Jakarta - Ntoya Sande baru berusia 13 tahun ketika dia dipaksa menikah. "Saya dipaksa untuk menikah karena di rumah kami kekurangan makanan," katanya.
Orang tua Ntoya Sande tadinya punya sebidang tanah kecil, tetapi banjir menyapu bersih panen mereka. "Saya coba menawar, memberi tahu orangtua bahwa saya belum siap, bahwa saya tidak ingin menikah, tetapi mereka mengatakan bahwa saya harus melakukannya karena itu artinya berkurang satu mulut yang harus diberi makan."
Sande tinggal di Provinsi Nsanje, Malawi. Kisahnya hanyalah satu dari ribuan kasus serupa yang disorot dalam penelitian terbaru oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Advertisement
Baca Juga
Melansir dari DW Indonesia, Rabu (26/2/2020), laporan yang disusun selama dua tahun ini adalah studi terbesar dan terlengkap yang ada saat ini tentang dampak perubahan iklim dan degradasi lingkungan terhadap kekerasan berbasis gender.
"Studi ini menunjukkan bahwa kerusakan alam akibat ulah manusia juga dapat memicu kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Ini adalah relasi yang sejauh ini sering diabaikan," kata Grethel Aguilar, plt. Direktur Jenderal IUCN.
"Studi ini menunjukkan pentingnya upaya menghentikan degradasi lingkungan bersamaan dengan tindakan untuk menghentikan kekerasan berbasis gender dalam semua bentuk, dan menunjukkan bahwa kedua masalah tersebut perlu ditangani bersamaan."
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Anak Perempuan Ditukar Hewan Ternak
Malawi bukan satu-satunya tempat di mana anak di bawah umur dipaksa menikah untuk membantu keluarga yang terhimpit bencana iklim. Menurut penelitian tersebut, ketika terjadi musim panas esktrem, anak-anak perempuan di Etiopia dan Sudan Selatan juga dijual untuk dinikahkan dengan imbalan hewan ternak.
Juliane Schmucker, Direktur Regional Asia sebuah organisasi kemanusiaan Plan International, mengatakan kasus pernikahan anak dan pernikahan paksa cenderung meningkat dalam situasi krisis. "Ini hanyalah strategi bertahan hidup: menyingkirkan seorang anak perempuan guna mengurangi tekanan (ekonomi) keluarga, atau itu satu-satunya cara untuk menghasilkan pemasukan," katanya kepada DW.
Semakin langkanya sumber daya air juga tingkatkan risiko perempuan dan anak perempuan menjadi korban kekerasan. Dengan meningkatnya frekuensi kekeringan dan meluasnya permukaan gurun di belahan bumi bagian selatan, berarti semakin banyak pula sumber air dan sumur yang mengering.
Sementara mengumpulkan air acap kali jadi pekerjaan perempuan. Jika mereka terpaksa berjalan lebih jauh untuk mendapatkan air, risiko serangan seksual juga meningkat, terutama di daerah-daerah yang rawan kejahatan geng bersenjata.
Risiko yang sama berlaku juga ketika mengumpulkan kayu bakar, kata Dirk Bathe, juru bicara organisasi bantuan internasional, World Vision. "Itu sebabnya kami membangun sumur di desa-desa, atau di dekatnya, dan mencoba upaya reboisasi dengan menanam pohon di dekat pemukiman," katanya kepada DW. Selain langkah tersebut, organisasi ini juga menyerukan perubahan peran gender tradisional.
Advertisement
Beli Ikan dengan Uang dan Seks
Perempuan yang tinggal di wilayah pantai dan danau di Afrika juga menderita karena ikan semakin langka. Para nelayan yang menjual ikan kini tidak hanya meminta bayaran uang, mereka juga menuntut seks. Menurut penelitian IUCN, praktik ini sekarang sangat umum di Kenya Barat sehingga memiliki nama tersendiri: sistem Jaboya.
World Vision mencoba mengurangi bentuk eksploitasi seksual ini, khususnya di wilayah Afrika Timur di sekitar Danau Victoria. Di sana, perempuan diberi kesempatan untuk membiakkan ikan di kolam. "Dengan cara ini, mereka sekarang dapat mendirikan bisnis sendiri dan menjual ikan tanpa harus terlibat dalam situasi penuh kekerasan," kata Bathe.
World Vision dan Plan International juga mengonfirmasi hal lain dari penelitian ini: Di tempat-tempat di mana perempuan bertanggung jawab atas pertanian, bencana alam atau peristiwa cuaca ekstrem dapat berdampak dramatis terhadap status sosial dan keluarga mereka.
Jika panen terancam atau rusak sama sekali, ini dapat menyebabkan kekerasan yang seringnya berasal dari keluarga mereka sendiri. "Diversifikasi sumber pendapatan adalah cara paling penting untuk melindungi perempuan," kata Schmucker. "Jika kami membantu perempuan beradaptasi terhadap perubahan iklim dan meningkatkan pendapatan mereka, semua orang diuntungkan - termasuk anak-anak dan para lelaki," kata Bathe.
Peran Sosial Tradisional Berujung Maut
Perempuan dan anak perempuan dapat menjadi sangat menderita ketika terjadi cuaca ekstrem dan selama bencana alam, utamanya di dalam masyarakat yang mendikte dan melarang perilaku tertentu, seperti berada di tempat umum sendirian.
Di Bangladesh, perempuan juga lebih mungkin meninggal akibat banjir, kata Gotelind Alber dari jaringan kesetaraan gender, Women for Climate Justice. Hal ini karena mereka jarang pergi dan mencari perlindungan ke tempat-tempat penampungan darurat.
"Tempat pengungsian ini sangat padat, dan bagi seorang perempuan Bangladesh, tidak pantas berdiri di sana berhadapan dengan pria, atau menggunakan toilet yang sama," katanya. "Itu sebabnya kebanyakan perempuan lebih memilih untuk bertahan di gubuk mereka, yang sayangnya sering hanyut tersapu banjir."
Tetapi laki-laki juga bisa mati karena peran sosial tradisional ini, lanjut Alber. "Di Australia, laki-laki jauh lebih mungkin melakukan bunuh diri daripada perempuan jika kehilangan lahan atau pekerjaan," katanya. "Dalam situasi kritis, laki-laki menerima bantuan yang jauh lebih sedikit daripada perempuan, utamanya karena pandangan tradisional tentang maskulinitas."
Menurut penelitian IUCN, ancaman dan kekerasan seksual seperti pemerkosaan juga sering dipakai untuk mengancam aktivis lingkungan guna melemahkan status mereka di tengah masyarakat, dan untuk mencegah perempuan lain ikut berjuang melestarikan lingkungan seperti menolak pembangunan tambang atau bendungan baru.
Advertisement