Liputan6.com, Seoul - 154 orang, termasuk 26 orang asing, tewas dan 149 lainnya terluka dalam kerumunan massa dalam perayaan Halloween di lingkungan Itaewon, Seoul.
Dilansir World KBS, Senin (31/10/2022), kementerian pendidikan mengumumkan bahwa lima siswa sekolah menengah dan satu siswa sekolah menengah dari Seoul termasuk di antara korban jiwa, bersama dengan tiga guru - masing-masing dari Seoul, Provinsi Gyeonggi dan Ulsan.
Baca Juga
Dari mereka yang terluka, sekitar 30 dilaporkan dalam kondisi kritis, sehingga berpotensi meningkatkan angka kematian.
Advertisement
Kim Sung-ho, wakil menteri dalam negeri untuk manajemen bencana dan keselamatan, mengatakan pemerintah akan menawarkan hingga 15 juta won (Rp 163, 9 juta) untuk biaya pemakaman dan dukungan lainnya.
Biaya pengobatan bagi mereka yang terluka akan ditanggung melalui asuransi kesehatan nasional, dan mereka yang dalam kondisi kritis juga akan dibantu oleh pejabat pemerintah.
Sementara itu, polisi dan ahli forensik memulai pemeriksaan bersama di lokasi kejadian pada Senin sore.
Penyelidik, yang sedang dalam proses menganalisis rekaman kamera pengintai dari daerah tersebut dan konten media sosial terkait, berencana untuk menentukan apa yang menyebabkan kerusuhan dan apa yang membuat orang sulit keluar.
Polisi juga akan memeriksa apakah pemerintah kota Seoul dan Distrik Yongsan telah memenuhi kewajiban mereka untuk mengambil tindakan pencegahan keamanan yang diperlukan sebelum pertemuan massal orang-orang yang diharapkan untuk perayaan Halloween.
Kemungkinan Penyebab
Penyebab utama sebagian besar kematian karena insiden kerumunan adalah orang yang mati karena kehabisan nafas.
"Saat seseorang berusaha untuk bangun, lengan dan kakinya terpelintir. Pasokan darah mulai berkurang ke otak," kata G. Keith Still, seorang profesor tamu di Universitas Suffolk Inggris, kepada NPR.
"Butuh waktu 30 detik sebelum Anda kehilangan kesadaran, dan enam menit Anda dapat mengalami asfiksia. Itu umumnya penyebab kematian dalam kerumunan. Biasanya, disebut mati lemas," ujar Still.
Jika ditinjau dari segi fisika, dalam suatu kerumunan, manusia dapat dianggap sebagai molekul. Jika molekul tersebut bergerak ke satu arah dengan laju tertentu, maka molekul itu akan mengisi sudut-sudut ruang.
Dalam kerumunan model tersebut, setiap orang (molekul) dapat bergerak bebas jika kerapatannya normal. Namun, saat kerapatannya meningkat, tiap molekul akan saling bersentuhan dan gerak menjadi terbatas.
Marufin Sudibyo, seorang komunikator sains, menjelaskan jika gerak tiap molekul terbatas, kerumunan sudah menyerupai perilaku fluida. Jika itu terjadi, arah dan laju gerak kerumunan dikendalikan perilaku kawanannya. Gerak bebas juga hilang.
Pada titik tersebut, tekanan antar-molekul meningkat dan desak-desakan yang berujung human crush terjadi.
Pada tekanan tersebut, paru-paru setiap orang di kerumunan tidak bisa lagi mengembang untuk menyedot udara. Walaupun ia memiliki fisik yang sehat.
Tanpa bisa menyedot udara, pasokan oksigen terhenti, karbondioksida tak bisa dikeluarkan. Orang-orang pingsan dan tewas.
Biasanya, orang-orang yang mati karena hal itu memiliki tanda-tanda gelap keunguan di beberapa bagian tubuhnya.
Advertisement
Pengalaman Korban Selamat
Para korban yang selamat dari kejadian tersebut menceritakan kisah mereka terdorong, terengah-engah, tidak bisa mengeluarkan diri, terjebak, hingga terjepit.
“Para korban yang selamat menjelaskan bahwa secara bertahap, mereka tertekan. Mereka tidak dapat bergerak, kepala mereka terkunci di antara lengan dan bahu dan panik,” menurut laporan setelah adanya penindasan manusia pada 1989 di stadion Hillsborough, Inggris yang menyebabkan kematian hampir 100 penggemar Liverpool.
Mereka juga diketahui sadar bahwa mereka dan orang-orang sekitarnya sedang sekarat. Tapi, mereka tak berdaya untuk menyelamatkan diri.
"Saya pikir saya sekarat," kata seorang wanita dalam postingan di Twitter.
"Seluruh tubuh saya terjebak di antara orang lain, sementara orang-orang tertawa dari teras dan merekam kami. Saya pikir saya akan benar-benar mati jika saya berteriak. Saya mengulurkan tangan saya ke (orang lain) yang berada di atas saya dan saya berhasil keluar."
Seorang wanita tak dikenal berusia 20-an menangis saat dia menggambarkan pemandangan itu kepada kantor berita Yonhap: "Itu tampak seperti kuburan orang-orang yang saling bertumpuk. Beberapa dari mereka perlahan-lahan kehilangan kesadaran dan yang lainnya tampaknya sudah meninggal."
Tragedi Kerumunan
Setelah pandemi mereda, stadion-stadion kembali terisi penuh. Acara-acara yang sempat berhenti saat pandemi kembali hadir. Mall yang sempat kosong kembali sesak. Tempat-tempat strategis untuk berbagai perayaan kembali penuh.
Bahkan, orang-orang lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah karena selama pandemi mereka tidak bisa kemana-mana. Hal ini mengisyaratkan bahwa bahaya kembali muncul.
“Begitu jumlah kerumunan bertambah atau Anda menambahkan banyak orang ke kerumunan, akan selalu ada risiko,” kata Steve Allen dari Crowd Safety, sebuah konsultan di Inggris yang terlibat dalam acara-acara besar di seluruh dunia, kepada AP, 2021 lalu.
Hal ini menunjukkan, harus adanya mitigasi dan antisipasi di tempat-tempat yang rawan kerumunan.
Risiko kerumunan terus bertambah seiring meratanya penyebaran vaksin, dibukanya kembali tempat-tempat wisata, dan kembalinya berbagai perayaan seperti Halloween yang telah lama ditiadakan.
Apa yang terjadi di Itaewon juga Kanjuruhan baru-baru ini dapat menjadi pelajaran bagi setiap pihak di berbagai negara. Satu yang paling penting adalah untuk memastikan bahwa kepadatan kerumunan tidak melebihi pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah. Termasuk, setiap orang harus memiliki ruang yang cukup untuk bergerak.
Advertisement