Curhat Korban Pinjaman Online China: Utang Rp 600 Ribu Jadi Rp 200 Juta

Kejamnya dunia pinjaman online di China.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 15 Des 2019, 20:33 WIB
Diterbitkan 15 Des 2019, 20:33 WIB
Ilustrasi mata uang yuan (iStock)
Ilustrasi mata uang yuan (iStock)

Liputan6.com, Beijing - Kisah seramnya pinjam online (pinjol) di China kembali terkuak. Tak hanya sebatas kasus tekanan psikologis, ada pula kasus nasabah yang utangnya meroket sampai miliaran rupiah, padahal awalnya ia hanya meminjam sedikit saja.

Dilaporkan AFP, Minggu (15/12/2019), nasabah bernama Peng Jiezhao mencoba-coba pinjol China untuk memuaskan hasratnya untuk beli smartphone dan sneaker baru. Awalnya, ia hanya mencoba meminjam 300 yuan atau Rp 601 ribu (1 yuan = Rp 2.004) secara online.

Tak disangka ia malah terperosok ke dalam lubang pinjol. Ia pun malah meminjam ke berbagai penyedia layanan pinjol hingga 20 peminjam.

Kini, Wang yang bekerja sebagai insinyur di perusahaan komunikasi harus menanggung utang sebesar 100 ribu yuan atau Rp 200 juta. Ia berkata segala gajinya habis untung bayar utang pinjol tak tak ada habisnya.

"Tak peduli berapa banyak uang yang saya hasilkan, saya tak punya sisa untuk saya sendiri dan menggunakan hampir seluruhnya untuk membayar utang," ujar Peng.

Pasar pinjol di China berkembang sejak 2012 berkat banyaknya nasabah muda yang lihat memakai teknologi. Sayangnya, justru banyak penipuan yang terjadi karena pengawasan lemah pemerintah.

Mulai dari 2017, pemerintah mulai meluncurkan kampanye bersih-bersih dari praktik shadow banking alias perbankan yang tidak diregulasi. Pinjol alias peer-to-peer lending (P2) menjadi penyebab utama kejadian ini.

Pada Agustus 2018, South China Morning Post melaporkan ada ratusan orang yang rugi akibat pinjol datang ke ibu kota Beijing untuk protes. Polisi pun turun ke jalan untuk memulangkan pengunjuk rasa.

Pemerintah China pun memangkas habis ribuan layanan pinjol. Kini, hanya ada 1.490 layanan pinjol di China dari sebelumnya ada sekitar 5.000 layanan.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Korban Trauma

pasangan
ilustrasi keuangan/.copyright Rawpixel

Para korban pinjol di China banyak yang curhat di internet. Seorang wanita berusia 22 tahun sampai nyaris bunuh diri karena utang pinjolnya mencapai Rp 400 juta. Ia tak memberikan identitaasnya ke AFP karena takut dilacak lintah darat.

Penyebab utang wanita muda itu adalah untuk membayar sewa tempat tinggal dan berbelanja. Kini, wanita itu berkata kejadian yang menimpanya menjadi motivasi untuk terus berusaha.

Ada korban yang berhasil membayar utangnya berkat bantuan dari orang tua. Korban yang bernama Chen Baihua (25) itu mengaku trauma dari pinjol karena credit rating-nya menjadi buruk sehingga menyulitkannya meminjam uang untuk membeli rumah atau mobil.

Kini, Chen memilih melanjutkan bisnis electronic chip keluarganya. Ia pun tidak bisa terus mengandalkan orang tuanya.

"Orang tua saya bilang mereka hanya akan membantu saya sekali ini. Jika terjadi lagi, mereka tak akan khawatir apakah saya hidup atau mati," ucapnya seraya memperingatkan bahaya kemudahan pinjol.

Peringatan OJK

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso saat menggelar jumpa pers tutup tahun 2018 di Gedung OJK, Jakarta, Rabu (19/12). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia telah memperingatkan risiko praktik pinjol. Namun yang salah bukan hanya di pihak aplikator, peminjam yang ceroboh dan tak tahu diri pun kerap merugikan diri mereka sendiri.

Ini dia ungkapkan saat menjadi salah satu pembicara utama pada Indonesia Fintech Summit & Expo 2019 pada September lalu di JCC, Jakarta. Wimboh berbagi panggung bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.

"Etika tidak hanya untuk provider fintech saja, tetapi juga untuk peminjam. Saya ada beberapa bukti, ada pelanggan yang mengajukan pinjaman sebanyak 20 kali dalam satu malam kepada provider berbeda. Kok bisa?" tutur Wimboh.

Wimboh mengingatkan agar para peminjam sadar diri terkait kemampuan membayar mereka. Selain itu, edukasi dan tingkat membaca juga harus ditingkatkan agar borrower dan lender punya pemahaman yang sama soal produk P2P lending.

Dia pun mengaku telah meminta asosiasi fintech untuk membuat kode etik yang berfungsi melindungi konsumer. Ini karena di masyarakat, sempat muncul kekhawatiran jika beberapa P2P lending menetapkan bunga teramat tinggi.

Aplikasi fintech pun bisa diprogram mengetahui kontak pada telepon seluler milik peminjam. Hal ini sempat memunculkan masalah karena peminjam mendapatkan tekanan jika tak mampu membayar.

"Sebetulnya kami meminta asosiasi untuk mengidentifikasi siapa saya anggota yang menyediakan jasa fintech dan membuat kode etik. Tujuannya adalah untuk melindungi konsumen," ujar Wimboh.

Ia pun berkata OJK akan menjalankan mandat hukum agar terus melindungi konsumen. Pada saat yang sama, OJK memastikan agar borrower dan lender di P2P lending bisa beraktivitas sesuai market conduct. Wimboh juga berharap akses ekonomi digital ini bisa turut menjangkau ke wilayah perkampungan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya