersif," klaim Julaiti.
Fasilitas itu juga bisa menampung "mantan terpidana teroris yang benar-benar baru keluar dari penjara usai menjalani vonis hukumannya, namun, berdasarkan evaluasi aparat, perlu untuk menjalani pelatihan vokasional di fasilitas."
"Tapi untuk saat ini di Atush, belum ada yang seperti itu."
Berapa Lama Para Siswa di Dalam Pusat Pelatihan?
Direktur "pusat pelatihan vokasional Atush, Xinjiang", Haireti Julaiti mengatakan, para "siswa" mendapat "pengetahuan tentang hukum dan regulasi di China, serta melatih kemampuan berbahasa nasional (Mandarin) ... tanpa menghilangkan identitas dan kebudayaan etnisitas mereka sebagai hak mendasar."
"Kami juga menerapkan kurikulum agar ekstremisme dan radikalisme di dalam diri mereka hilang," lanjutnya.
Berbagai pelatihan itu berbiaya gratis, kata Julaiti.
"Kami memenuhi semua kebutuhan mereka, mulai dari pakaian, makanan, buku, asrama, hingga kebutuhan khusus perempuan. Semua dibiayai pemerintah," jelasnya.
Hak para siswa, kata Julaiti juga "terjamin".
"Mereka bebas untuk berkomunikasi dengan keluarga di rumah. Kami juga memberikan waktu bagi mereka sehari dalam sepekan untuk pulang menemui keluarga," jelas Julaiti.
Tentang berapa lama para siswa harus menetap di dalam "pusat pelatihan" secara keseluruhan, Julaiti mengatakan "semua tergantung pada masing-masing siswa."
"Mereka punya standar kontrak yang berbeda-beda ketika pertama kali masuk ke sini. Tujuan mereka adalah memenuhi standar itu dan lulus evaluasi berdasarkan capaian yang mereka buat dalam tiga kurikulum utama: mahir berbahasa nasional (Mandarin), mengetahui hukum nasional, dan memiliki keterampilan vokasional."
"Setiap orang punya proses dan durasi pencapaian yang berbeda-beda. Ada yang lama, ada yang cepat," tambah Julaiti.
Advertisement
Tentang Laporan Negatif Media Barat
"Pusat pelatihan vokasional Atush, Xinjiang" sempat menjadi sorotan pada Januari 2019. Media Amerika Serikat, Radio Free Asia (afiliasi Voice of America) melaporkan bahwa seorang pebisnis lokal beretnis Uighur "tewas dalam kondisi misterius" di fasilitas tersebut.
"Weli Memet (55) meninggal pada akhir Desember 2018 di 'kamp re-edukasi di Atush, Kizilsu Kirgiz, XUAR'. Jasadnya tidak dikembalikan kepada keluarga karena tubuhnya diduga penuh dengan bekas penyiksaan," tulis Radio Free Asia.
Seorang petugas sempat mengatakan kepada Liputan6.com dalam kunjungan ke Xinjiang bahwa hanya ada satu "pusat vokasional" di Atush --yakni, yang penulis kunjungi pada 24 Februari 2019.
Merespons kabar itu, Direktur "pusat pelatihan vokasional Atush, Xinjiang", Haireti Julaiti mengatakan, "Tidak ada kabar seperti itu," tanpa memberikan perincian.
Ia juga menambahkan, "Tidak ada yang namanya detensi atau yang namanya kamp di sini. Pelatihan vokasional ini melindungi hak legal para siswa."