Liputan6.com, Naypyidaw - Produksi opium meningkat tajam di Myanmar, naik ke level tertinggi dalam sembilan tahun terakhir, yakni menyentuh hampir 795 metrik ton pada tahun 2022. Jumlah tersebut hampir dua kali lipat produksi pada tahun 2021, yakni 423 metrik ton.
"Gangguan ekonomi, keamanan, dan tata kelola yang mengikuti pengambilalihan militer pada Februari 2021 telah menyatu dan petani di daerah terpencil yang sering rawan konflik di Shan utara dan negara-negara bagian di perbatasan, hanya memiliki sedikit pilihan selain kembali ke opium," ungkap perwakilan regional untuk Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) Jeremy Douglas seperti dikutip dari BBC, Jumat (27/1/2023).
Baca Juga
Wilayah, di mana perbatasan Myanmar, Thailand, dan Laos bertemu - yang disebut Segitiga Emas - secara historis menjadi sumber utama produksi opium dan heroin.
Advertisement
Laporan PBB yang dirilis pada Kamis mengatakan, ekonomi Myanmar dihadapkan oleh guncangan eksternal dan domestik pada tahun 2022, seperti perang Rusia versus Ukraina, ketidakstabilan politik yang berkelanjutan dan inflasi yang melonjak, yang memberikan "insentif kuat" bagi petani untuk mengambil atau memperluas penanaman opium.
Myanmar Kedua Terbesar Setelah Afghanistan
Myanmar adalah penghasil opium terbesar kedua di dunia, setelah Afghanistan. Kedua negara tersebut adalah sumber dari sebagian besar heroin yang dijual di seluruh dunia.
Berdasarkan perkiraan PBB, ekonomi opium Myanmar bernilai hingga US$ 2 miliar, sementara perdagangan heroin regional bernilai sekitar US$ 10 miliar.
Budi daya opium Myanmar sempat turun stabil dalam dekade terakhir menyusul proyek subtitusi tanaman dan meningkatnya peluang ekonomi. Dan survei terbaru PBB menunjukkan peningkatan kembali, di mana produksi pada tahun 2022 merupakan yang tertinggi sejak tahun 2013, ketika angkanya mencapai 870 metrik ton.
Sejak kudeta militer tahun 2021, PBB juga memantau peningkatan yang lebih besar dalam produksi obat sintetis. Dalam beberapa tahun terakhir, obat sintetis dilaporkan telah menggantikan opium sebagai sumber pendanaan bagi kelompok bersenjata yang beroperasi di daerah perbatasan Myanmar yang dilanda perang.
Opium sendiri membutuhkan lebih banyak tenaga kerja dibanding obat sintetik, membuatnya menjadi tanaman komersial yang menarik di negara di mana krisis ekonomi pasca-kudeta telah mengeringkan banyak sumber pekerjaan alternatif.
Pendapatan petani opium tahun lalu tumbuh menjadi U$ 280 per kg, tanda daya tarik opium sebagai tanaman dan komoditas, serta permintaan yang kuat.
Laporan PBB juga mengungkapkan bahwa area penanaman opium pada tahun 2022 meningkat sepertiga menjadi 40.100 hektare. Hal tersebut dinilai menunjukkan praktik pertanian yang semakin canggih.
"Pada akhirnya, budi daya opium benar-benar tentang ekonomi dan tidak dapat diselesaikan dengan menghancurkan tanaman, di mana hanya akan meningkatkan kerentanan," kata perwakilan UNODC untuk Myanmar Benedikt Hofmann. "Tanpa alternatif dan stabilitas ekonomi, budi daya dan produksi opium kemungkinan akan terus berkembang."
Menurut laporan UNODC sebelumnya, harga opium melonjak di Afghanistan musim semi lalu setelah Taliban yang berkuasa mengumumkan larangan penanaman.
Advertisement