Liputan6.com, Jakarta - Sudah 30 tahun Perang Dingin berakhir. Meski pertempuran masih terjadi di sana-sini, penduduk Bumi menikmati masa damai yang panjang. Relatif tak ada ancaman global, hingga COVID-19 datang.
Berdasarkan data Federation of American Scientists, hingga Mei 2021, jumlah senjata nuklir di dunia menurun signifikan sejak Perang Dingin, dari sekitar sekitar 70.300 pada tahun 1986 menjadi sekitar 13.100 pada awal 2021.
Baca Juga
Sejumlah negara tercatat memiliki senjata nuklir pemusnah massal ini: Rusia, Amerika Serikat, Prancis, China, Inggris, Israel, Pakistan, India, juga Korea Utara. Untungnya belum ada yang nekat meluncurkannya untuk membunuh banyak manusia. Paling buat pamer atau menebar ancaman, seperti yang dilakukan Korut.
Advertisement
Dalam sejarah manusia, baru ada dua senjata nuklir yang digunakan dalam perang, yang pertama dan terakhir kalinya, yakni bom atom 'Little Boy' dan 'Fat Boy' yang dijatuhkan ke Hiroshima serta Nagasaki, Jepang di penghujung Perang Dunia II.
Namun, tak banyak yang tahu, Perang Dunia III nyaris pecah di tengah Perang Dingin. Namun, itu tak sampai terjadi berkat dua orang. Ini kisah mereka:
1. Stanislav Petrov
Nama Stanislav Petrov akan dikenang sebagai orang yang menyelamatkan dunia dari ancaman perang nuklir yang bisa menewaskan ribuan bahkan jutaan nyawa. Dan itu dilakukannya secara tak sengaja.
Pada 26 September 1983 subuh, alarm sistem peringatan dini milik Uni Soviet tiba-tiba meraung-raung.
Tampilan data di komputer menunjukkan, sejumlah rudal diluncurkan. Diduga kuat dari pihak musuh, Amerika Serikat Cs.
Itu jelas ancaman besar. Sesuai protokol, Uni Soviet pasti membalasnya dengan serangan nulkir. Paling tidak, siap-siap melancarkan serangan balik.
Stanislav Petrov sedang tugas jaga kala itu. Bukannya panik, ia memutuskan untuk tak melapor ke atasan. Ia menganggapnya sebagai alarm palsu (false alarm).
Jelas itu, pelanggaran tugas. Ia digaji untuk mendata dan mendeteksi peluncuran rudal lawan dan melaporkan ke para petinggi militer dan politik. Namun, tak disangka, keputusannya mungkin telah menyelamatkan dunia.
Petrov menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kala itu. "Sirine meraung-raung, aku duduk terdiam di sana selama beberapa detik, menatap layar yang terang dengan sinar merah. Ada kata 'peluncuran' di sana," kata dia seperti dikutip dari BBC.
Warna merah jadi indikasi, itu level peringatan tertinggi. AS telah meluncurkan rudal. Semenit kemudian sirine kembali berbunyi, artinya rudal kedua telah diluncurkan. Lalu yang ketiga, keempat, dan kelima. Komputer mengganti peringatan dari 'peluncuran' menjadi 'serangan rudal'."
"Tak ada aturan pasti tentang berapa lama kami diizinkan berpikir sebelum melapor. Kami tahu bahwa setiap detik penundaan akan mengurangi waktu yang berharga," kata dia. Para petinggi militer Uni Soviet dan pemimpin politik harus diberi tahu segera.
"Yang harus kulakukan saat itu adalah menggapai telepon, menekan nomor sambungan langsung ke komandan. Tapi, aku sama sekali tak bisa bergerak. Aku seperti duduk di atas wajan penggorengan yang panas," kata Petrov.
Kala itu, hatinya diliputi keraguan. Dan itu ada alasannya.
Apalagi, selain ahli teknologi informasi (IT) seperti dia, Uni Soviet punya ahli lain yang bertugas mengawasi kekuatan misil AS. Sejumlah operator radar satelit mengatakan kepadanya, tak ada rudal yang terdata dalam sistem mereka.
Namun, orang-orang tersebut hanya bersifat pendukung. Sementara protokol dengan jelas menyebut, keputusan didasarkan apa yang tertera di layar komputer.
Petrov merasa curiga terhadap betapa kuat dan jelasnya peringatan kala itu. "Ada 28 atau 29 level keamanan. Setelah target diidentifikasi, ia harus melewati sejumlah 'checkpoint'. Saat itu aku tak yakin peringatan bisa sekuat itu."
Ini yang kemudian ia lakukan. Petrov lalu menghubungi petugas jaga di markas militer Uni Soviet dan melaporkan telah terjadi kesalahan sistem. Seandainya saja perkiraannya salah, ledakan nuklir pertama bisa terjadi beberapa menit kemudian.
Untung yang terjadi sebaliknya. "Selama 23 menit kemudian aku menyadari tak ada apapun yang terjadi. Jika memang serangan itu nyata, aku pasti mengetahuinya. Bagiku, itu sangat melegakan," kata dia.
Petrov menceritakan, dia satu-satunya dalam tim yang menerima pendidikan sipil. "Semua kolegaku adalah tentara profesional yang diajarkan untuk memberi dan mematuhi perintah."
Seandainya saja satu di antara para koleganya yang berjaga malam itu, keadaannya mungkin jauh berbeda. Perang nuklir tak bisa dielak.
Petrov mengakui, ia mendapat teguran atas keputusannya malam itu. Bukan tentang apa yang ia perbuat, melainkan terkait pelanggaran administrasi.
Setelahnya, apa yang dilakukannya dirahasiakan rapat-rapat. Khawatir mencoreng muka negaranya. Baru setelah Uni Soviet bubar, kisah Petrov bocor ke pers. Ia pun diganjar banyak penghargaan internasional.
Namun, Petrov tak pernah merasa dirinya pahlawan. "Itu adalah tugasku," kata dia. "Hanya kebetulan, dan untungnya, aku yang bertugas malam itu."
Advertisement
2. Vasili Arkhipov
Krisis Rudal Kuba pada 12-28 Oktober 1962 memunculkan pahlawan. Namanya Vasili Arkhipov.
Pada 27 Oktober 1962, sebuah pesawat mata-mata milik Amerika Serikat ditembak jatuh di Kuba, sementara U2 lain justru tersesat dan menyimpang ke wilayah udara Uni Soviet.
Drama penuh ketegangan itu bergeser ke titik gawat kala kapal perusak AS, USS Beale kemudian mulai menyisir lautan, mencari keberadaan kapal-kapal selam Moskow. B-59, kapal selam Uni Soviet, menjadi salah satu target buruan AS. Kala itu, pihak Amerika tak tahu, B-59 dipersenjatai dengan senjata nuklir.
Ada 22 torpedo yang diangkut di dalamnya, salah satunya adalah bom nuklir yang bisa menimbulkan kehancuran, lebih parah dari yang dialami Hiroshima dan Nagasaki.
Para kapten kapal selam diberi izin untuk meluncurkan torpedo nuklir, asalkan mendapat izin dari pejabat politik yang ditugaskan di sana.
Sementara itu, Kapten B-59, Valentin Savitsky tak tahu bahwa berondongan yang diluncurkan AS adalah aksi non-mematikan yang ditujukan sebagai tembakan peringatan untuk memaksa kapalnya menyembul ke permukaan.
USS Beale, dengan kapal perusak lain berusaha memancing keluar bahtera itu menggunakan amunisi. Semua orang dalam kapal selam dalam kondisi lelah setelah sebulan melaut. Makanan dan air terbatas, belum lagi hawa panas yang bukan kepalang.
Savitsky yang dalam kondisi kelelahan berasumsi, kapal selamnya dijadikan target. Ia bahkan menyangka, Perang Dunia III telah pecah. Karena komunikasi terputus, mereka tak tahu apa yang terjadi di dunia luar.
Maka, torpedo nuklir berkekuatan 10 kiloton yang ada di B-59 disiapkan untuk diluncurkan. Targetnya adalah USS Randolf, kapal induk raksasa yang memimpin gugus tugas AS.
Seandainya torpedo dari B-59 diluncurkan ke Randolf, awan nuklir niscaya akan menyebar dari laut ke daratan. Sejumlah titik akan jadi sasaran saling balas: Moskow, London, pangkalan udara di East Anglia dan konsentarasi pasukan di Jerman. Gelombang bom atom berikutnya akan mengincar 'target-target ekonomi'.
Sementara, Single Integrated Operational Plan (SIOP) atau skenario 'kiamat' milik Pentagon pastinya bakal meluncurkan 5.500 senjata nuklir ke ribuan target, termasuk ke negara-negara yang kala itu masuk kategori 'non-agresif' seperti China dan Albania.
Apa yang akan terjadi ke AS sendiri tidak pasti kala itu. Alasan bahwa Nikita Khrushchev mengirim rudal ke Kuba adalah karena Uni Soviet tidak memiliki ICBM atau rudal jarak jauh yang bisa mencapai AS.
Bisa jadi Negeri Paman Sam akan mengalami kehancuran yang lebih sedikit daripada yang dialami Inggris dan Eropa Barat.
Keputusan untuk tidak memulai perang dunia ketiga tidak diambil di Kremlin atau Gedung Putih, tapi di ruang kontrol kapal selam. Peluncuran torpedo nuklir B-59 memerlukan persetujuan dari ketiga perwira senior kapal. Vasili Arkhipov satu-satunya yang menolak.
Seandainya ia tak ada saat itu, perang nuklir niscaya pecah.
Arkhipov agar bersikukuh kapalnya menyembul ke permukaan dan mengontak Moskow untuk meminta nasihat. Argumen panas lantas terjadi, namun akhirnya mereka setuju B-59 muncul ke permukaan. Apalagi masalah teknis terjadi kala itu.
Dari sisi Rusia, tindakan itu dianggap 'pengecut'. Keputusan Vasili Arkhipov dianggap tindakan menyerah. Namun, bagi istrinya, Olga, Vasili Arkhipov adalah pahlawan.
"Seorang pria yang mencegah terjadinya perang nuklir adalah awak kapal selam Rusia. Namanya adalah Vasili Arkhipov. Aku bangga pada suamiku," kata dia.