Presiden China Xi Jinping Bertemu Vladimir Putin di Moskow, Dukung Rusia atau Jadi Juru Damai Ukraina?

Pertemuan Presiden China Xi Jinping dengan Presiden Rusia Vladimir Putin nanti digadang-gadang sebagai upaya Tiongkok untuk memposisikan diri sebagai pembawa perdamaian. Benarkah hal itu bisa tercapai?

oleh Hariz Barak diperbarui 19 Mar 2023, 19:10 WIB
Diterbitkan 19 Mar 2023, 19:10 WIB
Presiden China Xi Jinping (kiri) berjabat tangan erat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) dalam sebuah pertemuan di Moskow (Xinhua)
Presiden China Xi Jinping (kiri) berjabat tangan erat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) dalam sebuah pertemuan di Moskow (Xinhua)

Liputan6.com, Beijing - Presiden China Xi Jinping bertandang ke Rusia pada Senin 20 Maret 2023. Bukan sekadar kunjungan biasa, pertemuan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin mungkin bisa menghasilkan dua skenario signifikan bagi perang Rusia-Ukraina yang telah berlangsung setahun lebih; menyatakan dukungan penuhnya atas Moskow atau menjadi juru damai untuk Kyiv.

Namun, apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh pemimpin terkuat Tiongkok itu? Dan, apakah hal tersebut bisa tercapai?

Dikutip dari Channelnewsasia (19/3/2023), sejumlah laporan menyebut bahwa Xi mungkin memiliki misi unuk mendamaikan Rusia dan Ukraina yang telah terlibat perang selama setahun lebih.

Perkiraan itu bukan mengada-ada. Pasalnya pekan lalu, Beijing berhasil memediasi normalisasi hubungan diplomatik antara Arab Saudi dan Iran, dua negara yang saling bersaing di Timur Tengah.

Mengumumkan perjalanan Xi Jinping, juru bicara kementerian luar negeri Wang Wenbin mengatakan China akan "memainkan peran konstruktif dalam mempromosikan pembicaraan damai".

Akan tetapi, sejumlah analis punya pandangan yang bervariasi.

Analis Tiongkok menilai, "menghentikan perang adalah keinginan semua orang, mengingat Eropa akan kehilangan begitu banyak dan Amerika Serikat mungkin tidak dapat mendukung Ukraina selama yang dianggap bisa," kata Wang Yiwei, direktur Institut Urusan Internasional di University Renmin of China, Beijing.

"China dapat menyampaikan pandangannya di kedua sisi - dapat dikatakan sebagai teman tepercaya Ukraina dan Rusia. Saya pikir ini sangat penting."

Beijing, sekutu utama Rusia, telah lama berusaha menggambarkan dirinya sebagai pihak netral dalam konflik tersebut.

Tetapi, China telah lama menolak untuk mengutuk invasi Rusia dan mengkritik tajam dukungan Washington untuk Kyiv. Para pemimpin Barat menuduh Beijing memberikan perlindungan diplomatik bagi Rusia.

Menurut analis Barat, Tiongkok sejatinya tak berbuat banyak selama setahun terakhir Perang.

"Beijing sejauh ini tidak banyak berbuat untuk mendorong perdamaian di Ukraina, karena setiap upaya yang kredibel akan membutuhkan tekanan Rusia atau setidaknya memanggil Rusia secara langsung," kata Elizabeth Wishnick, seorang profesor dan pakar kebijakan luar negeri China di Montclair State University di Amerika Serikat.

Kunjunga Xi kali ini pun bukan membawa pesan damai, melainkan, "untuk menunjukkan dukungan apa pun untuk mitra strategisnya yang dapat dia berikan.

Simak video pilihan berikut:

Akankah China Memberikan Dukungan untuk Rusia?

Hubungan Makin Akrab, Putin dan Xi Jinping Kembali Menggelar Pertemuan
Presiden Rusia Vladimir Putin didampingi Presiden China Xi berjalan bersama saat upacara penyambutan di Aula Besar Rakyat di Beijing, China (8/6). Xi menambahkan, kedua negara juga saling mendukung kepentingan masing-masing. (AFP/Pool/ Greg Baker)

Robert Kelly, profesor hubungan internasional di Departemen Ilmu Politik di Universitas Nasional Pusan menilai bahwa kunjungan Xi Jinping ke Moskow tidak akan membawa perdamaian ke Ukraina atau dukungan apapun untuk Rusia.

Xi mungkin memiliki misi personal, meminimalisir dampak perang ke Tiongkok.

Pada peringatan tahun pertama invasi Rusia ke Ukraina, China merilis rencana perdamaian 12 poin, memperingatkan agar tidak menggunakan senjata nuklir dan menyerukan pembicaraan sesegera mungkin.

"Eskalasi nuklir begitu menakutkan sehingga Beijing telah berulang kali memberi isyarat kepada Moskow untuk menghindari ancaman nuklir," kata Kelly dalam kolom untuk Channelnewsasia.

Rusia di sisi lain akan sangat senang jika China benar-benar bisa membantu upayanya dalam konflik. Namun, Beijing mungkin diperkirakan tidak akan bergerak dari status quo memberikan bentuk-bentuk dukungan semu dan non-langsung; seperti membeli minyak Rusia di tengah pengetatan embargo Barat.

Mengumumkan pemberian bantuan langsung ke Rusia --semisal mengirim amunisi-- secara terbuka berarti sama dengan 'menabuh genderang perang' dengan AS dan sekutunya. Skenario itu sedapat mungkin ingin dihindari oleh seluruh negara.

"Meskipun bantuan China akan sangat bagus untuk Putin, sulit untuk melihat sisi positifnya bagi China. Amerika Serikat telah memperingatkan China bahwa dukungan militer langsung untuk Rusia akan membawa respons sanksi ekonomi dan keuangan dari AS," kata Kelly.

China masih membutuhkan akses ke pasar Barat, teknologi, dan modal untuk memacu pertumbuhan ekonominya. Sebesar apapun ekonomi mereka, Beijing masih membutuhkan hubungan dagang yang kuat dengan negara-negara Barat.

"Oleh karena itu, diragukan Xi akan banyak membawa perubahan. Kedua pemimpin akan merilis pernyataan bersama standar tentang 'kekhawatiran sah' Rusia di Ukraina dan ancaman imperialisme Amerika."

"Tetapi Xi akan menolak menyebutkan namanya pada apa pun yang akan memicu reaksi ekonomi Barat. Xi tidak akan mengikat dirinya pada kapal yang tenggelam."

China dan Inisiatif Keamanan Global

Xi Jinping dan Vladimir Putin bertemu.
Xi Jinping dan Vladimir Putin bertemu. (AFP)

China bulan lalu menerbitkan 12 poin tentang perang di Ukraina. Poin-poin itu di antaranya menyerukan dialog dan menghormati kedaulatan teritorial semua negara.

Beijing juga tengah menggembar-gemborkan Inisiatif Keamanan Global (GSI), sebuah kebijakan yang diumumkan Xi Jinping untuk "mempromosikan perdamaian dan pembangunan yang tahan lama".

Kedua dokumen tersebut telah menimbulkan kemarahan di Barat karena berkutat pada prinsip-prinsip luas alih-alih solusi praktis untuk krisis tersebut.

"Diplomasi China tampaknya merupakan upaya untuk mempromosikan GSI dan membangun momentum untuk kebijakan luar negerinya dan keterlibatan kembali dengan dunia", kata Ja Ian Chong, profesor di National University of Singapore.

"Apakah (China) benar-benar meningkatkan upayanya untuk berperan sebagai pembawa damai dengan cara yang berarti akan tergantung pada substansi dari apa yang diusulkannya selama pertemuan dengan para pemimpin dari Ukraina dan Rusia," kata Chong, yang berspesialisasi dalam hubungan internasional Beijing.

"Rencana perdamaian mereka sebelumnya lebih pada prinsip-prinsip umum daripada proposal yang dapat ditindaklanjuti."

Situasi Sulit Ketimbang Iran-Saudi

Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Samarkand pada 15 September 2022. (Foto: Sputnik/Alexandr Demyanchuk via AFP)
Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Samarkand pada 15 September 2022. (Foto: Sputnik/Alexandr Demyanchuk via AFP)

Menjadi juru damai untuk Rusia-Ukraina mungkin agak sulit ketimbang menormalisasi hubungan diplomatik Saudi-Iran sebelumnya.

"Beijing punya pengaruh terbatas atas Moskow dan di sisi lain, Ukraina lebih condong ke AS," kata Wang Yiwei, direktur Institut Urusan Internasional di University Renmin of China, Beijing.

Akan tetapi, bukan berarti China mati langkah.

"Beijing bisa menawarkan gencatan senjata yang mirip dengan yang terbentuk dari Perang Korea," lanjutnya.

Namun Elizabeth Wishnick, dari Montclair State, mengatakan Ukraina "tidak mungkin menerima China sebagai mediator karena dianggap tidak netral atau tidak memihak".

"Xi mungkin sangat menginginkan keberhasilan diplomatik, tetapi saya tidak melihat satu pun yang menguntungkannya di Ukraina," katanya.

"Tidak ada pihak yang mau menyerah untuk mendapatkan keuntungan teritorial di medan perang."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya