OPINI: Jangan Lupakan Pelajaran Mahal dari Timor Timur

Kata mantan Wamenlu RI Dino Patti Djalal soal isu Papua, dengan bercermin pada isu Timor Timur (Timor Leste).

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Agu 2019, 19:15 WIB
Diterbitkan 29 Agu 2019, 19:15 WIB
Dino Patti Djalal
Opini Dino Patti Djalal (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Artikel opini ini ditulis oleh Dr. Dino Patti Djalal, Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI).

Tepat 20 tahun lalu, tahun 1999, bangsa Indonesia mengalami peristiwa luar biasa: Provinsi Timor Timur (kini Timor Leste) lepas dari NKRI setelah jajak pendapat yang dilakukan oleh PBB.

Lepasnya Timor Timur juga dibarengi tragedi kemanusiaan yang ditandai kerusuhan, kekerasan, pembunuhan, pembakaran rumah dan gedung, dan ratusan ribu pengungsi.

Mungkin sulit dipercaya, sampai sekarang tidak ada satupun kajian komprehensif yang mengulas mengapa setelah sekian lama berintegrasi, sebagian besar rakyat Timor Timur akhirnya memilih untuk keluar dari NKRI.

Silahkan cek di TNI, Polri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, BIN, Lemhanas : tidak ada satupun lembaga negara yang pernah melakukan analisa "lessons learned" mengenai Timor Timur, baik secara individu maupun kolektif. Padahal ini merupakan pertama kalinya suatu provinsi berpisah dari NKRI.

Mengapa tidak ada kajian resmi?

Saya tidak tahu persis jawabannya, namun kemungkinan besar karena di kalangan Pemerintah dan aparat keamanan waktu itu ada perasaan kalah, malu dan trauma — terutama karena suasana pemisahan yang mencoreng kehormatan di dunia internasional.

Budaya politik kita cenderung berpaling muka dari hal-hal menyakitkan seperti ini.

Saya khawatir ada risiko bangsa kita akan mengalami amnesia sejarah yang tidak sehat dalam kehidupan bernegara.

Sebenarnya ada banyak pelajaran yang dapat kita petik dari episode integrasi dan jajak pendapat Timor Timur. Disini, saya pilihkan beberapa contoh untuk catatan kita bersama.

Pertama, di tahun 1999, kita terlalu tergesa-gesa melaksanakan jajak pendapat.

Kesepakatan untuk melakukan jajak pendapat ditandatangani di New York tanggal 5 Mei 1999, sedangkan jajak pendapat dilakukan tanggal 31 Agustus.

Memang, dari sisi kepentingan Indonesia, jadwal yang "dikebut" ini dimaksudkan untuk mengejar Sidang MPR di akhir tahun, yang diharapkan akan mengesahkan hasil jajak pendapat.

Namun akibatnya, praktis hanya ada waktu 4 bulan untuk mempersiapkan referendum yang begitu rumit, baik dari segi politik, keamanan, logistik dan lain-lain.

Dalam timeline sempit yang dipaksakan ini, polarisasi antar kelompok semakin tajam, konflik horizontal di lapangan semakin sengit dan situasi semakin panas

Akhirnya, banyak kalkulasi yang salah, yang berakhir dengan tragedi. Saya pribadi berpandangan jajak pendapat di Timor Timur perlu waktu persiapan paling tidak 2 tahun — bukan 4 bulan.

Simak pula video pilihan berikut:

Pembangunan Ekonomi Tidak Otomatis Loyalitas

Kerusuhan Pecah di Manokwari
Massa turun ke jalan dalam unjuk rasa yang berujung kerusuhan di kota Manokwari, Papua, Senin (19/8/2019). Aksi masyarakat Papua ini merupakan buntut dari kemarahan mereka atas peristiwa yang dialami mahasiswa asal Papua di Surabaya dan Malang, serta Semarang beberapa hari lalu. (STR / AFP)

Pelajaran kedua: pembangunan ekonomi ternyata tidak otomatis menghasilkan loyalitas politik.

Dulu, Timor Timur adalah "provinsi termuda" yang secara ekonomi paling dimanjakan. Anggaran pembangunan per kapita adalah yang tertinggi dibanding provinsi lain — dan bahkan konon menimbulkan kecemburuan provinsi-provinsi lain.

Pemerintah selalu membanggakan jalan, sekolah, beasiswa, gedung, dan segala fasilitas yang kita bangun, dan selalu membandingkannya dengan kondisi ekonomi Timor Timur di masa penjajahan Portugal.

Namun semua uang yang dikucurkan di Timor Timur selama 22 tahun tetap tidak merubah pilihan politik rakyat Timor Timur sewaktu referendum tahun 1999, dimana jumlah yang memilih lepas dari NKRI hampir 4 kali lebih banyak dari yang memilih otonomi dalam kerangka NKRI (78 persen dibanding 21 persen).

Mungkin pembangunan di Timor Timur tidak tepat sasaran, mungkin tidak merata, atau justru menimbulkan kesenjangan dan kecemburuan sosial, atau banyak korupsinya.

Apapun alasannya, kita waktu itu terlalu cepat puas dengan alibi ekonomi yang dampaknya ternyata sangat terbatas terhadap konflik politik yang semakin membara.

Memetik Pelajaran Mengenai Milisi

Banner Infografis Baku Tembak TNI Vs KKB Papua
Banner Infografis Baku Tembak TNI Vs KKB Papua. (Liputan6.com/Abdillah)

Kita juga perlu memetik pelajaran mengenai "milisi".

Saya teringat ucapan Xanana Gusmao kepada saya sewaktu di penjara Cipinang di awal tahun 1999 : pembentukan milisi pro-otonomi berbahaya bagi proses jajak pendapat. Dalam perkembangan selanjutnya, yang dikatakan Xanana Gusmao ternyata benar.

Walaupun tentunya banyak yang baik, milisi pro-otonomi banyak juga yang melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap rakyat Timor Timur dalam kampanye menjelang jajak pendapat.

Menjelang hari-H, posisi pro-otonomi semakin mengeras, banyak yang menyatakan lebih baik perang daripada berpisah dari NKRI. Akibatnya polarisasi semakin parah, dan kemudian meletus setelah hasil jajak pendapat dumumkan.

Saya yakin cukup banyak rakyat Timor Timur yang tadinya terbuka untuk menerima otonomi namun kemudian berbalik arah karena merasa tidak nyaman ditekan oleh milisi.

Disini, kita harus jujur mengakui bahwa kelompok pro-otonomi kalah bukan karena UNAMET (misi PBB yang menyelenggarakan jajak pendapat) "curang" namun karena strategi pemenangan yang keliru dan justru menimbulkan antipati.

Hak Asasi Manusia

Kita juga harus banyak belajar dari cara penanganan hak asasi manusia (human rights). Setelah berintegrasi, legitimasi Indonesia di Timor Timur masih dipertanyakan dunia internasional, sementara opini dunia banyak dipengaruhi oleh pemberitaan mengenai hak asasi manusia.

Di sini, kita harus jujur berintrospeksi. Sikap kita terhadap tuduhan pelanggaran hak asasi manusia cenderung defensif, tertutup dan kurang tegas atau setengah hati.

Seringkali, kasus pelanggaran hak manusia yang seharusnya selesai dengan cepat menjadi panjang karena selalu ada saja yang ditutupi dan kemudian ketahuan publik.

Yang paling nahas, jaminan keamanan yang diberikan Pemerintah Indonesia dalam perjanjian di PBB akhirnya gagal dipenuhi, sebagaimana tercermin dalam aksi keonaran dan bumi hangus yang mengakibatkan ratusan ribu pengungsi hengkang ke Atambua. Ini sungguh menghancurkan kredibilitas dan martabat Indonesia di dunia internasional.

Bahkan, ketika 3 staf PBB (UNHCR) yang tidak bersalah dibunuh dengan keji dan mayatnya dibakar di tengah kota Atambua, dunia nampak lebih marah dari Indonesia, bukan sebaliknya.

Saya masih teringat rasa malu (shame) yang luar biasa ketika Sidang PBB di New York dibuka dengan mengheningkan cipta untuk para staf PBB yag dibunuh kelompok milisi. Ini merupakan salah satu momen paling gelap dalam sejarah Indonesia.

Pelajarannya: dalam menangani hak manusia dalam suatu konflik politik, Pemerintah dan aparat harus tegas dan transparan menyikapi segala pelanggaran dari pihak manapun.

Persoalan 'Hubungan Masyarakat'

Kerusuhan Pecah di Manokwari
Massa turun ke jalan dalam unjuk rasa yang berujung kerusuhan di Manokwari, Papua, Senin (19/8/2019). Mereka membakar gedung DPR juga memblokade jalan dengan membakar ban sebagai buntut dari peristiwa yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, serta Semarang beberapa hari lalu. (STR / AFP)

Dalam bidang public relations, kita juga babak belur. Di dunia internasional, kita keteter dalam membentuk opini publik.

Narasi yang disampaikan diplomat kita terkesan kaku, kurang persuasif dan penuh statistik ekonomi yang hambar.

Di lain pihak, pemenang Nobel Perdamaian Jose Ramos Horta dan koleganya mampu memberikan narasi yang kreatif (walaupun kadang fiktif) dan manusiawi, dan menciptakan persepsi bahwa Indonesia menduduki Timor Timur, melakukan penindasan dan pelanggaran HAM.

Upaya kounter-narasi oleh tokoh Timor Timur yang pro-integrasi juga tidak nendang. Pelajarannya : komunikasi publik yang relatif buruk menjadi blind spot yang akhirnya merugikan posisi Indonesia.

Tentunya banyak lagi pelajaran dari era Timor Timur, berkaitan dengan politik identitas, diplomasi, strategi militer, politik lokal, budaya, pemuda, pendidikan, penanganan wartawan dan LSM asing, dan banyak lagi.

Yang penting, pelajaran-pelajaran ini jangan hanya dijadikan bahan omongan informal, namun perlu diteliti dan digali secara sistemis agar menjadi bagian dari institutional memory Pemerintah — dan di diajarkan di Pusdiklat Lembaga2 Pemerintah dan juga Lemhanas.

Sayang sekali kalau pelajaran yang mahal ini justru dimanfaatkan orang lain dan dilupakan bangsa sendiri.

 

Dr. Dino Patti Djalal, Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia, mantan Wakil Menteri Luar Negeri RI, dan mantan Juru Bicara Pemerintah RI sewaktu jajak pendapat di Timor Timur.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya