Liputan6.com, Ho Chi Minh City - Sebanyak sembilan ABK Indonesia yang terjebak di Vietnam berhasil dipulangkan. Mereka telah terjebak di perairan Vietnam selama delapan bulan akibat masalah cuaca dan kerusakan.Â
Menurut informasi Kemlu RI, Minggu (19/6/2022), pihak Kemlu RI bersama dengan Perwakilan RI di Vietnam kembali berhasil memfasilitasi kepulangan enam orang ABK dari kapal MJSS pada 17 Juni 2022. Ini merupakan repatriasi tahap ke-2 setelah sebelumnya pada 14 Mei 2022 telah dilakukan repatriasi tiga orang ABK. Totalnya ada 9 ABK semua telah kembali ke tanah air setelah tertahan di kapal selama kurang lebih delapan bulan.
Advertisement
Baca Juga
Para ABK tertahan di perairan Vietnam bagian Selatan sejak November 2021 akibat force majeure berupa yang menyebabkan insiden kerusakan fasilitas tiang pancang pembangkit listrik dan jaring nelayan Vietnam karena tertabrak tongkang dari kapal MJSS.
Selama tertahan kurang lebih 8 bulan di perairan Vietnam, Kapten dan seluruh ABK di kapal berbendera Indonesia tersebut telah mengikuti semua aturan dan ketentuan yang diberlakukan oleh otoritas setempat.
KJRI Ho Chi Minh City dengan dukungan otoritas setempat telah beberapa kali mengunjungi kapal untuk membawakan bahan logistik makanan dan kebutuhan lainnya, termasuk mendatangkan dokter.
Selanjutnya, Perwakilan RI di Vietnam akan berupaya untuk mendorong percepatan penanganan kasus permintaan ganti rugi yang dihadapi kapal MJSS dimaksud sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Di sela-sela proses pemulangan ABK, KJRI HCMC juga berupaya memberikan edukasi kepada para ABK WNI untuk senantiasa mengedepankan unsur kehati-hatian dalam menerima pekerjaan mengingat saat ini marak bermunculan penipuan lowongan pekerjaan di luar negeri.​
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Masalah Sertifikat ABK
Beralih ke isu ABK di dalam negeri, mayoritas ABK atau awak kapal perikanan yang bekerja di kapal ikan dalam negeri belum memiliki sertifikat yang menjadi prasayarat bekerja di laut dan kapal ikan.
Destructive Fishing Watch (DFW) menilai, hal ini sungguh ironis karena akan berdampak pada aspek keselamatan dan kesejahteraan awak kapal perikanan.
Otoritas terkait yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) perlu melakukan koordinasi, pengawasan bersama atau inspeksi, dan memberikan sanksi kepada pemilik kapal dan perusahaan yang mempekerjakan awak kapal perikanan yang tidak memiliki sertifikat.
Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan mengatakan, hasil kajian yang dilakukan pihaknya di Pelabuhan Perikanan Samudera Muara Baru Jakarta menemukan rendahnya tingkat kepemilikan sertifikat dasar ABK.
"Sebagian besar atau 94 persen awak kapal perikanan yang kami survey tidak memiliki sertifikat dasar sebagai ABK kapal ikan," kata Abdi, Rabu (1/6/2022). Sertifikat yang dimaksud adalah Sertifikat Keselamatan Dasar Perikanan atau BST-Fisheries.
Kondisi ini tidak sesuai dengan ketentuan PP 27/2021 tentang Penyelenggaran Bidang Kelautan dan Permen KP Nomor 33/2021 tentang Tata Kelola Pengawakan Kapal Perikanan.
"Ketentuan pasal 118, Permen KP No 33/2021 menyebutkan AKP yang bekerja di kapal ikan ukuran 30-300 GT wajib memiliki BST-F," ujar Abdi.
Advertisement
Pemahaman Sertifikasi
Survei ini juga menemukan bahwa 27 persen ABK tidak mengetahui manfaat sertifikasi. "Padahal sertfikasi ini penting sebagai bukti eksistensi mereka sebagai awak kapal perikanan," imbuhnya.
Selain itu, ia juga menyoroti tidak sinkronnya kebijakan sertifikat kepelautan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perhubungan.
"Untuk memperoleh sertifikat Keselamatan Dasar, ABK bisa mengikuti program pada dua kementerian namun standar biaya yang berbeda dan tidak sama antara KKP dan Kemenhub," bebernya.Â
Tak hanya itu, ada program sertifikat ABK gratis oleh Kemenhub dalam rangka pemberdayaan masyarakat. "Akhirnya semacam ada persaingan antara KKP dan Kemenhub dalam program sertifikasi ABK," ungkap Abdi.
Peneliti DFW Indonesia, Imam Trihatmadja mencermati risiko kerja akibat ABK yang belum bersertifikasi. Menurut data Organisasi Buruh Internasional, setidaknya 24.000 orang meninggal dan 24 juta orang terluka setiap tahun di kapal penangkap ikan komersial.
"Di Indonesia setiap tahun kurang lebih 100 orang nelayan dan ABK yang mengalami kecelakaan kerja ketika melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut," tutur Imam.
Empat ABK Kapal Zidane Express Ditemukan Selamat Mengapung di Laut
Terkait insiden ABK di dalam negeri, empat awak kapal Zidane Express yang hilang sejak 27 Mei berhasil ditemukan dalam kondisi selamat. Mereka bertahan di tengah laut dengan menaiki boks ikan styrofoam yang disusun menyerupai sampan.
Sementara kapal Zidane Express yang sebelumnya ditumpangi mereka sudah lenyap. Diduga kapal itu telah karam.
Mereka berempat yakni Ali Sabibi Juragan Kapal Zidan Express dan Rusiyadi, Muhammad Ajim, Ansori sebagai anak buah kapal (ABK).
Koordinator Pos SAR Banyuwangi Wahyu Setya Budi mengatakan, korban ditemukan oleh nelayan yang saat itu juga ikut dalam proses pencarian, Senin (30/5/2022) sekitar pukul 16.30 WIB. Korban ditemukan terapung di titik koordinat 7°39'6.39"S 115° 3'59.35" E.
"Ditemukan selamat kurang lebih sekitar 63 mil dari Pantai Boom Banyuwangi dan 61 Mil dari Pelabuhan Sapeken Madura," kata Wahyu, Senin (31/5).
Korban dievakuasi menuju Pelabuhan Sapeken. Korban juga langsung dibawa ke layanan kesehatan di Pulau Sapeken.
Advertisement