Liputan6.com, Paris - Menara Eiffel dibangun dalam rangka memeriahkan Exposition Universelle atau Pameran Semesta yang digelar memperingati Prise de la Bastille atau 100 tahun penyerbuan ke Penjara Bastille, yang mengawali Revolusi Prancis. Tujuannya, sebagai simbol penghormatan bagi para korban yang menjadi 'tumbal' revolusi. Fungsi lainnya, untuk menarik pengunjung.
Pada masanya, Eiffel adalah bangunan tertinggi di dunia. Predikatnya itu akhirnya digeser Chrysler Building di New York yang rampung pada 1930.
Baca Juga
ONE OK ROCK Jadi Tamu Linkin Park dalam From Zero World Tour 2025 di Paris, Sempat Tertunda karena Chester Bennington Meninggal
Sidang Kasus Perkosaan Massal oleh 51 Pria Picu Demo 100.000 Orang di Seluruh Penjuru Paris
Ikuti Jejak Finlandia dan Skotlandia, Paris Inisiasi Tas Antipolusi bagi Bayi untuk Atasi Polusi Plastik
Sejumlah seniman, kaum intelektual, serta warga kebanyakan benci bukan main dengan tampilannya yang mencolok. Menurut mereka, menara itu 'tak berguna dan buruk rupa'. Keberadaannya dianggap merusak pemandangan jatung Kota Paris yang berbudaya.
Advertisement
Para penentang bahkan membuat petisi, menuntut agar menara besi itu dibongkar secepatnya.
Meski diwarnai pertentangan, proyek yang dipimpin Gustave Eiffel tetap berlanjut. Menara raksasa itu diselesaikan dalam dua tahun, dengan biaya di bawah anggaran yang diajukan. Satu pekerja tewas dalam pengerjaan konstruksi.
Pada masanya, itu adalah jumlah korban jiwan yang relatif rendah untuk proyek sebesar itu, demikian dikutip dari History.com.
Pada 31 Maret 1998, Menara Eiffel dipersembahkan pada Kota Paris, dalam sebuah upacara yang dipimpin oleh Gustave Eiffel dan dihadiri Perdana Menteri Prancis Pierre Tirard, sejumlah tokoh, dan 200 pekerja konstruksi.
Nyatanya, Menara Eiffel sukses besar. Exposition Universelle 1889 dihadiri jutaan orang. Di antaranya, yang jumlahnya 1.953.122 atau 12 ribu orang per hari datang khusus untuk melihat sang 'Iron Lady'.
Mereka ingin menyaksikan bangunan tertinggi di dunia kala itu. Juga mengagumi mahakarya arsitektur tersebut.
Pada pekan pertama dibuka, sekitar 30 ribu orang nekat menaiki Eiffel, dengan memanjat 1.710 anak tangga menuju puncak! Lift belum dipasang kala itu.
Warga tergopoh-gopoh datang untuk menikmati sensasi mendebarkan berada di ketinggian ekstrem. Namun, bisa menyaksikan pemandangan kota Paris dari sana, adalah harga yang pantas. Tak satu pun dari mereka pernah menyaksikan pemandangan dari atas pesawat.
Tak hanya warga kebanyakan, para pemimpin negara dan selebritas pun dibuat penasaran.
Artis Prancis Sarah Bernhardt, Prince of Wales (yang kelak jadi Raja Edward VII) dan Princess of Wales, George I dari Yunani, Shah Persia, dan lainnya, demikian dikutip dari situs resmi toureiffel.paris.
Meski terkenal, struktur besi setinggi lebih dari 300 meter itu tidak dimaksudkan untuk abadi. Rencana awalnya, setelah 20 tahun, Menara Eiffel akan dibongkar pada 1909.
Namun, keberadaan menara radio di atasnya mengurungkan niat itu. Menara Eiffel tetap berdiri hingga saat ini, menjadi ikon -- bukan hanya Paris tapi juga Prancis.
Saksikan juga video berikut ini:
Gamelan di Kaki Menara Eiffel
Exposition Universelle atau Pameran Semesta diadakan di Kota Paris, Prancis, pada 6 Mei sampai 31 Oktober 1889.
Simbol utama dari pameran adalah Menara Eiffel yang termahsyur hingga saat ini. Puluhan atraksi digelar kala itu, juga pertunjukkan musik. Salah satunya gamelan Jawa.
Seperangkat gamelan, juga penabuh dari Jawa dan Sunda diboyong ke Paris. Dalam status sebagai wilayah jajahan Belanda.
Seperti dimuat situs Radio Nederland, mereka didatangkan untuk mengisi paviliun Belanda, le village Javanais (Desa Jawa). Dalam pameran ini gamelan menancapkan pengaruhnya pada musik barat. Sehingga disebut-sebut, musik Debussy terpengaruh gamelan Jawa -- meski sejumlah orang mengatakan, itu hanya mitos.
Lalu, mengapa ada gamelan di pameran semesta Paris?
Sejarawati Belanda Marieke Bloembergen mengatakan, selain bermaksud menonjolkan kemajuan teknologi yang diwakili oleh Menara Eiffel, pameran itu juga ingin memamerkan wilayah-wilayah kolonial. Agar kolonialisme memperoleh dukungan rakyat Prancis.
Selain kampung Jawa, ada juga Kampung Negro, (village nègre) di mana 400 orang berkulit hitam menjadi atraksi utama.
Dalam pameran tersebut, Belanda adalah satu-satunya negara asing yang ikut serta. Prancis kala itu ingin meneladani kolonialisme Belanda.
Pada pintu masuk Paviliun Belanda tertera tulisan besar "Le Village Javanais", Desa Jawa. Tetapi pada buku pengantar tertera tulisan "Le Kampong Javanais", Kampung Jawa.
Desa Jawa di Paris dihuni oleh orang Jawa, mereka yang memang didatangkan dari Sunda dan Jawa. Ada pemain gamelan yang berasal dari desa Parakan, Salak di dekat Sukabumi. Mereka sejatinya bukan pemain gamelan profesional tetapi buruh kebun teh yang main gamelan di waktu senggang.
Orang-orang dari Surabaya dan Yogyakarta juga didatangkan untuk menunjukkan keterampilan memahat, membatik dan menenun.
Ada lagi penari yang berasal di Kraton Mangkunegaran di Solo. Tarian kraton Mangkunegaran yang diiringi gamelan adalah tontonan yang benar-benar baru, membikin orang heran.
Toh, publik di Paris yang penasaran berbondong-bondong menonton dan tercatat 875 ribu orang mengunjungi Desa Jawa.
Menurut Marieke Bloembergen, melalui Desa Jawa ini, Belanda kala itu ingin diperhitungkan dalam percaturan politik Eropa waktu itu. Maklum Belanda yang kecil itu tidak punya pengaruh di Eropa. Seberapapun luasnya jajahan saat itu tak mengubah tingkat pengaruhnya yang minim.
Advertisement