Liputan6.com, Teheran - Putri mantan presiden Iran Akbar Hashemi Rafsanjani telah dijatuhi hukuman lima tahun penjara, kata pengacaranya Selasa 10 Januari 2023.
"Putusan terhadap Faezeh Hashemi, seorang aktivis Iran yang terkenal, belum final," kata pengacara, Neda Shams, dalam sebuah twit seperti dikutip dari CNN, Rabu (11/1/2023).
Baca Juga
"Klien masih di penjara dan ada kasus lain yang menimpanya," tambah Shams.
Advertisement
Hashemi tahun lalu didakwa oleh jaksa penuntut umum Teheran atas tuduhan "propaganda melawan sistem," kata kantor berita ISNA pada hari Selasa.
Menurut laporan ISNA, dia ditangkap dan dipindahkan ke penjara Evin pada bulan September.
Selama dekade terakhir, Hashemi telah dipenjara beberapa kali karena membuat pernyataan anti-pemerintah dan berpartisipasi dalam protes. Dia menghabiskan waktu berbulan-bulan di penjara setelah penangkapan tahun 2012 karena membuat pernyataan anti-pemerintah.
Ayahnya adalah seorang revolusioner yang melawan rezim Shah dan kebijakan sosial dan ekonominya yang condong ke Barat, tetapi mendorong program liberalisasi dan privatisasi ketika dia menjadi presiden setahun setelah berakhirnya perang Iran-Irak.
Rafsanjani meninggal pada 2017 dalam usia 82 tahun.
Iran telah menahan sejumlah aktivis terkenal dalam beberapa bulan terakhir, termasuk penulis dan penyair Mona Borzouei, penyanyi Shervin Hajipour dan pemain sepak bola Iran Hossein Mahini, ketika protes anti-pemerintah mengguncang negara itu.
Â
Â
Eksekusi Mati Pengunjuk Rasa
Sebanyak 41 pengunjuk rasa lainnya telah menerima hukuman mati dalam beberapa bulan terakhir karena para pejabat berusaha untuk menindak gelombang sentimen publik yang marah di seluruh Iran, menurut pernyataan dari pejabat Iran dan di media Iran yang ditinjau oleh CNN dan 1500Tasvir, tetapi jumlah sebenarnya bisa jauh lebih tinggi.
Eksekusi pada Sabtu 7 Januari terhadap dua pemuda di Iran, seorang juara karate, yang lainnya seorang pelatih sukarelawan anak-anak, sehubungan dengan protes nasional, juga memicu kemarahan di seluruh dunia.
Jumlah total orang yang sekarang diketahui telah dieksekusi sehubungan dengan protes tersebut, yang dipicu oleh kematian wanita Kurdi Iran berusia 22 tahun, Mahsa Amini, dalam tahanan polisi pada bulan September, telah mencapai empat orang.
Advertisement
Dua Pria Iran yang Digantung Mati Disiksa untuk Bikin Pengakuan Palsu
Sementara itu, dua pria Iran yang terkena hukuman mati mengaku disiksa untuk membuat pengakuan palsu.Â
Mohammad Mahdi Karami dan Seyed Mohammad Hosseini telah mengajukan banding terhadap hukuman mereka, dengan mengatakan bahwa mereka telah disiksa untuk membuat pengakuan palsu.
Dilansir BBC, Minggu (8/1/2023), Menteri Luar Negeri Inggris James Cleverly mengatakan eksekusi itu "menjijikkan".
Jumlah pengunjuk rasa yang diketahui telah dieksekusi setelah kerusuhan sekarang menjadi empat orang. Demonstrasi menentang pendirian ulama meletus pada bulan September setelah kematian dalam tahanan seorang wanita yang ditahan oleh polisi moralitas karena diduga mengenakan jilbabnya secara "tidak benar".
Kantor berita yudisial Iran, Mizan, mengatakan kedua pria itu adalah "pelaku utama" pembunuhan perwira paramiliter Ruhollah Ajamian.Â
Jaksa mengatakan dia ditelanjangi dan dibunuh oleh sekelompok pelayat yang memberikan penghormatan kepada pengunjuk rasa yang baru saja dibunuh.Â
Orang-orang itu pertama kali dijatuhi hukuman mati pada Desember 2022 tetapi mereka mengajukan banding setelah mengatakan bahwa mereka telah disiksa.
Mahkamah Agung Iran menguatkan hukuman pada 3 Januari.Kelompok hak asasi manusia Amnesty International mengecam apa yang digambarkannya sebagai pengadilan "palsu" dan mengatakan pihak berwenang Iran mengupayakan hukuman mati untuk setidaknya 26 orang lainnya.
Keluarga Karami yang berusia 22 tahun mengatakan mereka tidak diizinkan untuk bertemu dengannya sebelum dia dibunuh pada hari Sabtu. Mereka juga memohon kepada pengadilan untuk mengampuni nyawanya.Â
"Saya mohon, saya meminta Anda ... untuk menghapus hukuman mati dari kasus anak saya," kata ayahnya.
Komentari Hukuman Mati di Iran, Paus Fransiskus: Hanya Mengobarkan Rasa Haus Balas Dendam
Terkait Iran, Paus Fransiskus akhirnya memecah kebisuannya atas protes antipemerintah yang belum kunjung berhenti di negara tersebut. Ia mengkritik penerapan hukuman mati dan pernyataannya disebut melegitimasi serangkaian unjuk rasa sebagai aksi demi martabat perempuan.
Pernyataan Paus Fransiskus tersebut disampaikan dalam pidato tahunan yang lazim disampaikan pada awal tahun di hadapan para perwakilan asing. Momen tersebut digunakan oleh paus untuk menguraikan isu-isu yang menjadi perhatian takhta suci Vatikan.
Dalam permulaan pidatonya, Paus Fransiskus mengaitkan penentangan Vatikan terhadap aborsi dengan penentangan terhadap hukuman mati. Dia mengatakan, keduanya merupakan pelanggaran terhadap hak fundamental untuk hidup.
"Hak untuk hidup terancam di tempat-tempat di mana hukum mati masih diterapkan, seperti yang terjadi akhir-akhir ini di Iran, menyusul demonstrasi yang menuntut penghormatan yang lebih besar terhadap martabat perempuan," ungkap Paus Fransiskus seperti dikutip dari AP, Selasa 10 Januari 2023.
Dia menambahkan, "Hukuman mati tidak dapat diterapkan... karena tidak menimbulkan efek jera atau memberikan keadilan bagi para korban, melainkan hanya mengobarkan rasa haus akan balas dendam."
Paus Fransiskus sendiri telah mengubah ajaran gereja tentang hukuman mati. Ia memutuskan bahwa hukuman mati tidak dapat diterima dalam segala situasi.
Apa yang disampaikan Paus Fransiskus tersebut menandai pernyataan publik pertamanya tentang protes antipemerintah yang meletus di Iran pascatewasnya Mahsa Amini. Perempuan usia 22 tahun itu kehilangan nyawa setelah ditahan polisi moral karena dituduh melanggar aturan berpakaian ketat.
Advertisement